22. Healing (1)

10.3K 1.4K 797
                                    

Akasha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akasha

Menurut gue, Mas Gata adalah Ayudya.

Setelah mendengar semua penjelasan dari bibir bu Ayu soal kenapa dia meninggalkan Deka, gue semakin yakin kalau Ayudya tidak lebih baik daripada Nichol Gata Birendra. Gue tau kalau Deka sedikit terluka kemarin, apalagi secara terang-terangan, perempuan yang sedang mengandung anak ketiganya itu bilang kalau dia meninggalkan Deka hanya demi sebuah cita-cita.

Lantas apa bedanya dengan Mas Gata?

Gak ada, gak ada satupun yang berbeda dari dua orang yang sama-sama memilih pergi dan mengkhianati perasaannya sendiri itu. Mas Gata pergi karena cita-cita dan tuntutan. Cita-cita menjadikan seseorang egois terhadap sesuatu yang ada disekitarnya. Ambisi untuk mencapai tujuan itu memaksa diri untuk memilih salah satu diantara cinta atau justru keinginan untuk tetap maju kedepan.

Setelah gue pikir-pikir lagi, gue gak memiliki perbedaan dengan dua manusia yang dikalahkan oleh keinginan itu. Kalau gue gak berpegang teguh dengan cita-cita gue sebagai dokter forensik kebanggaan republik Indonesia, gue mungkin akan berakhir menjadi budak cinta dan mau-mau saja saat Mas Gata mengajak gue untuk menikah. Hidup itu pilihan, dan untuk masalah yang satu ini, setiap orang memiliki satu pilihan yang sama. Mas Gata memilih cita-citanya, begitupun dengan gue yang memutuskan untuk memilih cita-cita gue sehingga kita berdua sama-sama gagal dalam urusan cinta.

Kamis sore itu dihabiskan dengan perburuan buku-buku diskon di bazar rutin jalan Dalem Kaum. Gue berhasil membeli beberapa buku yang gue cari, sementara Deka tidak mendapatkan apa-apa selain membeli jajanan-jajanan tradisional yang kebetulan ikut memeriahkan bazar di tempat itu. Deka keliatan lega, gue juga ikut lega karena sekarang pertanyaan yang selama enam tahun mengendap dalam benaknya itu telah terjawab secara langsung dari bibir seorang Ayudya.

Sebelum hari mulai gelap, Deka mengantar gue pulang ke Mess dan menyuruh gue istirahat seperti biasanya. Malam ini gue bisa sedikit merasa tenang sehingga dapat jatuh tertidur di jam sembilan malam. Mungkin gue lelah, mengingat kegiatan di hari kamis terhitung cukup melelahkan. Melakukan olah TKP tidak sesederhana keliatannya, selain karena kita harus bergerak dengan cepat, ada banyak sekali resiko yang menjadi bahan pertimbangan jika kita semua melakukan visum di lapangan. Pertama alat-alat yang tidak selengkap rumah sakit, dan kedua konsentrasi tim harus benar-benar fokus karena tidak adanya ketenangan dari tempat sekitar kejadian.

"Bagusnya kemana ya? Gue pengennya sih hiking gitu."

"Ogah ah, banyak nyamuk kalo hiking, gue kan gak kayak elo."

"Apa?! Mau bilang kulit gue tebel dan bau lavender makanya gak ada nyamuk yang deketin?!"

Selalu begini. Kadang gue capek denger perdebatan diantara Wira dan juga Gio. Sekarang masih pagi, kita semua lagi sarapan di ruang istirahat klinik forensik dengan satu cup bubur instan yang Netta beli di minimarket depan. Mereka ngobrol dengan mulut penuh bubur, Gio bahkan sampe ngiler gitu gara-gara kebanyakan ngomong sama Wira.

LAKSADEKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang