7 - Abraham

225 29 3
                                    

* Abam POV *

Gue terbangun ketika mendengar ada suara derit kursi. Berusaha untuk menyesuaikan mata gue dengan cahaya siang hari Jakarta yang sangat terik. Tanpa harus liat jam gue tau kok ini udah di atas jam 12 siang.

Ya gimana ya? Semalem gue ngelembur, baru bisa tidur jam 5 pagi, gue harus apa selain bangun siang? Gapapa ya seminggu sekali aja, badan gue kasian, jiwa raga gue juga kasian. Apalagi sesubuhan tadi gue mendapat penolakan halus lagi dari Raisha.

Lo tau rasanya peluru ditembakkin ke bagian badan lo? Iya sesakit itu. Kayak..setiap kata yang dia utarakan dari mulutnya itu seperti peluru yang menghantam gue bertubi-tubi tanpa ada hentinya.

Sekarang disaat gue baru bangun dari tidur, hal yang paling gue cari tetep Raisha. Hati gue gabisa bohong guys, i love her and will always do.

Gue menyisirkan pandangan gue ke seluruh penjuru apartemen dan gue menemukannya. There she is. Sit at the balcony, looks so relaxed and been swimming in her world, music and books.

Gue tidak ingin mengganggu waktu sendirinya, meskipun untuk waktu yang lama, gue rela kok memandangnya dari jauh seperti ini, just to let her enjoy her time, just to let her know that I won't invade her space without her permission, except today.

***

Gue nungguin Raisha ada kali ya dua jam dia gak pindah-pindah posisi. Gue sampe udah bosen tapi gak mau ganggu dia asli. Gue sambil review kerjaan semalem juga kelar duluan gue daripada dia baca novel.

Gue memutuskan untuk bangkit dari sofabed dan berjalan menuju dapur untuk mencari segelas air putih serta makanan yang bisa gue makan, because you know what? I am deadly starving!

Sesampainya di dapur, gue menenggak segelas air putih dan memakan apel yang tersaji di atas pantry. Gue makan apel sambil memandangi Raisha, gila keren abis gak sih? Bisa gak ya gue beneran menghabiskan akhir minggu gue, berdua dengan Raisha, selalu? Selamanya?

Entah ada dorongan apa, setelah cukup lama gue memandangi Raisha, gue meletakkan gelas gue di atas meja dan berjalan mendekat ke arahnya. Seperti ada magnet yang menarik diri gue untuk mendekat ke Raisha.

Tanpa gue sadar, gue sudah berdiri tepat di belakangnya. Ketika Raisha berdiri untuk meregangkan badannya, saat itu juga gue memeluknya. Gue tau ini udah diluar kendali gue, gue tau ini kesalahan besar, gue tau dengan gue melakukan ini kesempatan gue untuk dihilangkan dari kehidupan Raisha secepatnya semakin besar.

Gue nggak peduli lagi. I need to show her that I am serious with her. Gue beneran sayang sama dia, lebih dari sekedar temen dan dia harus tau akan itu.

Gue memeluknya, erat. Meletakkan dagu gue diatas kepalanya. Membiarkan Raisha merasakan degup jantung gue yang berdebar sangat kencang apabila gue bersama dia.

"Abraham..."

"Ssh.. please. Stay like this for a while." Kata gue. Gue gatau kapan bisa peluk lo lagi Rai, jangan menghindar dari gue.

Raisha menuruti apa kata gue. Dia diam seribu bahasa. Apakah yang gue lakukan ini benar? Atau mungkinkah Raisha marah karena gue nggak bisa menjaga janji gue untuk selalu menjadi sahabatnya? Truthfully, I never can do that.

"Rai..." gue panggil dia. Namun ada jeda diantara panggilan itu. Mungkin, Raisha berpikir? Apakah Raisha ternyata punya perasaan yang sama dengan gue juga, pada akhirnya?

"Ya?"

"Can I be the one who fill your heart? Even if it just a little part of your fragile heart?"

EVERLASTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang