25. Laksadeka untuk Akasha

10.8K 1.3K 841
                                    

Lee Seokmin

Katakan Akasha sudah gila karena telah mengatakan perasaannya kepada saya malam itu. Saya senang, tetapi juga sedih di waktu yang bersamaan. Perasaan saya kini berbalas, namun entah kenapa saya merasa kalau dengan terbalasnya perasaan saya, justru segalanya akan lebih rumit lagi daripada ini. Akasha secara terang-terangan menyatakan kalau dia tidak ingin kehilangan saya, membuat langkah saya untuk kembali ke Negeri Ginseng tersebut semakin berat di sisa detik yang harus saya lalui.

Setelah selesai melaksanakan ibadah sesuai yang Bi Uci perintahkan, saya dan Akasha kembali ke halaman belakang hanya untuk duduk lesehan diatas sebuah saung yang dihiasi lampu berwarna-warni. Sejak tadi perempuan itu cemberut, entah karena kesal momennya terganggu, atau entah karena dia tidak ingin melanjutkan percakapan yang semakin sini semakin sensitif itu.

"Kepala lo sakit?" tanya saya untuk sekedar memecah hening yang sejak tadi melanda.

Akasha mengusap kepalanya pelan, "Iya anjir, lu punya dagu tajem amat, Dek."

Saya tertawa, "Lagian timingnya ga pas banget si bibi."

Akasha menyandarkan punggungnya pada tepian saung yang terbuat dari kayu ini, sementara saya tetap duduk sambil memeluk lutut seraya menatap perempuan yang kini menarik napasnya dalam-dalam. "Bagus deh karena si bibi dateng." Ujarnya pelan.

"Yang tadi belum beres ya?" Tanya saya. Kemudian saya membaringkan tubuh saya diatas lantai papan itu. Menekuk sebelah kaki saya dengan kedua tangan yang menjadi alas bagi kepala saya. "Sini, kita lanjutin mumpung si bibi gak akan kebelakang lagi."

Akasha berdecih, "Males ah, gak ada lagi yang perlu kita omongin lagian." tolaknya seraya mengupas kacang rebus yang dibuatkan oleh Bi Uci.

Kalau pulang ke rumah, Bi Uci selalu menyiapkan saya berbagai jenis makanan yang saya dan keluarga sukai. Padahal rencana pulang ini sangat mendadak, niat saya mengajak Akasha kemari adalah untuk mengembalikan suasana hati Akasha yang memburuk sampai harus pulang lebih dulu dari klinik gara-gara surat perintah kepulangan saya dari Kedutaan. Kebetulan Atlas dan AKP Arjuna mampir ke klinik sebelum pergi ke Cianjur untuk penyelidikan. Awalnya mereka berencana naik mobil polisi yang katanya baru diluncurkan dari Polda, namun berhubung personil yang dikerahkan cukup banyak, AKP Arjuna menjaminkan motor butut Atlas dengan mobil yang saya punya supaya mereka bisa cepat-cepat tiba ke Cianjur tanpa harus menunggu lama.

Saya tidak keberatan, malah saya tertawa sendiri saat menyalakan motor tua yang sudah amburadul itu. Sepertinya lucu kalau saya mengajak Akasha berjalan-jalan dengan si Bangbrang sehingga saya menjemput Akasha tanpa memberitahu sebelumnya. Perempuan itu juga tidak menolak, dia sama menikmatinya dengan saya meskipun satu jam perjalanan harus dihabiskan dengan suara klakson dari pengendara jalan.

"Yang tadi masih gantung, sayang."

Sontak Akasha melempari wajah saya dengan kulit kacang yang dia kumpulkan, "Sayang, sayang, puyeng pala gue dengernya."

Saya menekan lututnya pelan, "Cie yang suka sama Aa Deka."

"Berisik." sungutnya,

"Cie yang gak mau kehilangan Aa Deka." Saya menekan lututnya lagi dengan sebuah cengiran di bibir saya.

"Berisik, Deka!" Teriaknya, membuat saya menghentikan colekan pelan pada lututnya itu.

Saya memiringkan tubuh saya ke samping, memutar bola mata saya keatas untuk bisa melihat wajahnya yang dongkol. "Sini deh, gue mau tunjukin lo sesuatu." ucap saya sembari menepuk ruang kosong disebelah saya. Perempuan itu meringsut, dia duduk disamping saya sehingga saya harus menarik tangannya sampai dia terbaring diatas lengan atas saya. Pergerakannya canggung, namun lama kelamaan Akasha memilih diam dan menikmati saat-saat kami berdua tertidur berdua diatas sini.

LAKSADEKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang