24. Tentang Pengakuan

10.2K 1.3K 1.5K
                                    

Lee Seokmin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lee Seokmin

Outbound hari kemarin benar-benar sangat berkesan untuk saya dan kawan-kawan. Kami semua tiba di Bandung pada pukul delapan malam. Setiabudi macet parah, seperti sudah menjadi tradisi setiap akhir pekan tiba di kota wisata ini. Berhubung Netta sudah pulang bersama dengan kekasihnya, Akasha tidak memiliki teman duduk sehingga saya menemaninya duduk di jok paling depan.

Entah kenapa saya tidak bisa berhenti tersenyum semalaman hanya karena respon Akasha yang tampak begitu cemburu saat saya berbicara berdua bersama dengan Nitara. Saya sebenarnya cukup kaget ketika tiba-tiba saja Nitara mengutarakan perasaannya saat kami berdua berada di wahana Sky Rope untuk menguji keseimbangan tubuh di ketinggian itu. Secara blak-blakan dia mengatakan kalau dia menyukai saya, namun saya menolaknya mentah-mentah dengan alasan kalau saya telah memiliki perempuan lain yang saya sukai.

Ya, Akasha Renjana.

Reaksi Nitara jelas kaget, dia bahkan mempertanyakan hal itu berulangkali karena seingatnya, Akasha adalah milik bapak polisi yang dia temui tempo hari didepan gedung klinik. Saya membenarkan, namun hubungan mereka telah berakhir oleh alasan yang tidak bisa saya ceritakan. Entah bagaimana ceritanya saya berujung menceritakan semua daya pikat Akasha yang berhasil membuat saya terjebak kedalam pesonanya. Karena bagi saya, lebih baik bersikap jujur seperti ini dibanding harus memberikan harapan kepada Nitara disaat saya sendiri tidak memiliki perasaan apapun— apalagi sampai berpikiran untuk membalas perasaannya.

Keesokan paginya kami semua harus sudah kembali bekerja. Orang-orang terlihat segar meskipun kemarin mereka sudah berlelah-lelahan di Grafika Cikole Lembang. Gio, Akasha dan Wira terlihat gagal move on dengan keseruan hari kemarin. Pun dengan saya yang masih tidak bisa melupakan kejadian di bukit saat sunrise dan hujan sore-sore sebelum kami pulang.

"Serius anjir, pas naik flying fox masa gua kebelet ngompol." Gio bercerita, katanya dia sangat takut dengan ketinggian sehingga berujung gugup setengah mati saat ditantang untuk menaiki wahana yang menyebrangi lembah itu.

"Kalo gue sih pas dimana ya lupa, ngompol aja, tau dah orang-orang dibawahnya kena pipis orang ganteng apa kagak." Jawaban Wira membuat saya dan yang lainnya bergidik jijik.

Akasha mengusap perutnya sendiri sebagai tanda kalau dia benar-benar sudah habis pikir dengan kelakuan Wira dan Gio. "Najis, ini kalo gebetan lu semua pada tau gimana ceritanya coba?"

"Ya jang—"

"Pagi gaes."

Kami semua menoleh, suara itu bukan berasal dari Atlas, melainkan dari seorang laki-laki paruh baya yang berhasil membuat saya tidak bisa tertidur dengan nyenyak saat di penginapan.

"Gaya bener pak pake gaes-gaes segala." Cibir Gio sambil menahan tawanya.

"Kata nak Atlas ini gaul, bapak disuruh pakai bahasa ini kalau sapa orang-orang."

LAKSADEKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang