14. Jatuh

13.2K 1.8K 1.2K
                                    

Akasha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akasha

"Hah? Apa tadi sekali lagi?"

"Yeu, conge."

Tolol memang, Gio malah noyor kening gue sampai kepala gue terdorong kebelakang. Pagi-pagi banget Wira udah koar-koar di grup chat, katanya kita semua harus cepat-cepat datang ke klinik soalnya akan ada mayat yang harus kita autopsi hari ini. Padahal niatnya gue mau kangen-kangenan sama Mas Gata, bukannya malah ... Tuh kan, mulai lupa deh sama tujuan gue ada di Rumah Sakit ini.

'Cari ilmu woy, bukan ngebucin!'

Kurang lebih begitulah kepala gue berteriak pada hati yang udah terbutakan cinta ini.

"Mayat. Orang mati. Ditemuin busuk di semak-semak. Perlu gue ulangi?"

"Ah gue balik aja kalo gini!" Netta berdiri, padahal dia udah semangat banget karena katanya klinik bakalan punya kasus lagi setelah beberapa hari diisi dengan kegabutan.

"Telepon Pak Toro sekarang." Ancam Wira, bisa aja nih manusia bikin Netta kicep cuma karena nyebut nama kepala Biddokkes Jabar.

"Ih, Wira!"

Gue menarik napas dalam-dalam, busuk ya? Kira-kira nanti wujudnya gimana? Masih bisa diidentifikasi gak ya? Kok gue jadi parno duluan sih? Masalahnya dari sekian banyak kasus, entah kenapa gue paling gak bisa ngeliat potongan tubuh seperti mutilasi sama mayat yang udah membusuk kayak sekarang.

"Lah, piye toh? Kalian pada takut ya?" Dokter Juna keluar dari ruang ganti dengan baju sterilnya. Dia udah balik dari NTT setelah tiga minggu berturut-turut menangani sebuah kasus pembunuhan satu suku pedalaman yang tewas misterius. Namanya Junatem, dan dia gak mau nama panjangnya disebutin karena katanya lebih keren dipanggil dokter Juna daripada dokter Junatem. Bilangnya sih biar kayak chef RCTI yang tattoan itu.

"Nggak lah dok, kita mah mentalnya mental baja." Gio menunjukkan otot bisep-nya yang serem itu sambil tersenyum bangga. Otak dia kan emang di tangan, makanya nyebut mental sambil nunjukin otot.

"Yowes, saya masuk duluan." Katanya, dia berjalan ke area belakang diikuti oleh empat anggota tim-nya yang harus menyiapkan meja autopsi. Hari Senin menjadi hari yang sibuk bagi semua orang, termasuk klinik dan kepolisian yang keteteran menangani kasus-kasus kejahatan yang marak dilakukan.

"Diem mulu lo, sariawan?" Wira menepuk bahu Deka kencang.

"Males ngomong." Katanya kemudian kembali fokus pada buku psikologi forensik-nya yang berbahasa Korea itu. Puyeng dah kepala gue liat huruf-hurufnya, hebat banget si Deka bisa baca yang begituan, salut gue.

"Morning calon penghuni akherat."

Serem banget sapaannya. Dari suaranya sih gue udah tau dia siapa.

"Ngapain lo?" Tiba-tiba aja Deka bersuara, dia keliatan gak seneng dengan kehadiran Atlas di klinik forensik. Kita juga sih, lagian siapa yang bisa bernapas dengan tenang selama ada Atlas Mahdiawan bernapas juga disekitar kita?

LAKSADEKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang