~9~

11 3 2
                                    


Jika kau berpikir
kau yang paling menderita,
itu normal-normal saja,
hanya saja kurang baik.
Kita yang mengatur cerita dalam drama kita,
bukan drama yang mengatur cerita hidup kita.

****

Farir menghentikan langkahnya karena satu tangan Addelle yang lainnya dicekal oleh Marie.

"Lepas!" dingin Marie.

Farir melepaskan cekalan tangan Marie dan menarik Addelle kebelakangnya. "Kalau gue lepas, lo bakal apain Addelle? Pukul dia? Marah dia? Ngebentak dia?"

"Jangan kira gue gak tahu, lo dibelakang suka ngegosip. Bukan hanya itu, lo juga sering ngefitnah Nita yang ngehasut Addelle, juga Addelle yang berubah. Padahal kalian yang berubah," tambah Farir. Dia kembali menarik Addelle pergi meninggalkan kantin. Marie menggertakkan giginya marah. Tangannya terkepal kuat hingga membuat teman-temannya merinding sendiri ketika berdiri disebelahnya.


****


Farir mendudukkan Addelle disebuah kursi yang diletakkan di taman sekolah. Biasanya tempat ini mereka gunakan untuk praktik.

"Nita ada dimana?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Dia khawatir pada temannya itu.

"Dia dibawa Aldi. Aldi gak akan biarin pacarnya sedih, kan?"

Addelle mengangguk. "Sejak kapan mereka ngebully lo?" tanya Farir sembari berjongkok didepan Addelle untuk menyamakan tingginya.

"Sejak hubungan gue dengan kakak gue renggang. Gue juga gak tahu kenapa. Seingat gue, setelah hari dimana Nita main kerumah gue, kita sekeluarga udah gak akrab lagi." Farir mengeryit tidak mengerti.

"Jadi Nita yang buat hubungan kalian renggang?"

Addelle menggeleng. "Bukan. Seingat gue, dia pernah mecahin gelas rumah gue. Mereka membesar-besarkan padahal kan cuman masalah kecil saja. Mereka juga suka nyindir Nita. Sebagai teman, mana mungkin gue diam. Sejak itu, gue udah gak begitu dekat lagi dengan mereka. Paling bicara pas butuh aja."

Farir tersenyum, "Gak usah sedih lagi. Ada gue," bujuknya membuat Addelle tersenyum.

"Thanks."

"Gak masalah."

Farir kembali berdiri dan mengulurkan tangannya. Dia membantu Addelle berdiri. "Del," panggilnya.

"Apa?"

"Jangan peduliin mereka, selagi yang lo lakuin itu perbuatan baik, jangan berhenti."

Addelle tersenyum sembari mengangguk. Dia tidak akan berhenti membela temannya. Walau harus kehilangan hubungan dengan keluarganya. Selagi temannya itu tidak bersalah, maka dia tidak akan pernah meninggalkannya dan akan terus membelanya dari fitnah.

****


Langit sore yang telah terganti menjadi langit biru yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan. Tanpa adanya satupun bintang yang muncul menyapa bumi. Addelle berdiri dibalkon kamarnya, menghirup udara segar dan merasakan tiap hembusan angin yang menerpanya. Pikirannya kacau. Dia bertengkar hebat dengan keluarganya hanya karena dia membela sahabatnya. Addelle bingung, mengapa mereka tidak menyukai Nita? Apa Nita pernah melakukan kesalahan?

Addelle menunduk. Air matanya tiba-tiba saja lolos. Air mata yang selama ini ditahannya karena tidak ingin dianggap lemah, mengalir tanpa henti. Isak tangis mulai keluar dari bibirnya.

Apa yang harus ku lakukan sekarang?

Tok tok tok

Addelle menghapus air matanya dengan cepat lalu berlari kekaca sebentar untuk melihat wajahnya. Dia segera membuka pintu kamarnya dan terkejut. Marie membalikkan tubuhnya dan menatap Addelle dari atas sampai bawah.

"Nangis?"

Addelle terkejut kembali. Inilah pertama kalinya Marie mengunjunginya seperti ini setelah kejadian dimana mereka bertengkar hebat tahun lalu.

"Lo mau masuk?" tanya Addelle canggung.

Marie tampak memikirkan sejenak kemudian mengangguk. Addelle membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan Marie masuk. Marie duduk ditempat tidur sambil menatap Addelle yang duduk dikursi tempatnya belajar.

"Lo ingin bicara apa?" tanya Addelle langsung. Marie merubah posisinya menjadi berbaring. Dia menepuk tempat sebelahnya membuat Addelle beranjak dari duduknya dan berbaring disebelah Marie.

Marie menunjuk ke langit kamar  dimana ada sebuah stiker seekor harimau yang tengah merobek daging mangsanya. "Lo masih ingat kan? Stiker yang kita susah payah tempelin keatas sana."

"Jika sudah lapar, harimau itu tidak akan peduli terhadap mangsanya. Yang dipedulikannya hanya menghilangkan rasa laparnya. Begitu juga dengan gue. Lo bilang gue jahat kan? Kalau demi kebaikkan gue, gue gak akan peduli siapapun yang mengatai gue."

Marie merubah posisinya menjadi duduk. "Sejahat-jahatnya orang, mereka masih ada hati yang baik, hanya saja tertutupi oleh kejahatan yang dimilikinya. Dia sebenarnya sadar, hanya saja dia mencoba tidak peduli, karena apa? Ya itu, selagi untuk kebaikkannya, untuk apa peduli dengan yang lain?" tambahnya.

Addelle ikut merubah posisinya menjadi duduk. "Walau begitu, tapi tetap aja ada yang tidak bisa membedakan mana untuk kebaikkannya sendiri, mana untuk keegoisannya sendiri," balas Addelle.

"Of course, kebanyakkan dari kita merasa diri kitalah yang paling dibawah, padahal ada orang yang lebih dibawah kita. Itu kenapa? Karena disaat itu kita udah sangat tertekan, itu udah berada diujung kemampuan kita. Tapi menurut gue, mereka hanya tidak ingin terlalu lelah! Tapi kata-kata itu gue tarik kembali. Seandainya gue yang ada diposisi mereka. Gue juga akan melakukan hal yang sama. Karena disaat kita sudah berada diujung kemampuan kita, kita tidak bisa lagi berpikir sejernih sekarang."

"Jadi?"

Marie beranjak dari duduknya, dia betdiri dihadapan Addelle yang masih menatapnya bingung. "Ya gue cuman mau bilang kalau gue gak jahat, gue juga gak menderita amat."

"Hanya itu?"

"Gue juga mau sekalian ingatin." Marie melangkah mendekat. Dia mencondongkan badannya kedepan hingga mukanya berada tepat didepan Addelle.

"Gue gak suka kedekatan lo ama Farir, atau lebih tepatnya gue benci kedekatan itu." tekannya. Dia menarik kembali kepalanya dan berjalan kearah jendela.

"Gue itu kakak lo, gue gak akan mungkin membuat lo menyesal. Jadi jauhin Nita dan Farir."

Tangan Addelle mengepal sempurna. Mukanya juga sudah memerah menahan amarah.

"Kak.. Lo mau sampai kapan ngerebut semua kebahagiaan gue?" tanyanya masih bersabar.

"Gue gak ngerebut, gue hanya..."

"Hanya apa?!" potong Addelle.

"Lo kira gue apa kak? Kalau memang lo gak suka gue dekat ama Farir, gue masih bida tahan. Tapi kenapa harus Nita? Nita sahabat gue. Disaat kalian semua ngejauhin gue, dia yang selalu ada buat gue, dia selalu ngebela gue, dia selalu ngejadiin dirinya sebagai tameng buat gue. Apa itu gak cukup?! Bukannya lo sendiri yang bilang ke gue kalau Nita itu baik?!"

Addelle berhenti sejenak mengontrol nafasnya yabg memburu akibat teriak. "Kak.. Please.. Gue udah gak tahan. Sekarang mending lo keluar dari sini."

Marie menatap tidak suka pada Addelle. Dia menghentakkan kakinya sambil berdrcak kesal krmudian mrlangkah oergi.

Brak

Bersamaan dengan suara bantingan pintu yang terdengar, air matanya lolos begitu saja tanpa bisa dihentikan. Dia menangis terisak-isak, menumpahkan semua kekesalannya, tekanannya. Biarkanlah dirinya merasa paling menderita.

Disatu sisi, dirinya sangat ingin hubungannya dengan keluarganya kembali dekat. Disatu sisi lain, dirinya tidak ingin meninggalkan sahabatnya. Dia juga tidak ingin menjadi pengkhianat. Dimalam itu, hanya dinding dan rembulan yang menjadi saksi dimana Addelle telah mencapai ujung kemampuannya.

Tbc.

Jgn lupa divomment kalau suka.

Thx.


Girl Who Was Hurt[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang