Mulai dari chapter ini, author pakai sudut pandangnya Addelle aja ya. Biar kita tahu gimana si perasaannya Addelle. Selamat membaca.
****
Bukankah sudut pandang setiap
orang berbeda-beda?
Aku yakin semua orang
yang berada
diposisiku ini pasti akan mendukungku.
-Marie.H****
Kutatap kamarku yang sudah begitu lama ku tempati. Kamar yang selalu menjadi saksi ketika ku menangis, senang, dan lainnya. Tanganku terus bergerak melipati satu persatu baju yang akan kumasukkan kedalam koper merahku. Jika kalian pikir aku hanya membawa beberapa pakaian saja, kalian salah. Aku membawa hampir semua pakaianku kecuali baju berwarna biru pemberian Marie. Semua buku pelajaran kumasukkan kedalam tas sekolah. Lalu beberapa barang yang menurutku penting, kumasukkan kedalam kotak berukuran sedang.
Farir masuk kedalam kamarku membantuku mengangkat kotak tersebut ke mobilnya. Ya, kami memang sudah merencanakan ini. Disaat semuanya tengah dirumah sakit menjenguk nenekku yang katanya terpeleset dikamar mandi. Mereka memang tidak mengajakku karena tidak ingin aku keluar dari rumah ini.
Aku menyampirkan tas sekolahku dibahu kananku, kemudian menarik koper yang berat itu keluar kamar. Suara deru mobil disertai gebrakan pintu yang keras itu lantas membuatku memutar bola mata. Ku kunci kamarku kemudian melenggang kebawah. Disana, Marie, ayah, dan Ibu tengah menatapku dengan ekspresi yang berbeda-beda. Ayah dan Marie dengan ekspresi kesal dan marah. Ibu dengan ekspresi datar namun dapat kulihat jelas air mata yang tertahan dimatanya.
"Apa lo yakin mau pergi dari rumah ini? Rumah yang udah lo tinggali sejak lo kecil?" sinis Marie bercampur kesal.
"Lalu mau kalian apa?"
"Apa kita gak bisa selesaiin baik-baik?" ucap Carla datar.
Aku menghela nafas berat. "Lalu apa kalian ingin gue bunuh diri disini?" aku menatap sekitar sejenak tidak ingin sampai air mataku jatuh lagi. "Kalau emang kalian gak ingin lihat gue bahagia. Biar orang lain yang lihat gue bahagia."
"Heh, emang siapa yang mau lihat lo bahagia?" sinis Marie lantang. Dia berjalan mendekatiku sambil melipat tangannya. "Banggain aja sahabat lo itu. Tapi yang pasti." dia menghentikan ucapannya itu dan mendekatkan wajahnya ditelingaku.
"Lo bakal dibuat semenyesal mungkin kalau lo keluar dari rumah ini," desisnya sambil berbisik. Dia menarik kembali wajahnya dan menatapku tajam lalu pergi keatas.
"Gue pergi," pamitku.
"Pergi! Pergi aja sana! Saya juga gak butuh anak sepertimu! Anak yang selalu menyusahkan ku!" bentak Ayah membuatku meneteskan air mata. Ayah dan Ibu berlalu begitu saja. Sepertinya memang hubungan kita sudah hancur detik ini juga.
Aku melangkah mendekati pintu. Seiringnya langkahku mendekati pintu, semakin membuatku yakin dengan pilihanku. Aku menatap kembali rumah dibelakangku begitu sampai didekat mobil Farir. Jika memang rumah ini tidak bisa membuatku bahagia, maka tidak ada salahnya bukan jika aku mencari kebahagiaanku ditempat lain?. Ditempat dimana orang lain dapat membuatku bahagia.
Farir membantuku menyimpan koperku dibagasinya. Aku membuka ponselku dan membaca pesan terakhir dari Marie untukku. Bagaimana aku tahu? Disana telah terpampang jelas.
Marie
Ini bakal pesan terakhir buat lo. Lo bukan lagi adik gue! Gue gak sudi lagi lihat muka lo! Dan yang terpenting, jangan sampai lo datang lagi kehadapan gue. Apapun keadaannya, lo tidak lagi diperbolehkan menemui gue!
Gue dukung keputusan lo. Pergilah sejauh mungkin hingga gak terlihat lagi oleh kami!
"Napa?"
Aku menatap Farir yang juga menatapku. Aku lantas tersenyum dan menggelengkan kepalaku. Farir tersenyum. Dia memegang tanganku dengan lembut. Senyumnya masih terukir diwajahnya. "Apa lo yakin?"
Lantas kuanggukkan kepalaku dengan yakin. "Ya, gue pengen bahagia."
Farir mengacak rambutku yang sengaja kuurai dengan senyum yang masih bertahan dimulutnya. Aku memandangi jalanan yang terus berlalu. Menjadi hiburan tersendiri bagiku, terutama menjernihkan pikiranku yabg masih kacau. Kutatap Farir yang sedang fokus menyetir membuatku tersenyum.
"Lo napa senyum gitu lihat gue? Ada yang aneh?"
Refleks ku gelengkan kepalaku sambil tersenyum. "Lo ngak aneh. Gue aja yang aneh."
"Napa?"
"Karena gue merasa hatiku tidak normal lagi jika didekat lo."
Kulihat dia terkekeh geli mendengar perkataanku barusan. "Belajar darimana lo ngomong kata-kata itu?"
Aku menunjuk kepalaku. "Dari otak." dia kembali terkekeh lagi sambil mengacak sedikit rambutku. Ponselku berdering dengan nama Nita yang terpampang dilayar ponselku.
"Halo."
"Lo dimana? Gue udah didepan apartemen lo nih. Gue yakin lo pasti suka dengan apartemennya."
Mendengar suaranya yang antusias mau tidak mau membuatku ikut merasakan antusiasnya.
"Iya? Gue ama Farir udah mau sampai nih."
"Bener nih? Bukan lagi pacaran kan?"
"Isssh, bener lah."
"Bener nih? Gak bohong kan? Apa jangan-jangan udah berganti status? Lo jangan bohong nih."
Farir yang duduk disebelahku tiba-tiba saja terkekeh. Aku lantas memukul tangannya.
"Gue gak bohong. Nih dah sampai. Lo diam-diam dulu disana. Bye."
Aku lantas turun dari mobil begitu juga Farir yang membantuku mengeluarkan koper juga kotak sedang itu. Dia juga membantuku mengangkat kotak itu sampai keapartemenku.
"Nit.. Makasih ya."
" Makasih karena apa si? Kan apartemen ini lo yang bayar sendiri. Gue cuman bantu cari aja. Kebetulan ada teman papa gue yang nawarin tempat ini. Katanya si tempatnya bagus, juga gampang mau kemana aja."
Kupeluk Nita dengan erat. Aku tidak tahu lagi mau bagaimana jika tidak ada dia.
"Nit.. Lo mau nginap gak?" tanya ku padanya.
"Ngak deh. Lo pasti capek kan? Gue nginapnya lain kali aja."
Aku hanya menanggapinya dengan senyum sembari mengangguk setuju. Kulihat Farir berjalan mendekatiku lalu mengecup keningku sekejap. Nita lantas memalingkan mukanya sambil bersiul-siul dan bertepuk tangan tidak jelas.
"Istirahat yang banyak, besok gue jemput."
Kulihat Farir melangkah menjauh dan menarik Nita yang protes ditarik begitu saja. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Aku menghela nafas sejenak. Ini akan sangat melelahkan.
Tbc
Jgn lupa divote klu suka.
Thx.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl Who Was Hurt[COMPLETED]
Teen FictionLuka yang kalian berikan padaku. Luka yang kalian buat, tidak peduli apakah luka lamaku sudah sembuh atau belum. Apakah aku melakukan kesalahan? Kesalahan apa itu sampai kalian membenciku? Tidak peduli seberapa benci kalian pada gue, gue tetap meny...