Tanpa terduga, makan malamnya berlangsung sangat lancar. Aku dan Candra mengobrol ringan tentang hobi kami berdua. Dia kaget dan tidak percaya ketika aku bilang sangat benci ke mall. Baginya, mall dan wanita adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan.
Sepanjang makan malam, aku mencoba menahan diri untuk melihat Adrian. Bahkan melirikpun tidak kulakukan.
Rasanya gatal untuk menoleh ke arahnya, mengingat aku sangat merasakan tatapan tajamnya padaku.
Setelah makan malam, kami, tepatnya aku dan Candra berjalan ke ruang tamu untuk melanjutkan obrolan. Untungnya Adrian tidak mengikuti kami, karena dia ingin bicara dengan kak Doni berdua. Sedangkan kak Eva mengantarkan si kembar ke kamarnya untuk menidurkan mereka.
Kami baru saja berjanji untuk bertemu lagi lain kali, ketika Adrian berjalan ke ruang tamu. Dia hanya menatapku lalu menoleh ke Candra dan bilang mau pulang duluan. Dan langsung pergi begitu saja. Aku hanya bisa melongo menatapnya pergi.
Ada rasa sakit ketika sadar dia mengabaikanku. Tapi, bukankah aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk move on?
Hufth, move on memang susah sist.***
Seperti yang sudah kami sepakati berdua, akhirnya aku dan Candra bertemu lagi di weekend berikutnya.
Setelah pertemuan malam itu, aku minta pendapat pada kak Doni dan kak Eva. Mereka bilang sih, coba jalani dulu, saling mengenal satu sama lain. Tidak usah buru-buru.
Aku membenarkan mereka, tapi dalam hati aku ingin proses ini cepat terjadi. Aku sungguh ingin segera menikah dan punya anak.
Dari pertemuan yang seminggu sekali itu, akhirnya berubah jadi seminggu dua kali, lalu tiga kali, dan akhirnya hampir tiap hari kami bertemu. Kadang kami bertemu ketika waktu makan siang, tak jarang kami janjian setelah pulang kerja. Hanya sekedar makan malam di warung makan pinggir jalan atau cafe dan mengobrol.
Tidak terasa kedekatanku dengan Candra sudah berjalan hampir tiga bulan. Jujur, aku tidak tau hubungan kami. Tak pernah muncul kata suka diantara kami berdua.
Dalam hatiku, ku janjikan jika dalam waktu maksimal lima bulan dia belum melamarku, akulah yang akan melamarnya.Jangan menghinaku dulu sebagai wanita tak punya harga diri. Aku harus cepat menikah untuk mencapai tujuanku kan?
Jika nanti kami tidak cocok, gampang saja untuk berpisah atau bercerai. Asalkan aku punya anak terlebih dulu.Malam ini, tidak seperti biasanya, Candra mengajakku ke restoran yang lumayan mewah. Dia menggunakan setelan resmi. Pikirku, mungkin dia dari persidangan kliennya, jadi dia menggunakan pakaian formal itu.
"Alena, kau ingat sudah berapa lama kita bertemu dan bersama?" tanyanya dengan mata tajam padaku.
"Hmm, tiga bulan mungkin?" jawabku hati-hati.
"Iya, tiga bulan. Tapi rasanya aku sudah mengenalmu sangat lama. Aku tau hal yang kau benci dan yang kau sukai. Kau juga tau diriku seperti apa. Kita berdua tau ingin menjadi apa kebersamaan kita ini."
Benarkah? Tanyaku dalam hati. Mungkinkah Candra akan melamarku? Sekarang?
Tak bisa dipungkiri, aku girang bukan main. Aku tidak perlu melamarnya. Yes!"Aku bukan orang yang romantis. Jadi aku tidak bisa berkata-kata puitis untuk mengatakannya. Jadi Alena, maukah kau menikah denganku? Sungguh aku sangat nyaman dengan kebersamaan kita ini." Lanjut Candra menegaskan maksudnya.
Ya, aku tau dia tidak mengatakan cinta atau sejenisnya dalam lamarannya. Hanya kata nyaman saja. Tapi bagiku itu bukanlah masalah. Karena jujur, aku juga tidak mencintainya. Aku hanya butuh dirinya untuk mencapai tujuanku kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby
ChickLitNamaku Alena, umurku hampir 30 tahun. Kadang ketika melihat sepupu-sepupu ku yang sudah memiliki suami dan menggendong anak, aku sungguh iri. Dengan umur yang hampir mendekati kepala tiga, makin hari keinginan untuk memilik bayi sendiri begitu kuat...