6. Kesadaran

15.1K 2.2K 781
                                    

Akasha

Teman,

Sahabat,

Atau apapun itu namanya yang kehadirannya kadang menguatkan atau justru sebaliknya.

Gue pernah ada dalam situasi yang sangat dekat dengan seseorang sampai-sampai gue menjadi egois, hanya ingin memiliki orang itu sebagai satu-satunya manusia yang harus selalu dekat dengan gue. Kemana-mana harus sama gue, berangkat sekolah harus sama gue, duduk dikelas harus sebelahan, dan berbagai keharusan lain yang sewajarnya dua orang sahabat— atau teman lakukan.

"Nonton bareng di rumah gue yuk, sambil makan-makan."

"Nginep aja, asik kali semaleman bisa ngobrol soal apapun."

"Gak apa-apa, pake duit gue aja dulu, gak usah diganti."

Atau, "Sini gue yang kerjain, lo masukin aja bukunya ke tas gue."

Iya, gue selalu melakukan apapun hanya supaya orang itu betah temenan sama gue. Gue sadar, gue bukan tipe orang yang mudah mencari teman walau gue bisa beradaptasi secara cepat. Saat gue menemukan orang yang cocok dengan gue, orang yang nyambung dalam segala hal dari mulai kesukaan, kebiasaan, dan lainnya, gue akan langsung melakukan segala cara agar dia mau berteman dekat dengan gue.

Aneh memang, tapi begitulah gue pada sembilan tahun yang lalu.

Tapi semakin kesini, gue semakin mengerti kalau tidak semua yang gue inginkan harus sejalan seperti apa yang gue bayangkan.

Semua manusia sama, mereka memiliki sifat yang terkadang membuat gue jengah.

Sama seperti gue yang ketika berusia enam tahun sangat menyukai boneka bebek kesayangan gue. Meskipun udah kucel, warna kuningnya hampir putih, dan baunya nyaris tidak manusiawi, gue tetap menyukainya sampai-sampai kalau tidur tanpa dia, gue merasa ada yang kurang. Tapi suatu hari, Ibu membelikan gue sebuah boneka beruang besar yang benar-benar cantik. Boneka bebek yang udah jelek itu tersingkir, digantikan oleh si beruang yang besar, indah, dan juga wangi.

Dan hal itu terjadi pada dia yang gue anggap sangat berharga sampai-sampai gue merasa kalau gue gak bisa menjalani hari-hari gue di sekolah tanpa dia. Saat itu ada anak baru yang masuk ke kelas gue, dan dia mendekati teman gue sehingga mau tidak mau teman gue itu menemani dia. Awalnya cuma sekedar meminjami dia buku, memperkenalkan sekolah, dan ngobrol singkat yang tidak terlalu penting. Tapi semakin gue sibuk dengan kegiatan olimpiade sains waktu itu, teman gue mencari kawan baru sehingga mungkin ... mungkin dia lupa sama gue.

Gue cukup terpukul saat itu. Bagaimana gue sendirian setelahnya dan harus membiasakan diri untuk membaur dengan orang-orang yang sama sekali kurang akrab dengan gue, mengerjakan tugas-tugas sendirian meskipun gue gak pernah ngerti dengan mata pelajaran Fisika-kimia-matematika, dan menguatkan hati gue ketika dia berhenti mengajak gue pergi ke kantin atau ke ruang guru untuk sekedar berdiskusi membuat gue trauma dan enggan berada dalam hubungan pertemanan yang terlalu berlebihan seperti itu.

Padahal keinginan gue sederhana. Gue hanya tidak mau dibuang seperti ini, gue akan sangat senang apabila dia mengajak gue mengantarnya ke toilet walau gue tahu, gue sangat tidak tahan dengan bau pesing. Tapi namanya manusia, setelah punya si baru, dia akan lupa dengan si lama. Si lama yang dulu rela menggantikan kelompoknya presentasi hanya karena dia belum hafal materinya, si lama yang selalu menemani dia dalam setiap kondisinya, dan si lama yang dulu pernah mengorbankan dirinya untuk mundur dari pemilihan ketua OSIS karena dia tahu, temannya sangat ingin berada di posisi itu.

Gue menjadikan hal itu sebagai pelajaran. Itulah kenapa saat duduk di bangku kuliah, gue lebih suka belajar sendirian, pergi kemana-mana sendirian, dan bergaul secukupnya asalkan gue kenal dan nggak di cap antisosial. Siapapun akan menjawab hal yang serupa saat ditanya soal Akasha, "Ah, yang suka sendirian di kelas itu ya?", "Oh iya tau, yang jarang banget kumpul itu, kan?", Atau "Oh, yang kemarin Wisuda-nya ditemenin mama-papanya aja kan?"

LAKSADEKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang