~23~

4 1 0
                                    



Sebuah pesan kubaca berulang kali. Aku membandingkan pesan yang dikirim Hazy dan Nita. Pesan dengan hiburan yang sama namun aku tahu makna didalamnya berbeda. Jika Hazy tulus menghiburku melalui pesan itu, sebaliknya Nita hanya mengejek kebodohanku secara halus. Ya! Halus sebutir pasir, namun akan menyakiti kulitmu jika bergesekkan dengan kulit polosmu itu.


Sebuah minuman dingin diletakkan didepanku. Aku mendongak menatap Zifo yang tersenyum padaku. Setidaknya aku masih mempunyai harapan lain sama seperti yang dikatakan Zifo. Dia mengambil tempat disebelahku. "Kak, makan dulu. Gue dah beli burger sama minuman kesukaan lo."


Aku menatap makanan didepanku. Makanan yang kembali mengingatkanku dengan ibu yang selalu membelikan menu ini saat aku sembuh dari sakit. Menu yang selalu membuatku semangat menghadapi sakit. Entah hanya demam, flu atau lainnya , ibu selalu menyuruhku melawannya dengan minum obat dan senyum. Setelah sembuh, ibu akan membelikan menu ini sebagai hadiah karena berhasil melawannya.


"Kak...."


Aku menoleh dan air mataku dihapus oleh Zifo dengan ibu jarinya. "Jangan nangis." Tangannya terangkat dan mengelus kepalaku. Bagaimana aku tidak menangis lagi? Perlakuannya ini mengingatkanku pada Marie lagi. Marie yang hilang entah kemana. Aku rindu! Aku rindu semuanya! Apa ini karma? Aku berbuat jahat pada mereka dan Tuhan mengambil mereka sebagai hukuman agar menyadarkanku. Aku... aku... aku tidak dapat memikirkan apapun lagi. Aku kehilangan seleraku.


"Boleh gue keatas aja? Gue gak nafsu makan."


Zifo mengangguk memaklumi. "Gak papa kak. Gue bisa kok makan dua burger. Minuman kakak juga bisa gue habisin dalam sekejap. Gak akan kenyang. Kakak istirahat aja sana," ujarnya yang membuatku mau tidak mau tersenyum. Entah harus ketawa atau menendangnya.


Aku melangkah menjauh dari meja makan. Kakiku memilih berjalan kearah halaman belakang.


Pranggg


Lamunanku buyar. Secepatnya aku berlari kearah sumber suara. Aku menarik tangan Zifo yang terluka membuatnya meringis sambil menarik tangannya menjauh dariku.


"Lo gak papa?" tanyaku khawatir. Zifo hanya menggeleng. Aku berdecak kesal. "Lain kali hati-hati. Obati sana luka lo! Gue yang bersihkan pecahannya."


Dia mengangguk patuh lalu pergi. Aku segera mengambil sapu lalu menyapu pecahan kaca itu ke sekop yang kemudian ku buang ke tong sampah disebelah wastafel dapur. Aku meletakkan kembali sapu dan sekop itu.


Aku mendongak. "Dia udah obatin lukanya atau belum ya?" tidak ingin berpikir, mendingan aku pergi melihat kondisinya. Namun apa yang kulihat? Bahkan aku tidak dapat mempercayainya.


Setelah membuka pintu kamarnya, Tangan yang tadi kulihat berlumuran darah itu sudah hilang. Jika ada perban, aku akan percaya jika dia memang sudah mengobatinya dengan baik, tapi ini... Tidak ada perban satupun. Tangannya mulus kinclong tanpa ada bekas luka sedikitpun. Dia bahkan duduk teramat santai menggunakan tangan yang tadi kulihat terluka itu untuk menahan dagunya. Merasa ada yang membuka pintu kamarnya, dia menoleh dan terkejut sebelum akhirnya memasang senyum kakunya, mematikan TV, lalu berdiri. 


"Kak... kok gak ketuk dulu?" tanyanya dengan cengiran dan wajah tidak berdosanya itu.


Aku memijit pelipisnya. Aku merasa seperti gadis bodoh. Atau memang aku sangat bodoh.


"Jadi lo bohongin gue?" geramku padanya yang dibalas cengiran. "Gue cuman gantiin darah dengan cairan kental yang mirip darah doang kok. Gue kan gak mungkin bohongin kakak," cengirnya yang membuatku semakin tidak ingin berdiam disana. Kulangkahkan kaki ketempatnya lalu menjewer telinganya membuat di empunya menjerit kesakitan.


"KAKKKKKK!!! AMPUNNN!!! GUE BENERAN GAK BOHONGIN KAKAK!!! GUE CUMAN PENGEN BUAT KAKAK SADAR AJA!!!"


"SADAR DARI APA HAH?!" bentakku tidak terima. Aku melepaskan jewerannya. Apa dia pikir aku tidak waras? Atau kerasukkan? Dasar!

"Istirahat lah. Gue pengen istirahat juga," ucapku sambil menjauhkan tanganku dari telinganya.



****



Sudah satu jam. Satu jam tidak terasa bagiku. Aku duduk dengan diam sambil menatap wajah ayah yang tenang. Tenang namun mematikan. Apa ayah juga akan meninggalkanku dan menyusul ibu? Dan bagaimana dengan kak Marie? Apa dia baik-baik saja? Kemana dia? Semua pertanyaan itu selalu menghantui pikiranku. Jangankan itu, disaat melihat wajah ayah yang damai, aku seolah ingin membangunkannya hanya karena takut dia pergi dariku. Kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku. Tanpa ku menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik tangan tersebut. Orang yang selalu menemaniku akhir-akhir ini.


"Kak... Ayo kita makan. Gue dah beli nih. Masa lo tega si sama gue. Kan gue nanti dikirain jomblo kalau makan sendiri."


Aku memutar bola mataku. "Emang dasarnya lo dah jomblo. Jomblo kok malu si?"


Aku sengaja menoleh kebelakang untuk melihat reaksinya. Wajah cengo dan tidak percaya sangat mendominasi wajah tampannya itu. Ya, dia memang tampan menurutku. Bahkan jika dilihat sekilas, Zifo memiliki banyak kesamaan dengan papa Harry.


Tawaku meledak seketika sambil menundukkan badanku sedikit. Sebuah tangan mengacak rambutku, membuat tawaku terhenti seketika.


"Kak, tawa lo itu cantik, jadi gak usah murung. Gue gak nyuruh lo buat terus senyum. Gue cuman ingin lo berhenti sedih. Gitu aja, simple, gak pakai ribet," ujarnya sambil tersenyum.


Aku mengangguk. Ku tatap kemhali ayah. Ya! Aku tidak akan bersedih lagi. Ayah pasti akan segera sembuh. Setelah sembuh, aku akan mengajaknya makan bersama, mengobrol bersama, bermain bersama, tidak peduli pagi, siang ataupun malam. Aku hanya ingin memulainya dari awal.


Tbc.

Jangan lupa divote kalau suka,wkwk.

Thx.

Girl Who Was Hurt[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang