"Disini?"
Addelle mengangguk dan turun dari motor Farir. "Makasih ya, buat ngantetin gue."
Farir tersenyum. "Nanti pulang, perlu gue jemput?"
Addelle tampak memikirkan sejenak lalu menggeleng. "Biasanya kak Allya yang bakal ngeantarin gue pulang."
"Kak Allya?"
"Hmm.. Teman dekat gue."
Farir mengangguk. "Kalau gitu, gue pergi dulu ya, urusan keluarga gue belum selesai."
"Emang urusan apa?" tanya Addelle penasaran. Farir hanya diam. Tangannya naik dan mengacak puncak kepala Addelle.
"Bakal gue kasih tahu nanti, lo masuk sana."
Addelle mengangguk. Dia harus mengubur dalam-dalam rasa penasarannya. Farir memang orang yang jarang menceritakan masalahnya dan lebih memilih menyelesaikannya dibanding memendamnya.
Tok tok tok
Pintu terbuka cukup lebar. Seseorang dengan senyum rindunya memeluk Addelle sangat erat. "Wahhh, nekkkkk, kok lo gitu si. Issshh, gue bisa iri loh."
Weni menoleh kearah cucu angkatnya yang menatapnya sambil mengerucutkan bibirnya. "Gak usah iri, mau makan rumput?"
Allya membelalakkan matanya tidak percaya begitu juga dengan mulutnya yang terbuka sempurna dengan ancaman Weni yang sampai sekarang belum berubah. Bukan hanya itu, jika kata 'rumput' sudah keluar dari mulut Weni. Maka Allya harus berhati-hati. Dirinya sudah trauma disaat pertama kali dia tinggal bersama neneknya itu. Disaat itu, dia belum terlalu mengenak nenek angkatnya itu. Dan untuk pertama kalinya, dia bener-bener memakan rumput itu.
"Nenek.. Irinya udah hilang."
Weni terkekeh mendengar jawaban cucu angkatnya yang sama persis dengan menantunya. "Udah lah. Del, masuk, nanti masuk angin."
"Masuk angin? Mana mungkin? Gue udah pakai jaket."
"Jangan dengerin nenek, dia cuman pengen lo masuk aja."
"Allyaaa.."
"Ampun nek, ampun. Nanti gue kirim pesan ke Alsha buat kesini," histeris Allya.
"Bagus-bagus. Bilang juga supaya Derick gak usah kesini. Malas nenek lihat mukanya. Suruh dia belajar yang bener dulu baru kesini."
Allya menatap neneknya kagum. Kedua jempol terangkat sempurna. "Nek, itu gue harus kasih tahu." Allya mengeluarkan ponselnya dan berjalan keluar. Ia duduk dikursi yang diletakkan diterasnya. Mendengar tawa yang berasal dari dalam, senyumnya muncul seketika.
Ponselnya terangkat ketelinganya dan menunggu panggilannya terangkat.
"Hallo."
"Cieee, lagi apa yah? Kerja? Alsha ama Derick mana?"
"Dasar. Ibu disana baik-baik aja kan?" tanya Fedrick mengkhawatirkan Weni.
Allya tersenyum. "Sini ada gue yah, gue bakal ngejagain nenek sebaik mungkin."
Dilain sisi, Fedrick bersyukur. Walau tidak ada Shirley, namun Allya tetap menuruti juga mengingat pesan terakhir ibu angkatnya itu.
"Bagaimana hari mu? Jadi pengacara capek juga kan?" tanyanya pada putri angkatnya.
"Wahh.."
"Ini yang ayah gak tahu. Disini, entah udah berapa kasus yang gue selesaiin. Banyak banget kriminalnya. Heran gue. Bukan itu aja, kadang gue harus kerja sama dengan detektif itu. Yang nyebelinnya, tiap ada kasus, detektif itu mulu yang dipanggil, kayak gak ada yang lain," lanjutnya mengeluarkan unek-uneknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl Who Was Hurt[COMPLETED]
Teen FictionLuka yang kalian berikan padaku. Luka yang kalian buat, tidak peduli apakah luka lamaku sudah sembuh atau belum. Apakah aku melakukan kesalahan? Kesalahan apa itu sampai kalian membenciku? Tidak peduli seberapa benci kalian pada gue, gue tetap meny...