~25~

6 1 0
                                    


Aku segera merapikan buku-buku ku dan menyimpannya kedalam tas, namun tidak beranjak dari tempat dudukku. Aku memang ingin menunggu semua murid yang ada didalam kelasku meninggalkan kelas begitupula dengan Nita yang melakukan hal sama denganku. Sebelum bel masuk berbunyi, aku memang sempat mengirim pesan pada Nita untuk pulang bersama nantinya dan untungnya dia mau menerimanya. Setelah memastikan semua orang telah keluar dari kelas, aku pun beranjak dari tempatku dan menghampirinya.

"Lo mau nanya tentang Marie? Udah puas pencariannya?" ketusnya sambil memainkan ponselnya.

"Gue gak ketemu kak Marie disana," ujarku yang tidak kalah ketusnya.

"Ya iyalah, dia udah dipindahkan. Bahkan gue sangsi dia masih perawan atau gak," sinisnya yang membuat mataku memanas. Aku pun merebut ponselnya dan mengabaikan tatapan menghunusnya padaku.

"Lo bilang apa tadi? Lo jangan makin lama makin keterlaluan! Kalau bukan karena takut mereka napa-napa, udah gue laporin kalian ke polisi!" bentakku kemudian membanting ponselnya ke meja hingga terpelanting ke lantai.

"Apa?! Lo gak terima? Jangan salahin gue juga, gue gak salah!?"

Baru saja aku ingin membalas, namun sebuah tangan merangkulku dari belakang. "Yang dikatakan Nita bener."

Disaat aku menatap matanya, ternyata dia juga sedang menatapku.

"Dia memang gak ada salahnya dalam masalah ini. Dia hanya perantara menguntungkan bagi pelakunya. Bisa lo kasih kesempatan buat dia?" tanyanya.

Aku mendengus lalu menjauhkan tangannya dari pundakku. "Apa yang bisa dia buktikan?"

Aku sengaja membelakangi mereka. Aku tidak ingin melihat mereka, terlebih bagaimana Farir yang begitu membelanya seolah-olah Nita memang tidak bersalah.

"Del.. Gue bisa nganterin lo ke satu tempat, tapi tolong kontrol emosi lo," ujar Nita pelan.

Aku menoleh ke belakang dan menatapnya. "Oke. Besok pagi gue jemput lo," ujarku.

"Gak, nanti gue yang jemput kalian," sahut Farir.

"Terserah."

Aku langsung melenggang dari sana dan turun ke bawah secepat mungkin. Sesampainnya di parkiran, aku merasa bersalah pada Zifo.

"Lo kemana aja kak? Padahal kalau lo gak turun lima menit lagi, gue yang bakalan ke atas cari lo."

"Sorry, gue tadi cuman bahas sesuatu sama mereka."

Tatapannya berubah menjadi mengintimidasi. "Apa yang kalian bahas?"

Bukannya menjawab, aku malah nyengir-nyengir tidak jelas sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Ehmm.. Besok kan hari minggu, jadi..."

Sebelah alisnya terangkat keatas, menatapku bingung. "Jadi apa kak?"

"Temani gue ya buat nyari kak Marie," nyengirku padanya. Dia hanya mengangguk dan mrnatap tajam ke belakangku. Dia menarik tanganku dan membukakan pintu mobil.

"Ayo masuk kak, gue gak mau lihat muka bedebah itu."

Ku lirik sekilas ke arah belakang dan kulihat Farir yang juga menatap tajam kearah sini. Aku menatap kedepan lagi dan masuk kedalam mobil. Tidak lama, Zifo juga masuk dan mulai menjalankan mobil. Kurasa dia benar-benar tidak ingin melihat Farir.

****

Teriakan alarmku yang nyaring menghiasi ruangan kamarku. Aku mecoba menggapai alarmku namun tidak dapat ku temukan di dekatku. Aku tidak mungkin salah karena suaranya memang terdengar sangat dekat. Karena heran, aku pun membuka mataku dan melongo melihat Zifo yang tengah memegang alarm. Alarm itu telah dimatikannya.

"Bangun kebo. Disuruh temani, tapi masih tidur orangnya," sindirnya membuatku melayangkan bantal ke mukanya.

"Kakkkk!?!?"

Aku tertawa keras melihatnya. Dia mengusap pipinya sambil memungut bantalku. Aku segera mengambil baju ganti yang memang sudah kusiapkan semalam lalu berlari ke kamar mandi. Aku masih tertawa mendengarnya yang meneriaki ku dengan kesal.

****

Aku mematikan keran air sembari meneriaki adik kesayanganku itu yang entah hilang kemana. Sambil berdecak, aku melangkah ke arah pintu dan membukanya perlahan.

"Kak.."

Aku menoleh kebelakang dan mendapati dia yang menatap tajam pada Farir.

"Napa lo kesini?"

Ku putar bola mataku dengan malas. Aku melangkah ke arah dapur tanpa ingin peduli drama apa yang akan terjadi diantara mereka berdua. Aku segera mencuci piring yang tersisa setelah itu mengelap tanganku. Disaat aku baru keluar dari dapur, aku hanya bisa melongo. Bagaimana tidak melongo kalau adik mu yang terlihat tidak suka pada mantan gebetanmu itu sekarang sangat akrab dengannya. Aku lantas melirik ke arah Nita yang sepertinya lebih suka dunia ponsel dibanding realita aneh yang sedang terjadi sekarang. Farir menatapku sembari tersenyum. "Udah siap?"

"Gue ambil tas dulu."

"Iya-iya cepat sana," timpal Nita yang terdengar menyebalkan. Aku tidak peduli. Aku melesat ke kamarku dan mengambil tas kecil dan tidak lupa dengan ponselku. Aku bergegas ke bawah dan kulihat tidak ada seorang pun lagi yang duduk di sofa ruang tamu.

Dasar tidak berperikemanusiaan. Tega-teganya kalian ninggalin gue.

****

Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya aku menguap. Aku menoleh ke sebelahku dan mendapati Nita yang sudah tertidur pulas dengan menjadikan bahuku sebagai bantal. Dasar! Aku bahkan belum memaafkan dia, berani-beraninya dia menjadikan bahuku srbagai bantal. Aku menatap kearah bangku kemudi, Farir masih tetap menatap lurus ke arah depan sedangkan Zifo sudah berada dialam mimpi.

"Kenapa gak tidur?"

Aku tersentak. Apa dia tahu sedaritadi aku terus memperhatikannya?

"Gak bisa tidur," jawabku seadanya.

"Tidur aja, masih lama perjalanannya. Lo gak usah khawatir. Nanti gue bangunin kalau dah sampai."

Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap keluar jendela sambil membiarkan ngantuk yang perlahan menyerang.

Tbc.

Jgn lupa di vote kalau suka,

Thx.

Girl Who Was Hurt[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang