~8~

15 2 0
                                    


Addelle duduk dikursi yang diletakkan diteras rumahnya. Dia menggoyangkan kakinya sembari menunggu Farir. Marie yang kebetulan ingin berangkat pagi-pagi terkejut melihat adiknya yang masih ada disana.

"Lo masih disini?"

Addelle mendongak, membalas tatapan kakaknya. "Gue lagi nunggu Farir."

Marie tersenyum sinis. "Lo masih nunggu dia?"

Marie menghela nafas frustasi. "Udah berapa kali gue bilang, jangan terlalu dekat ama dia. Lo gak tahu kapan lo bisa berada dititik terendah. Gue cuman mau ingatin, lo masih punya keluarga. Kalau lo masih mau suasana keluarga kayak dulu, mending lo gak usah lagi temenan ama Nita. Kalau bisa, lo homeschooling aja."

Addelle terbelalak, sontak berdiri dari duduknya. "Kak! Lo gila?! Gue cuman mau hal yang sederhana, tapi kok gue ngerasa gue gak bisa dapetin itu? Semua yang gue pengen gak dapat gue raih! Semua yang buat gue bahagia, semua hilang begitu saja!" frustasinya.

"TAPI LO JUGA HARUS LIAT?!" bentak Marie tidak tahan lagi.

"Lo pikir baik-baik, lo korbankan dulu apa yang lo punya, gue jamin lo bisa dapatkan yang lebih baik dari itu. Kalau gak, jangan harap gue masih nganggap lo sebagai adik gue." putusnya kemudian melenggang pergi. Addelle yang menunduk diam-diam meneteskan air matanya. Hatinya sangat sesak mendengarnya.

Marie yang sudah masuk kedalam mobilnya langsung menatap tajam pada sosok cowok yang masih terdiam dengan motornya itu. Cowok tersebut menatap kearah Addelle dari luar. Sepertinya cowok itu tidak berani masuk karena pertengkaran tadi. Marie mengeratkan pegangan pada setirnya.

"Kenapa harus Addelle?" geramnya marah.

Dia menancapkan gas. Marie menyempatkan memberhentikan sejenak mobilnya didekat cowok itu. Farir menatap heran kearah kaca mobil yang perlahan-lahan turun. "Lo jangan pikir bisa dapetin hati Addelle. Selama gue masih ada, gak akan gue biarin dia jatuh kejebakan lo," ketus Marie sambil menyatap nyalang pada Farir. Marie memalingkan wajahnya, menaikkan kembali kaca mobilnya.

Sebuah senyum kecil terlintas diwajahnya begitu mobil itu melesat. Tanpa disadari Marie, Farir sudah berada satu langkah tepat didepannya. Farir akan mendapatkan hati Addelle, walau akan sangat rumit dengan keterlibatan Marie sekarang.

Farir tersentak dengan tepukan dibahunya. Ia menoleh kebelakang dan mendapati Addelle yang tengah menatapnya bingung. "Lo napa? Kok gak masuk? Gue sempat kira lo gak datang."

Farir tersenyum. "Gak, gue cuman gak ingin gangguin lo ama kakak lo aja."

"Del.."

"Hm?" dongak Addelle. Farir menatapnya sekilas. Sebuah tangan mendarat diatas kepala Addelle.

"Lo kalau mau curhat, curhat ke gue aja. Biar gue tahu masalah apa aja yang sedang lo hadapin. Gue juga pengen ngasih solusi buat lo."

Addelle menatap mata Farir yang penuh dengan keseriusan. Tanpa sadar membuat kedua pipinya merona. Farir tidak dapat menahan kekehannya. Dielusnya puncak kepala Addelle lalu menggenggam tangan kiri Addelle.

"Ayo, kita pasti terlambat kalau masih disini," ajaknya yang diangguki Addelle.

****

"Waduhhh, kok datangnya pas-pas bunyi bel? Pacaran ama si Farir?" goda Nita membuat semburat merah kembali muncul dikedua pipi Addelle.

"Ngak.. Kita.. Kita cuman temenan," salah tingkahnya. Nita tersenyum menggoda Addelle.

"Ulala.. Udah seberapa dekat nih? Udah sampai tahap mana?" tanya Nita lagi sambil menaik-turunkan alis matanya.

"Aissh, enggak!"

Addelle menutup mukanya dengan kedua tangannya. Dia berusaha menulikan telinganya. Ia tidak peduli dengan godaan Nita. Yang dipedulikannya sekarang adalah jantungnya yang tiba-tiba saja berdegup sangat kencang.

****

Bisikan demi bisikan masuk kedalam gendang telinganya. Addelle hanya mengabaikannya saja, begitu juga dengan Nita. Begitu sampai dikantin, mereka langsung mencari tempat untuk duduk. Namun begitu mereka hendak duduk, seseorang menarik kursi yang akan diduduki Addelle hingga membuat Addelle jatuh. Nita lantas membantu Addelle untuk berdiri dan menatap nyalang pada orang tersebut.

"Lo kurang kerjaan?! Lo gila apa?! Lo mau buat dia lumpuh?!" bentak Nita.

Hazy menatap sinis Nita. "Heh! Lo jalang itu kan? Jangan pikir gue takut ama lo, semua juga tahu tentang lo! Minggir!"

Hazy mendorong Nita, kini dia telah berdiri berhadapan dengan Addelle. Hazy menatap Addelle dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Untung penampilan lo gak berubah. Hanya saja... Pemikiran lo.. Juga.. Hasutan si jalang yang buat lo kayak gini. Gue turut bersedih."

Addelle memalingkan mukanya. Dia tidak ingin tersulut emosi. Dia tahu, mereka hanya ingin memancing emosinya. Apalagi, kini mereka menjadi pusat perhatian di kantin. Dia juga menyadari sedaritadi, Marie menatapnya dengan tatapan datar.

"Kok lo gak jawab? Gak usah takut. Gue gak gigit kok," kekeh Hazy.

"Atau.. Lo juga udah berubah jadi jalang?"

"HAZY?! JAGA UCAPAN LO?!"

Addelle menatap Marie yang berjalan kearahnya dengan wajah penuh amarah, walau sedaritadi temannya berusaha menahannya. Sebuah tamparan mendarat dipipi sebelah kiri Hazy.

"Jaga ucapan lo, Haz. Gue selama ini baik-baik aja liat lo ngebully adik gue. Tapi kali ini lo udah keterlaluan!"

"Jadi apa?! Lo masih ngebela adik lo? Semua orang tahu lo yang tersakiti bukan dia!"

"BACOT?! selama ini Addelle yang tersiksa. Kalian ngebully gue gak papa, kalian ngehina gue gak papa, tapi jangan Addelle," isak Nita. Addelle menenangkan Nita yang semakin histeris.

Semua orang yang ada dikantin tiba-tiba saja diam. Hening beberapa saat. Hanya suara isak tangis Nita yang terdengar. Tiba-tiba saja, Aldi datang dan membawa Nita pergi. Tidak lama kemudian, Farir juga datang dan langsung menarik Addelle dari sana.

Tbc.

Jgn lupa divomment kalau suka ceritanya. Wkwk.

Thx.







Girl Who Was Hurt[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang