~22~

5 1 0
                                    


"Mama gue itu mantan istri papa lo, lo anak kandung mereka," ucap Zifo singkat namun membuatku merasa semakin bersalah. Kupikir aku bukan anak kandung mereka, ternyata aku salah. Seharusnya aku mendengarkan dulu penjelasan ibu. Aku sangat menyesal dan malu padanya. Kira-kira dimana sekarang ibu dan kak Marie?

"Kenapa mereka bisa sampai cerai? Apa..."

"Bukan kayak yang lo pikirkan. Mama, papa lo, sama tante Carla ada masalah. Jadinya mereka ngambil keputusan buat cerai lalu papa lo nikah ama tante Carla," jelas Zifo.

"Masalah apa?" sungguh! Aku sangat penasaran masalah apa hingga dapat membuat mereka cerai. Zifo hanya mengendikkan bahunya. "Gue gak tahu. Bonyok gue gak mau bilang. Gue sampai dibilangin 'anak kecil gak boleh banyak tahu, cukup kulitnya aja', kalau udah gini ya mana gue tahu kak."

Aku hanya mengangguk. Pantas saja diawal pertemuanku dengan Zifo. Perkataannya sangat aneh bagiku. Ternyata dia sudah lama tahu tentang hal ini.

"Kak.."

Aku menatapnya. "Lo gak benci gue kan? Lo tetap mau jadi kakak gue kan?" tanyanya ragu.

Aku hanya tersenyum. Bagaimana mungkin aku membencinya? Dia bisa dibilang adikku. Anak dari ibu kandungku sendiri. "Gue gak benci lo. Lo itu adik gue. Kak Marie pasti senang kalau dapat adik cowok. Dia pernah bilang kalau dia selalu pengen adik cowok."

Ingatanku kembali lagi disaat kami masih kecil. Dia selalu antusias menceritakan bagaimana rasanya jika dia mempunyai adik laki-laki. Dia akan mengontrol adik laki-lakinya itu. Menyayanginya dan juga menjauhkannya dari teman-teman yang jahat. Dia juga ingin adik laki-lakinya belajar bela diri agar dapat menjaga dirinya juga tidak terlihat lemah. Hanya saja, itu hanya impiannya.

"Kalau gitu, kak Marie pasti lebih sayang ke gue dong," sombongnya percaya diri.

Aku menjitak kepalanya sambil tertawa. Enak saja. Dia kakakku. Kakak terbaik yang sayangnya terlambat kusadari. 

****

Aku masih belum mendapatkan kabar tentang Marie dan ibu yang hilang entah kemana. Aku sempat meminta izin pada tante Linda–oops, maksudku ibu kandungku. Setelah kejadian itu, ibu dan paman Harry yang sekarang juga kupanggil ayah memintaku untuk tinggal dirumah mereka. Tentu karena ini sudah permintaan kesekian kalinya dari mereka, maka aku menerimanya. Apartemenku itu sementara ditempati Hazy. Keadaan dirumahnya sedang tidak begitu baik. Karena itu aku menawarinya untuk tinggal sementara diapartemenku hingga keadaan rumahnya kembali normal.

Brakkk

"HEI!!! LO JALAN PAKAI MATA DONG!?"

Tanpa mendongak, aku pun sudah tahu siapa yang berdiri didepanku saat ini. Sesaat ketika aku mendongak, aku semakin geram melihat senyum sinis mengejek Nita padaku. Suara langkah kaki dengan suara cowok yang sangat ku kenal masuk ketelingaku. Saat itu juga, senyuman mengejek tadi berubah menjadi senyuman termanis yang bahkan aku sudah muak melihatnya untuk kesekian kalinya.

"Eh? Addelle? Apa kabar? Sudah lama kita gak cakap-cakap. Mau berbicara sebentar? Gue rindu kita yang dulu."

Sungguh! Aku hanya bisa mengepal tanganku sembari menahan kuat-kuat amarahku. Suaranya bahkan dibuat sesedih mungkin seolah-olah dia memang rindu saat-saat dimana dia masih berada dipermainannya, menjadi orang baik dan terlihat seperti orang yang selalu di bully. Farir berdiri disamping Nita dan menatapku sejenak kemudian memalingkan wajahnya.

"Del..."

Aku menatapnya masih dengan tatapan yang sama. Dingin. Tidak peduli. Ya, aku tidak peduli lagi dengan dia.

"Lo beneran jauhin gue cuman karena gosip-gosip yang gak bener itu?"

Aku saat ini bingung. Bukan bingung hendak menjawab dengan jawaban apa, melainkan bingung bagaimana melewati seekor lalat dan— entahlah aku sebenarnya tidak ingin membenci Farir. Lagipun, dia juga menjadi korban Nita. Apa bedanya?

"Lo sudah tahu jawabannya, bisa minggir?"

Astaga! Tidak! Air mata itu lagi! Air mata yang membuatku semakin geram. Apalagi ditambah tangan Farir yang menyentuh bahu Nita, menenangkannya yang makin terisak sambil menatap tajam padaku. Aku tidak peduli tentang Nita atau sejauh mana hubungan mereka. Aku tidak ingin tahu. Tidak ingin!

Aku melewati mereka begitu saja, tidak tahan lagi pemandangan menyakitkan itu. Ketika sampai dilorong yang sepi, ponselku berdering. Berita itu! Berita dimana membuatku menangis sejadi-jadinya hingga membuat kakiku lemas seketika.

Sebuah tangan menarikku kedalam pelukannya. Sebuah bisikkan yang membuatku hanya dapat pasrah mendapat berita tersebut. Berita yang menyayat hati. Berita yang meruntuhkankan harapanku untuk memperbaiki hubungan kami.

"Kak, lo harus ikhlaskan dia. Lo masih punya harapan."

Ya! Berita yang dikirim Hazy dan teman-teman lainnya padaku. Berita yang entah mereka dapat darimana. Berita dengan kalimat penuh ketulusan dari mereka dan juga kalimat untuk menghiburku agar tidak bersedih.

Selamat jalan ibu. Ibu selalu ada dihatiku. Sampai kapan pun. Maaf aku tidak bisa menjadi anak yang baik untukmu.

Tbc.

Jgn lupa divote kalau suka,

Thx.

Girl Who Was Hurt[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang