~20~

5 1 0
                                    

Setelah dua hari berlalu. Masih belum ada yang menjengukku. Didalam hatiku masih tersimpan harapan ada yang menjengukku. Namun disisi lain, aku merasa semua perhatian yang ku dapatkan itu hanya kebohongan. Tidak ada yang serius memerhatikannya. Tidak ada!

Aku mengangkat bibirku walau berat. Tidak usah khawatir, mereka pasti menjengukmu. Walau bukan hari ini, namun bisa jadi besok. Aku menggerakkan tanganku dan mengambil gelas yang ada disebelahku. Aku meminumnya lalu meletakkannya lagi.

Disaat pintu ruang ini dibuka. Mataku hanya menangkap orang asing yang bahkan tidak pernah ku temui. Dia berjalan sambil membawa secarik kertas ditangannya.

"Lo Addelle kan?" tanyanya padaku yang kuangguk. Detik kemudian sikapnya membuatku tersinggung. Apa maksudnya tersenyum sinis padaku?

"Ck, jadi lo adik durhaka itu?"

"Apa maksud lo?" tanyaku yang tersinggung kata-katanya.

Dia duduk disofa sambil menyilangkan kakinya. "Mana ada adik yang gak percaya kakaknya? Apa lo udah dihipnotis? Hooohhh atau lo udah dikasih pelet?" tanyanya sambil mengangkat sebelah tangannya menutupi mulutnya yang terbuka seolah-olah terkejut.

"Gak usah sembarang ngomong lo!? Siapa lo?!" bentakku padanya. Siapa orang asing ini?

"Ck, kalau bukan kak Allya nyuruh gue kesini. Gue juga gak akan kesini," decaknya. Allya? Oooh tidak! Jangan bilabg dia...

"Jadi lo Alsha?" sinisku ketika mengingat nama itu. Dia hanya memutar bola matanya. Itu sudah cukup membuktikan tebakanku benar.

"Gue kira salah satu orang yang gue kenal yang bakal jenguk gue. Tau-taunya orang asing yang datang jenguk gue."

"Curhat lo?" tanyanya yang kuabaikan. Menyebalkan!

"Kalau lo dengarkan keluarga lo, lo juga gak akan terbaring gak berguna disini," ujarnya pedas. Gak berguna? Helloooo, apa dia tidak pernah merasa sakit? Aku semakin yakin dengan ucapan Nita tentang dia. Memang tidak punya hati!

"Itu masalah gue, gue gak suka orang asing ikut campur, " ketusku padanya.

"Ngapain si lo percaya sama Nita?" tanyanya yang kelihatan kesal. Apa salahnya aku percaya pada sahabatku?

"Lo jangan pernah menjelek-jelekkannya," ancamku padanya.

Dia berdiri, lalu tersenyum sinis. "Lo ngancam gue?" oke cukup. Sekarang aku mengerti ucapan Nita. Aura Alsha memang menakutkan ketika sudah serius. Dia berjalan mendekat padaku dan menyodorkan secarik kertas itu. Aku menerimanya lalu balas menatapnya.

"Baca. Itu dari Marie. Tugas gue udah selesai."

Dia berjalan kearah pintu dan menghilang dari pandanganku ketika pintu tertutup. Aku membuka kertas itu dan mulai membacanya.

Sungguh aku tidak percaya! Bagaimana mungkin? Aku tidak percaya apa yang ditulis Marie. Dia berbohong! Bohong! Tapi jika itu benar, selama ini aku telah ditipu Nita. Aku hanya umpan baginya juga keluarganya agar dapat menghancurkan ayah.

Tanganku terkepal. Bagaimana mungkin? Kini aku tahu alasan mereka melarangku. Tapi mengapa mereka gak langsung bilang padaku alasannya? Kenapa harus sekarang? Kenapa harus disaat aku menyesali semuanya?

****

Aku berjalan dengan lesu. Aku sudah kehilangan semangatku. Ketika aku sampai dikelas. Aku dapat melihat dengan jelas Nita yang duduk dan berbicara dengan Farir. Jadi bukan hanya ingin menghancurkan keluargaku, tapi juga menikung? Hebat sekali!

Aku melepaskan tasku dan kulemparkan ke meja begitu saja. Suara keras itu menarik perhatian seluruh kelas ini tentu saja. Aku keluar dari kelas lalu berhenti ketika namaku dipanggil.

"Del, lo napa?" tanya Farir.

"Pedulikan saja Nita. Aku tidak ingin perhatian palsumu itu," dinginku padanya.

Aku dapat mendengar jelas tawanya. Tawa mengejek lebih tepatnya. "Jadi lo udah tahu semuanya? "

Langkah kakinya terdengar jelas. "Lo emang gak berguna seperti yang dikatakan Nita," bisiknya tepat ditelingaku. Dia manarik kembali kepalanya.

"Asal lo tahu aja. Lo udah buat gue kecewa. Selama ini, lo kelihatan suka ke gue, beri gue harapan, tau-taunya dibelakang lo sama busuknya dengan sampah! Lo selalu godain para cowok!"

"Terserah apa kata lo. Asal gue tahu kebenarannya sekarang. Sahabat gue ngefitnah gue. Itu sudah cukup bahagia buat gue," balasku kemudian melangkah pergi dari tempat itu. Pertengkaran tadi kurasa akan menjadi topik yang hangat disekolah ini.

"Akhirnya lo gak buta juga."

Aku menatap Hazy. Dia tersenyum ramah padaku. Tidak seperti senyuman licik saat membullyku. "Maaf pernah membully lo. Gue pikir itu bisa buat lo takut buat temenan sama Nita. Ternyata gue salah waktu itu. Tenang aja Del. Lo gak bakal digosipin yang buruk-buruk. Karena kita tahu sebenarnya yang salah itu Nita. Lo cuman dimanfaatkan Nita." untuk pertama kalinya dia berbicapa padaku panjang lebar gini. Aku tersenyum.

"Terima kasih."

"Satu lagi. Gue dengar si Farir beneran serius ke lo. Apa lo tetap nyerah?"

"Itu bukan lagi urusan gue."

"Ah iya bener, si jalang itu memang keterlaluan. Udah lah. Gak usah pikirkan itu. Yang penting, kita semua ngebela lo kok."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Kak, gue rindu lo.

Tbc.

Jgn lup divote kalau suka.

Thx.

Girl Who Was Hurt[COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang