Aku hanya menatap sekejap Adrian yang sedang mencengkeram kerah kemeja Herman. Pikiranku masih terfokus pada bayiku.
Ya Tuhan, akhirnya aku akan punya bayi. Bayiku sendiri. Rasanya bahagiaku tak kan bisa dilukiskan dengan kata sebanyak apapun.
BRUK
Suara keras di sampingku memaksaku untuk menengok ke asal suara itu.
Kulihat Herman sudah merosot di lantai dengan hidung berdarah. Di atasnya Adrian menatapnya galak.
Reflek aku langsung turun dari kasur untuk melihat kondisi Herman. Sebenci apapun aku dulu padanya, kali ini kalau bukan karena dia yang sudah mengantarku ke rumah sakit, bisa saja aku kehilangan bayiku.
Karena terburu-buru untuk turun dari kasur dan maju, tak sengaja aku membuat tiang infusku hampir jatuh yang akhirnya membuatku ikut terjerembab. Aku langsung memegang perutku, berusaha melindunginya agar tidak kena tiang infus itu. Untungnya sebuah tangan sudah menarik dan memelukku, sehingga aku tidak jadi jatuh dan tertimpa tiang infus itu.
Aku mendongak dan melihat wajah cemas Adrian. Ada sedikit perasaan bahagia ketika melihatnya mencemaskanku, tapi seketika juga aku tepiskan.
Aku mendorongnya menjauh dan mendekat ke Herman, memeriksa lukanya.
"Apa yang kau lakukan padanya?!" Kataku tajam pada Adrian.
Adrian terlihat kaget sejenak sebelum menjawab pertanyaanku.
"Dia menyakitimu lagi, sayang."
"Tidak." Tegasku. "Dia menyelamatkanku." Menyelamatkan bayiku, lanjutku dalam hati. "Dia yang membawaku ke rumah sakit." Sekejap tadi aku memikirkan kata 'lagi' yang Adrian ucapkan.
Aku membantu Herman berdiri, walaupun tubuhku masih sedikit lemas. Dan sepertinya Herman tau itu, sehingga dia cepat-cepat berdiri dengan kekuatannya sendiri.
"Kau harusnya bertanya lebih dulu, tidak langsung pake ototmu." Sinisku pada Adrian.
"Kau tidak apa-apa, sayang?" Tanya Adrian, tidak mempedulikan kalimatku.
"Herman, kau baik-baik saja?" Tanyaku pada Herman, gantian aku tidak mempedulikan pertanyaan Adrian.
"Aku tidak apa-apa Alena" Herman menjawab dengan senyuman tipis.
Dia merapikan bajunya yang sedikit berantakan, kemudian pamit karena sudah ada orang lain yang akan menjagaku. Sebelum pergi, dia masih sempat mengatakan semoga aku lekas sehat kembali.
Aku sudah kembali berbaring di kasur, dengan tiang infus yang sudah rapi di samping kasurku. Adrian yang mengembalikannya ke tempat semula. Untung saja infus di tanganku tidak terlepas, walaupun sedikit keluar darah.
Adrian menarik kursi mendekat ke kasur dan menggenggam tanganku, yang langsung aku tarik.
Dia hanya menatapku lama, sebelum kembali mengulang pertanyaannya.
"Kau tidak apa-apa, sayang?"
Aku hanya mengangguk. Otakku sedang memikirkan berbagai macam hal dan kemungkinan keputusan yang harus aku ambil.
Kami saling diam untuk beberapa saat. Adrian hanya menatapku dan aku tidak mempedulikannya karena masih berpikir. Hingga akhirnya aku berhasil mendapatkan keputusan terbaik yang bisa aku lakukan.
Aku menoleh padanya dan sedikit tersentak ketika melihat Adrian sedang menatapku lembut. Ku hela nafasku, berusaha tetap menguatkan hati untuk keputusan yang telah aku ambil.
"Yan," kataku pelan. Dia mengangguk dan tersenyum padaku. "Aku ingin mengatakan sesuatu. Lebih tepatnya, aku sudah memutuskan ini."
"Ya sayang?" Katanya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Baby
ChickLitNamaku Alena, umurku hampir 30 tahun. Kadang ketika melihat sepupu-sepupu ku yang sudah memiliki suami dan menggendong anak, aku sungguh iri. Dengan umur yang hampir mendekati kepala tiga, makin hari keinginan untuk memilik bayi sendiri begitu kuat...