"Tante Renata?" Jovita dan Daniel yang baru saja kembali menginjakkan kaki di rumah Daniel, dikagetkan dengan sosok Renata yang sedang meneguk air putih.
"Hai sayang, kata bi Nah kalian nginep di rumah kamu ya?" Renata memeluk Jovita untuk melepas rasa rindunya.
"Iya ma, homesick." Daniel yang menjawab pertanyaan yang diajukan Renata dengan candaan.
Jovita memberi ekspresi cemberut kepada Daniel karena jawaban yang ia berikan tidak benar adanya dan Daniel hanya terkekeh melihat ekspresi lucu Jovita.
"Malem ini kalian keberatan nggak kalau kita makan diluar? Papa juga kebetulan udah disini dan nanti ikut nyusul, gimana?"
Jovita mengangguk antusias, entah kenapa ia bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari Renata. Jovita kemudian menatap Daniel untuk menunggu jawabannya, "Kalau Jovita setuju, aku ngikut aja." Dengan wajah datarnya, Daniel naik ke atas meninggalkan Jovita dengan Renata.
"Mas Daniel lagi banyak kerjaan dan tugas numpuk, jadi kayaknya capek banget, tan." Jelas Jovita yang tidak ingin melihat kekecewaan Renata ketika melihat wajah Daniel yang tidak bersemangat.
Renata tersenyum dan mengusap rambut Jovita, "Kamu juga pasti capek ya, abis pulang kerja malah tante ajak keluar lagi?"
Jovita dengan cepat menggeleng untuk membantah dugaan Renata, "Aku seneng kok, tan!" Jawabnya semangat. "Tan, aku naik dulu ya." Jovita ijin ke atas untuk menghampiri Daniel dan dijawab anggukan oleh Renata.
Tidak lupa, Jovita mengetuk pintu terlebih dahulu sampai mendapatkan jawaban Daniel dari dalam kamar.
Setelah dipersilahkan untuk masuk, barulah Jovita membuka pintu kamar tersebut. Jovita menghampiri Daniel yang berbaring di atas tempat tidurnya, "Mas ada masalah di kantor? Kayaknya suntuk banget?"
Daniel mengubah posisinya menjadi duduk, "Tadi ada meeting dadakan gitu, padahal jadwalnya harusnya minggu depan. Jadilah aku kelabakan harus nyiapin bahan." Daniel mengacak-acak rambutnya karena masih kesal dengan situasi yang dilaluinya tadi siang di kantor.
"Terus hasilnya gimana?"
"Untungnya tetap berjalan lancar sih, tapi capek banget. Rasanya otak aku udah terlalu diforsir."
Jovita tersenyum ceria mendengar keluhan Daniel.
"Kok kamu malah ketawa sih?" Jelas saja Daniel heran, kenapa Jovita malah senang diatas penderitaannya?
Jovita membenarkan rambut Daniel yang berantakan, senyumannya masih terukir jelas diwajahnya, "Karena aku senang bisa menjadi tempat mas untuk berkeluh kesah."
Daniel menatap manik mata Jovita dengan seksama, menatap senyum tulus yang diberikan Jovita untuknya, mendengarkan ucapan Jovita yang senang dengan keluhan sepele yang diceritakan oleh Daniel. Daniel pun ikut tersenyum karena ia baru menyadari betapa beruntung dirinya dipertemukan dengan wanita dihadapannya saat ini.
"Kamu sendiri gimana di kantor?" Tanya Daniel sambil menyelipkan rambut Jovita ke belakang telinganya.
"Nothing special, just did a daily routinities." Jovita mengangkat bahunya seolah bosan dengan kegiatan yang monoton yang ia kerjakan. Sedetik kemudian ia kembali menatap Daniel, "Tapi... kalau nanti aku ingin berkeluh kesah, boleh aku ceritanya ke kamu?" Sebenarnya, Jovita bukan ingin menambah beban Daniel yang sudah menghadapi banyak masalah. Ia hanya ingin mendengarkan jawaban yang ia harapkan keluar dari mulut Daniel.
"Of course! Telinga aku akan siap untuk mendengarkan apapun yang ingin kamu ceritakan sama aku."
Senyum Jovita pun makin mengembang setelah mendengar jawaban Daniel. Maybe this is really the starting point of their relationship.
YOU ARE READING
When Worst Become Best
Aktuelle Literatur[COMPLETED] Maybe this is the worst decision that they've made, but they promise that they won't regret their decision