1. Bandung

40.2K 3.5K 591
                                    

Akasha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akasha

Seperti yang Fiersa Besari bilang dalam lagunya, gue terpikat berulang kali oleh pesona yang Bandung punya.

Gue gak pernah kecewa dengan Kota Bandung. Meski satu jam lamanya gue harus bermacet-macetan dari Jatinangor sampai ke Asia-Afrika, sekali pun gue gak pernah mempermasalahkan hal itu. Gue selalu suka wangi jalanan Kota Bandung. Sejuk, namun sesak disaat yang bersamaan. Belum lagi asap kendaraan yang belakangan semakin banyak sampai-sampai gue harus memakai masker bekas praktikum di kampus karena debu.

Bandung banyak berubah. Sembilan tahun sudah gue menetap disini untuk menempuh pendidikan, dan selama itu pula gue sangat peka dengan sedikit demi sedikit perubahan yang Bandung alami. Dulu ketika gue baru pertama kali menginjakkan kaki di Jalan Asia-Afrika tahun 2009, suasananya belum seramai ini. Warnanya masih pucat, bahkan saat malam mulai tiba, jalanan yang dekat dengan Alun-alun ini langsung sepi bagai tak bernyawa.

Tapi sekarang, Asia-Afrika tidak pernah kesepian oleh pengunjung. Kalau kebetulan kalian sedang berada di Bandung pada akhir pekan, kalian akan menemui banyak sekali cosplayer-costplayer yang berdiri di trotoar depan gedung Merdeka sampai ke Tugu Asia Afrika. Entah itu tokoh Anime, Marvel, Kartun anak-anak, sampai ke setan-setan lokal yang wajahnya nyaris mirip dengan yang sering kita tonton di film-film.

Tapi entah kenapa, gue gak betah ada lama-lama di Asia-Afrika. Rasanya sangat aneh ketika lo berjalan sendirian disana sedangkan rata-rata pengunjung merupakan satu keluarga, temen satu kelas atau satu kampus, dan yang paling bikin kesel adalah sepasang kekasih. Gue gak iri, bagaimanapun gue lebih suka main sendirian dibanding harus ditemenin sama seseorang yang ujung-ujungnya pasti bikin repot-kalau gak suruh fotoin, ya gak mau jalan jauh-jauh. Itulah sebabnya gue selalu berakhir dengan duduk leha-leha disebuah kursi atas trotoar jalan Braga.

Tiga tahun lalu gue sudah resmi menyandang gelar dokter. Gue bukan perempuan yang berasal dari keluarga diatas rata-rata. Saat gue punya cita-cita, disitu gue harus mencapainya tanpa merepotkan kedua orangtua. Mereka sudah terlalu lelah untuk membiayai gue terus-terusan, masih ada dua adik yang membutuhkan pendidikan dibandingkan gue. Melalui program beasiswa penuh dari sebuah yayasan, gue berhasil menempuh pendidikan dokter di Universitas Padjadjaran sampai lulus sebagai dokter dengan nilai yang lumayan.

Berkat kecintaan gue terhadap Sherlock Holmes dan novel-novel detektif asal Amerika, gue memutuskan untuk melanjutkan program spesialis gue pada jurusan Kedokteran Forensik. Selain karena alasan tersebut, ada satu alasan lagi kenapa gue memilih forensik sebagai spesialisasi gue, yaitu; biayanya gratis dan terjamin saat lulus nanti. Atas tawaran langsung dari salah satu rumah sakit Bhayangkara yang bekerja sama dengan kepolisian RI, gue memutuskan untuk mengambil beasiswa dokter spesialis itu dengan senang hati. Setelah lulus nanti, gue akan terikat dengan kedinasan sehingga secara otomatis gue akan langsung bekerja di Rumah Sakit pemberi beasiswa.

Sekarang gue bekerja di salah satu klinik umum sebagai dokter jaga. Namun belakangan gue memutuskan untuk mengambil cuti karena besok, gue akan mulai melakukan tugas lapangan untuk menambah nilai semester akhir buat wisudaan nanti. Rumah Sakit Bhayangkara Bandung akan menjadi tempat gue belajar sekaligus praktik selama dua sampai tiga bulan kedepan.

LAKSADEKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang