Aku bangun super kesiangan. Tadi malam aku benar-benar tidak bisa tidur. Begitu selesai sholat subuh, rasa kantuk yang sangat, baru menderaku. Memang tidur habis subuh itu godaan yang sangat luar biasa ya. Dan akhirnya, jam dua belas lebih sepuluh menit aku baru bangun.
Aku langsung ke kamar mandi untuk mandi dan wudhu. Bangun tidur langsung dhuhur aja. Semoga sikapku ini masih bisa dimaklumi, Ya Allah. Parahnya lagi aku baru sadar kalau Adrian masih di apartemenku. Sial.
Setelah mebereskan alat sholatku, aku keluar. Ku tengok ke kanan dan kiri, tidak ada tanda-tanda keberadaan Adrian. Apa mungkin dia sudah pulang?
Baru saja aku mau melangkah ke dapur, ku dengar suara bel pintu berbunyi. Aku langsung lari untuk membuka pintu, menduga itu adalah Adrian.
Begitu pintu terbuka, aku hanya diam mematung beberapa saat. Tidak menyangka kalau yang datang adalah Candra, dengan wajah yang penuh luka dan memar seperti habis berkelahi. Dari sudut mataku, aku melihat ada yang bergerak gelisah di sampingnya. Begitu aku melihat ke objek yang bergerak gelisah itu, kulihat ada Dewi di sana. Aku baru sadar, ternyata kekasih tercintanya berdiri di sebelahnya dan menggenggam tangan Candra.
Aku kembali menatap mata Candra dan memasang wajah datar.
"Ada perlu apa kalian ke sini?" Tanyaku dingin, masih tidak mempersilahkan mereka untuk masuk.
"Dewi memintaku untuk bertemu denganmu dan membicarakan tentang kita."
"Kita?" Tanyaku sinis. "Memangnya ada kita?"
"Kumohon Lena, kita perlu membicarakan hal-hal yang harus kita putuskan terkait rencana pernikahan kita."
Aku menatapnya dengan tajam, berharap sorot mataku penuh dengan kebencian dan kemarahan untuknya.
"Bukankah kau tidak mau meninggalkannya?" Kataku sambil melirik tajam wanita di sampingnya."Jadi, tidak ada lagi rencana pernikahan antara kita." Kataku. Aku sendiri kaget dengan nada tegas dan sinis dari suaraku tadi.
"Banyak hal yang harus diluruskan nantinya. Aku akan menemui keluargamu untuk menjelaskan. Juga mengenai biaya-biaya yang sudah kau keluarkan untuk pernikahan itu, aku akan mengganti semuanya. Hal-hal detail lainnya yang perlu kita putuskan segera, agar clear."
Belum sempat aku menjawab, kulihat di ujung lorong, Adrian keluar dari lift, dan berjalan cepat ke arah kami. Dia menarik tanganku dan menggeser tubuhku, sehingga aku kini berdiri di belakangnya.
"Ada urusan apalagi kau ke sini?" Katanya terdengar sangat dingin dan kejam. Aku tidak bisa melihat wajahnya seperti apa ketika Adrian bersuara seperti itu. Kurasakan tanganku agak sakit karena Adrian menggenggam tanganku dengan sangat erat.
"Aku hanya ingin bicara dengan Alena. Ada urusan yang belum kami selesaikan."
Berbeda dengan Adrian, suara Candra terdengar lemah dan ragu-ragu.
"Bukankah kemaren sudah ku katakan. Alena tidak ada urusan lagi denganmu. Jadi jangan pernah muncul lagi di depannya."
Aku kaget mendengar perkataan Adrian. Jadi, kemaren mereka bertemu? Apa saja yang mereka bicarakan? Apakah Adrian sudah tau semuanya? Apa mungkin wajah Candra yang babak belur adalah karena Adrian?
"Pergi saja sekarang dengan kekasihmu itu. Jangan sampai kali ini aku benar-benar mengirimmu ke rumah duka." Lanjut Adrian yang langsung menjawab pertanyaan terakhirku tadi.
Aku bergerak ke samping Adrian untuk melihat kembali wajah Candra dengan jelas. Tapi balum dua detik, Adrian sudah menggeser badanku ke belakangnya lagi.
Aku masih agak bingung dengan keadaan pagi ini. Ralat. Keadaan siang ini. Mungkin karena ini pertama kalinya aku bangun sangat siang, jadi otakku rasanya masih berputar-putar tidak jelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby
ChickLitNamaku Alena, umurku hampir 30 tahun. Kadang ketika melihat sepupu-sepupu ku yang sudah memiliki suami dan menggendong anak, aku sungguh iri. Dengan umur yang hampir mendekati kepala tiga, makin hari keinginan untuk memilik bayi sendiri begitu kuat...