LINE
Daniel: Jo, lunch bareng yuk!
Jovita mengernyit setelah membaca pesan dari Daniel.
Setelah merayakan ulang tahun Renata bersama dirumahnya, mereka berdua memang terbilang cukup dekat lagi. Daniel tidak pernah absen untuk menghubunginya, tak jarang juga mengantar Jovita pulang ke rumah.
Tapi di hari Rabu ini, Daniel kembali mengajaknya makan siang bersama ketika dua hari kemarin mereka berdua juga baru makan siang bersama. Kenapa jadi setiap hari?
Jovita masih menatap layar ponsel yang diisi dengan chat Daniel. Ia akui, Daniel memang sudah banyak berubah menjadi sosok yang lebih perhatian, chatty, bahkan image dinginnya sudah meleleh begitu saja.
Jovita senang, tapi ia juga takut. Takut kalau sifat Daniel yang terlalu baik kepadanya akan membuat perasaan Jovita tidak karuan lagi. Ia masih takut untuk berkomitmen lagi, dan lagipula ia juga tidak tahu apakah Daniel bersikap baik seperti ini karena masih menyukainya atau Jovita saja yang kegeeran. Mungkin saja Daniel bisa bersikap baik seperti ini karena memang ia merasa nyaman dengan statusnya yang hanya sebagai teman.
LINE
Jovita: Sori Niel, tapi gue udah ada janji
Jovita bukan sekadar beralasan, ia memang sudah janji untuk makan siang dengan Arjuna.
Jovita menepuk-nepuk pipinya agar kembali berpikir jernih dan bukannya berpikir yang tidak-tidak. Ia pun langsung memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas tanpa menunggu balasan dari Daniel dan mulai bekerja lagi.
***
"Pa, Ma! Tolong berhenti menentukan jalan hidup aku! Biarin aku milih sendiri pria yang akan mendampingi aku." Jovita terisak karena Doni dan Fany memaksa Jovita untuk bertunangan lagi dengan pria pilihan mereka.
"Membiarkan kamu memilih pria seperti Dava?" Tanya Doni yang masih asyik menyeruput kopi dan membaca koran dengan santai. Ia menganggap keributan yang Jovita buat hanyalah angin lalu saja.
Jovita tertegun dengan pertanyaan Doni. Ia tidak percaya kalau Doni akan kembali mengungkit tentang Dava.
"Kita mau yang terbaik untuk kamu, Jo." Sama halnya seperti Doni, Fany juga menganggap obrolan ini hanya obrolan santai. Fany masih fokus melakukan yoga di depan TV.
Jovita tertawa remeh setelah mendengar ucapan Fany. Kata 'kamu' lebih cocok diganti diganti dengan kata 'kami', karena memang mereka hanya ingin yang terbaik untuk diri mereka sendiri bukan untuk anak semata wayangnya ini.
Jovita kembali naik ke kamarnya karena percuma ia berbicara sampai berbusa pun, kedua orang tuanya tidak akan menggubrisnya.
Ia memutuskan untuk pergi dari rumah. Bukan kabur, hanya ingin keluar sebentar untuk melepas penat.
Entah apa yang ada dipikiran Jovita, ia memilih rumah Daniel sebagai tempat pelariannya.
Mungkin dirinya ingin berbincang dengan Renata.
"Eh, non Jovita akhirnya main lagi kesini!" Nah yang sedang membersihkan halaman, menyambut Jovita dengan antusias. Terakhir kali Jovita main ke rumah memang saat ulang tahun Renata.
"Mama ada bi?" Walaupun Jovita menanyakan Renata, tapi entah kenapa sebenarnya yang ingin ia cari bukanlah Renata.
"Lagi keluar kota, non. Tapi ada den Daniel kok, non!" Nah menarik Jovita untuk masuk ke dalam rumah karena Jovita daritadi tampak ragu mau masuk ke dalam atau tidak.
Jujur saja, ketika Nah berkata bahwa ada Daniel di dalam, ia merasa senang. Mungkin memang sesungguhnya yang ingin ia temui adalah Daniel, bukan Renata.
YOU ARE READING
When Worst Become Best
General Fiction[COMPLETED] Maybe this is the worst decision that they've made, but they promise that they won't regret their decision