Kehilangan arah membawa gue ke jalan baru yang tidak pernah gue duga sebelumnya.
Entah itu membawa suka ataupun duka di dalamnya.
Waktu yang gue lewati belakangan tidaklah mudah.
Merelakan? Mudah diucapkan tapi berat dilakukan.
Lari dari kenyataan? Sungguh, itu yang selalu gue idamkan.
And I did.
For the sake of everyone. Gue sekali lagi menahan ego gue dan memberikan segala yang gue punya ke pihak lain yang sesungguhnya lebih butuh.
Gue hanya seseorang yang nggak begitu berharga. Biasa aja. Tidak patut untuk diperjuangkan.
"Afternoon sir! What will you have today? Maybe another americano with extra shots?"
Gue menggeleng. Barista disini sudah terlalu hafal pesanan gue.
"No. I think I'm gonna quit drinking coffee. Do you have any tea here?"
"Gonna change your daily dose of caffeine with tea?"
"Well—yea... kind of? Haha."
"Sure we have. I think... just a minute." Barista itu, yang biasa menyajikan minuman gue masuk ke dalem, kayaknya nge cek ketersediaan teh deh. Gue memandang ke sekitar, sepi.
"I only have earl grey now. How about it?"
"Iye gue ambil aja itu elah berasa bule banget lo daritadi ngomong inggris! Hahahha"
Iya. Baristanya orang indo juga.
Ale namanya.
"Biar kayak yang lain sih gue ngomong inggris. Tumbenan amat lo nge teh?"
"Udah gue bilang mau ganti kafein dari kopi ke teh."
"Gak sama rokok sekalian?"
"Lo mau ngebagi gue?"
Ale melengos, "ngaca. Yang banyak duitnya sape yang minta rokok sape."
Gue tertawa renyah, ya gini kalo ketemu Ale, Aussie jadi berasa Jakarta.
Pertemuan Ale dengan gue dimulai dari beberapa tahun lalu, ketika gue balik dari Jakarta sehancur-hancurnya keadaan gue.
I was strolling around Sydney and I found this comfy coffee shop. Tak nampak di jalan besar, namun itu yang gue cari.
Tempat yang sepi.
Tempat gue bisa mikir jernih.
Dan cafe ini lah jadi tempat pelarian gue saat itu.
Hingga kini.
Frekuensi gue semakin sering kesini, karena ya mereka surprisingly buka 24 jam.
Kebetulan juga, Ale yang memang menetap sementara di Aussie jadi barista disini. Gue gak pernah tau dia ini kerjaan lainnya selain menjadi barista itu apaan lagi. Soalnya ni anak gak ada niatan bakal pulang ke Indo dalam waktu dekat.
Terakhir yang gue tau dari seorang Ale adalah dia sedang mengambil Master, Master of Law to be exact, di salah satu universitas yang terkenal seantero Sydney.
Yang amat sangat tidak gue pahami sampai sekarang adalah si Ale ini tukang main cewek tapi nilai tetep aja cakep. Heran. Duit juga ada mulu, tapi kalau depan gue pura-pura miskin. Hadeh, manusia memang ya.
Oh ya, usaha gue berhasil by the way.
Gue ditarik buat pindah Aussie. Seneng bukan main ternyata begini cara semesta mengabulkan doa gue. Untuk tidak kembali ke Jakarta. Untuk tidak mengingat kembali Raisha.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERLASTING
FanfictionPeople said, love is meant for everyone. When they met, they show sparks in their eyes. Butterfly in their stomach. And heart that beat harder than usual. For me, It was always you. Who silently crept into my heart. And open the door that I planned...