6. What He Wants

630 162 13
                                    


Berbeda dengan kemarin, hari ini Jovita berhasil bangun pagi karena semalam ia sudah memastikan kalau alarm di ponselnya on.

Ia amat yakin kalau ia bangun lebih duluan daripada Daniel karena saat akan menuju kamar mandi, ia melihat sekelilingnya dan mengintip ruangan bawah, tidak ada tanda-tanda keberadaan Daniel.

Daniel memang bilang kalau tidak masalah untuknya siapa yang bangun lebih duluan, tapi Jovita juga punya prinsip kalau ia harus bangun lebih pagi dari calon suaminya kelak.

Hari ini ia berencana untuk membuatkan Daniel sarapan, tentu saja dengan ajaran Nah lagi karena Jovita seawam itu dengan dunia masak-memasak.

Setelah Jovita selesai mencuci muka dan menggosok gigi, ia menghampiri Nah untuk meminta pertolongan. Jovita memang tidak berencana mandi terlebih dahulu karena ia amat yakin kalau memasak akan menguras tenaganya. Jadi daripada ia keringatan lagi dan harus mandi dua kali, lebih baik mandinya nanti saja setelah selesai memasak.

Jovita menampakkan wajahnya ke dalam kamar Nah, "Bi Nah, boleh minta tolong lagi nggak?" Tanya Joy dengan nada semanis mungkin.

"Ealah si non, pagi-pagi buta udah bangun." Nah yang sedang menonton TV di kamarnya langsung beranjak dari duduknya ketika melihat wajah Jovita. "Mau minta tolong apa non? Bi Nah selalu siap untuk membantu!"

"Biasa bi, minta tolong ajarin aku masak untuk sarapan mas Daniel."

"Duh, den Daniel beruntung banget ya punya calon istri yang perhatian gini." Nah tertawa sesaat sebelum melanjutkan omongannya, "Emangnya non mau bikin apa?"

"Nasi goreng bi. Mas Daniel suka nasi goreng kan ya?" Jovita bertanya dulu kepada Nah, takutnya Daniel tidak suka dengan nasi goreng.

"Suka non, tapi den Daniel nggak doyan pedes, jadi biasanya nasi gorengnya dibanyakin kecapnya."

Jovita kaget sekaligus kecewa karena selera Daniel bertolak belakang dengan dirinya. Jovita tidak bisa hidup tanpa cabai dan sambal. "Yah, beda selera..." Ucapnya pelan.

"Hahaha, ya udah nanti punya non dibuat yang pedas aja. Nanti dipisahin masaknya." Ujar Nah memberikan saran.

Jadilah mereka membuat sarapan.

...

Setelah berhasil dan menghidangkan sarapannya di atas meja makan, Jovita menengok ke arah atas yang sepertinya belum menemukan tanda-tanda bahwa Daniel sudah keluar dari kamarnya. Apakah ia masih tertidur?

"Bi, mendingan aku bangunin atau tunggu mas Daniel bangun sendiri?" Tanyanya kepada Nah karena tidak ingin salah mengambil langkah.

"Bibi sih nggak pernah bangunin, tapi nggak apa-apa kali non, bangunin aja. Kan nggak enak kalau udah dingin makanannya."

Akhirnya dengan persetujuan Nah, Jovita naik ke atas dan berdiri di depan pintu kamar Daniel. Ia mengetuk pintu secara pelan-pelan karena takutnya Daniel sudah bangun tapi memang belum berniat untuk keluar kamar, "Mas Daniel?" Panggilnya dengan suara yang pelan juga.

Jovita kembali mengetuk pintu karena tidak mendapat jawaban dari dalam ruangan, kini ia mengetuk dengan volume yang lebih besar, "Mas Daniel?" Panggilnya lagi, juga dengan volume yang lebih besar.

Jovita menggigit jemari telunjuknya karena dilema, ia tidak kunjung mendengar jawaban Daniel dari dalam ruangan. Kalau ia mengintip ke dalam dan ternyata Daniel sudah bangun, Daniel pasti akan marah karena kemarin bilang kalau ia tidak suka jika ada orang yang seenaknya masuk ke dalam ruangannya. Tapi kalau tidak diketuk, ia juga takut kalau Daniel mengalami kejadian yang sama seperti Jovita kemarin, lupa memasang alarm.

Akhirnya Jovita memilih option pertama, membiarkan Daniel bangun dengan sendirinya. Tapi baru beberapa langkah ia berjalan, Jovita bisa mendengar suara pintu yang terbuka. Jovita dengan otomatis menoleh ke belakang dan langsung melihat sosok Daniel yang masih mengucek-ngucek matanya.

"Kenapa?" Tanyanya singkat.

"Itu... aku udah buatin sarapan buat mas." Jovita memamerkan giginya untuk membuat suasana lebih cair, entah kenapa raut muka Daniel tidak terlalu bagus, mungkin karena baru bangun tidur.

Daniel mengacak-acak rambutnya seperti orang kesal, Jovita tertegun melihatnya, apakah dia salah langkah?

"Kamu turun duluan, aku mau cuci muka dulu." Ucapnya dengan nada normal, tapi Jovita masih bisa melihat kalau raut wajah Daniel masih menunjukkan kekesalan.

Di tempat makan, Jovita tidak berhenti memainkan jemarinya karena takut. Sepertinya Daniel marah kepadanya, tapi karena apa? Apakah karena Jovita yang telah membangunkan Daniel? Atau karena Jovita membuat sarapan untuk Daniel?

Jovita melirik ke arah tangga dan mendapati Daniel yang sedang berjalan turun menghampirinya. Jovita berusaha bersikap normal, berusaha menutupi ketakutannya.

"Ini, tadi aku diajarin bi Nah." Jelas Jovita yang melihat Daniel sedang menatap makanannya. "Nggak pedes kok, tadi—"

"Jo, sebelum makan, ada yang mau aku omongin sama kamu." Raut wajah Daniel masih persis sama seperti tadi saat di atas.

Jovita hanya mengangguk sambil kembali dilanda ketakutan.

"Yang pertama, aku setiap hari udah masang alarm, aku tahu persis perkiraan kapan aku harus bangun dan siap-siap untuk menjalani aktivitas harianku. Jadi kamu nggak perlu repot-repot untuk bangunin aku..." Cara bicaranya lembut, tapi entah kenapa tetap menusuk.

Jovita kembali mengangguk tanda mengerti.

"Yang kedua, kemarin kan aku udah bilang kalau kamu nggak perlu masakin sarapan untuk aku, udah ada bi Nah yang akan menjalankan tugasnya." Lanjutnya masih dengan penuh kelembutan, tapi lagi-lagi hanya membuat Jovita sakit.

Jovita mengangguk lagi dan kini wajahnya ia tundukkan untuk menyembunyikan kesedihannya.

Daniel berusaha mencari wajah Jovita yang disembunyikan, "Jo, jangan marah sama aku ya. Kita udah janji untuk menghargai privasi masing-masing kan?"

Jovita berhasil menyembunyikan kesedihannya dengan senyumannya. Ia kembali mengangkat kepalanya dan memperlihatkan senyumnya di depan Daniel, tanda bahwa ia amat ingat dengan janji mereka saat pertama kali bertemu.

"Seems like I'm the only one who complains a lot. You really don't have something about me that you want to complain?" Tanyanya sambil memulai melahap makannya.

'I do. But how can I say it if what I want to complains are something that will make you feel comfortable around me?' Dan Jovita berakhir hanya menjawab dengan "Not yet." Ucapan palsu yang juga ditambah dengan senyum palsunya.

Jovita sadar, perlahan ia akan mengetahui semua sisi baik maupun sisi buruk Daniel.

Cara bicaranya memang lembut, tapi itu merupakan bagian dari perhitungannya agar yang diajak bicara dapat dengan mudah menerima apa yang diinginkannya. Daniel tahu betul kalau bicara dengan kelembutan lebih efektif daripada berbicara dengan memakai urat.

Berbeda dengan Daniel, Jovita masih dengan apik memendam apa yang ia rasakan. Untuk saat ini, ia memilih untuk mengerti apa yang Daniel inginkan.

But at the end of the day, they will realize that they can't hide everything from someone whom they live with.

When Worst Become BestWhere stories live. Discover now