22. Decision

538 166 50
                                    

*Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Selamat membaca :)

Tanpa memberitahu Daniel, Jovita sudah berjalan menuju ruangan Daniel. Tidak jarang Jovita mendengar bisikan-bisikan staf yang mungkin sedang membicarakan kehadirannya disini. Jovita tidak peduli dan memilih untuk terus berjalan menuju ke ruangan tunangannya tersebut.

Karena tidak melihat keberadaan sekretaris Daniel, maka Jovita memutuskan untuk langsung masuk ke dalam ruangan Daniel. Pintu ruangannya tidak ditutup rapat, sehingga Jovita dapat melihat kalau Daniel sedang ada tamu.

"Gue bener-bener nggak ngerti sama dia, Ga."

Begitulah kalimat yang Jovita dengar keluar dari mulut Daniel dengan nada yang terdengar... frustasi?

Jovita mengeluarkan senyum mengejek, karena ia yakin kalau 'dia' yang Daniel maksud adalah dirinya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Jovita melangkahkan kakinya memasuki ruangan Daniel.

Suara decitan pintu membuat Daniel dan seorang lelaki yang disebut 'Ga' tersebut menoleh ke arah Jovita.

Mereka dengan otomatis berdiri dan tentu saja pria dengan nama panggilan 'Ga' mengambil inisiatif untuk pergi dari ruangan, "Gue duluan." Pamitnya pada Daniel dengan menepuk bahu kanannya sebelum ia benar-benar menghilang dari ruangan. Tidak lupa, dirinya juga menutup pintu ruangan agar mereka berdua bisa bicara dengan leluasa.

"Siapa yang susah dimengerti?" Jovita mengeluarkan suaranya ketika memastikan bahwa tidak ada orang lain lagi di ruangan tersebut selain dirinya dan Daniel.

"Jo, bisa kita menyelesaikan salah paham ini? Jangan menghindar lagi." Daniel mempersilahkan Jovita duduk di sofa. Dan ketika Jovita sudah duduk, Daniel pun ikut duduk diseberangnya.

"Itulah alasan aku kesini."

"Ok." Daniel menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan untuk menenangkannya, "Kemarin-kemarin aku salah, aku udah sering mengingkari janji, maaf. Tapi aku benar-benar banyak kerjaan dan tesis yang nggak bisa aku tinggalin gitu aja." Ucap Daniel lembut tanpa emosi.

Pernyataan maaf Daniel tidak membuat Jovita luluh, kekesalan masih terpancar diwajahnya, "Aku nggak minta kamu ninggalin kerjaan kamu. Aku kesal bukan karena mas nggak bisa menemani aku, aku kesal karena mas menyepelekan janji yang mas buat dengan aku. Kalau kamu nggak bisa datang, kamu bilang dari awal. Aku nggak akan maksa kamu, kok." Jelas Jovita panjang lebar, "Dan satu lagi, that's not a good way to apologize. If you are truly sorry, you won't make any excuse."

Daniel mengangguk setuju, "I know... I'm sorry..." Daniel akui kalau memang ia salah telah mengingkari janjinya kepada Jovita, dan alasan yang dilontarkannya memang terdengar klise untuk dapat Jovita pahami. "Aku akan berusaha untuk membuat janji yang bisa aku tepati."

Jovita mengangguk, ia belum sepenuhnya membaik dengan permintaan maaf Daniel.

"Supaya nggak terjadi salah paham lagi, dua bulan ke depan aku akan disibukkan dengan projek, mungkin aku akan sering pulang larut malam. Please understand me, Jo."

Jovita tertegun ketika mendengar ucapan Daniel. Rasanya belum ada semenit Daniel meminta maaf padanya, tapi sekarang ia sudah melontarkan perkataan yang kembali menyakitkan Jovita. "Mas, apakah aku terlalu menekan kamu sampai kamu harus memohon seperti ini? Mas berbicara seolah hanya mas aja yang perlu dipahami. Apakah mas pernah mencoba untuk memahami aku?" Mata Jovita sudah berkaca-kaca, ia berusaha keras untuk menahan air matanya yang akan segera jatuh membasahi pipinya.

Daniel diam, ia seperti kehilangan kosakata untuk menjawab pertanyaan Jovita.

Jovita beranjak dari duduknya, "Kamu tahu? Tiga minggu lalu, saat kamu sakit karena sering lembur, itu adalah saat acara yang aku tangani mengalami kegagalan dan aku kena marah habis-habisan sama atasan aku. Tapi aku nggak mau nunjukin itu di depan kamu karena kamu udah cukup penat dengan kerjaan dan aktivitas kuliah yang kamu hadapi. Saat kamu dinas ke Bandung, itu adalah saat kamu udah janji mau nemenin aku ke makam kakek karena hari itu adalah hari ulang tahunnya. Saat kamu-" Jovita sudah tidak bisa menahan air matanya lagi, air mata tersebut jatuh begitu saja tanpa permisi.

Daniel langsung berjalan cepat ke arah Jovita dan memeluknya dengan erat, dari situ ia sadar bahwa dirinya lah yang egois. Ia tidak tahu betapa seringnya Jovita berusaha memahami dirinya tanpa dirinya yang pernah berusaha untuk memahami Jovita. "Maaf, maaf... maaf..." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Daniel. Ia tidak tahu begitu banyak luka yang telah ia goreskan di hati Jovita.

Jovita menangis sesegukan, kesulitan untuk mengatur napasnya.

...

Beberapa waktu yang Jovita habiskan untuk menenangkan dirinya, waktu yang Daniel habiskan untuk memeluk Jovita dan menepuk-nepuk pelan punggungnya, akhirnya Jovita kembali mengeluarkan suaranya. Perlahan ia keluar dari pelukan Daniel agar dirinya bisa menatap kedua manik tunangannya tersebut, "Mas, apa pernah aku menjadi prioritas kamu?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya. "Even just once..." Tambahnya lirih.

Lagi-lagi Daniel hanya diam.

Jovita tersenyum sambil menghapus air matanya, "I expect too much." Senyumnya yang amat dipaksakan masih terhias diwajahnya.

"Jo... maaf..." Sekali lagi hanya kata maaf yang bisa keluar dari mulut Daniel, "Can you give me one more chance? I promise-"

Jovita menggelengkan kepalanya masih dengan senyumnya, "Remember, don't make a promise that you can't keep." Jovita meraih cincin yang melingkar di jari manisnya dan berusaha melepasnya namun langsung dicegah oleh Daniel.

"Jo, please don't..."

Jovita menyingkirkan tangan Daniel, "Dari awal, pertunangan ini memang sebuah kesalahan, mas." Jovita masih enggan menghilangkan senyuman diwajahnya namun kedua matanya tidak bisa membohongi perasaan yang sebenarnya ia rasakan.

Sama halnya seperti Jovita, Daniel juga mengeluarkan air mata yang langsung membasahi area pipinya. Dengan cepat Daniel memeluk Jovita erat, "It's not a mistake... I will change, Jo. Please give me one more chance..."

"Aku lelah mas. Aku capek menghadapi semua ini. Aku mau lepas dari semua ini..." Jovita melepaskan pelukannya dengan Daniel. Ia kemudian melepaskan cincin yang tersemat di jari manisnya dan memberikan cincin tersebut ke atas telapak tangan Daniel, "Selama ego masih menguasai diri kita, hubungan ini nggak akan berjalan maju. Let's end all of this." Jovita menyeka air matanya dan hanya menyisakan senyum palsu yang menghiasi wajahnya.

Daniel mematung seiring melihat kepergian Jovita dari ruangannya. Setelah punggung Jovita menghilang dari hadapannya, pandangannya beralih kepada cincin yang ia genggam.

END

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

or not? 🤭🤭🤭

10 Desember 2018

When Worst Become BestWhere stories live. Discover now