Nagita merasa tepukan kecil di pipinya. Matanya membuka dan melihat Avodyie berdiri di tepi tempat tidurnya, sudah siap dengan seragam putih-merah. Melihat mata Nagita terbuka, Avodyie dengan bahasa isyarat tangan, mengatakan, "Bun, ayo ke sekolah!"
Nagita bangkit dari kasur. Tangannya menemukan ponsel di nakas. Nagita menyipitkan mata ke arah Avodyie sambil menampilkan layar ponsel. Masih jam 4 subuh.
Avodyie cemberut. Nagita mengacak-acak rambut Avodyie yang sudah rapi membuat anak perempuannya itu terpekik kaget dan mengomel. Nagita tertawa seraya turun dari tempat tidur untuk membuatkan sarapan.
Sudah enam tahun berlalu. Enam tahun juga, Nagita berusaha memahami hal-hal tentang Avodyie. Berikut tentang Avodyie yang berbeda dari anak lain–Avodyie tuli dan bisu. Nagita belajar bahasa isyarat selama enam bulan ditemani oleh dokter pendamping Avodyie. Namun, meski keterbatasan itu membuat Avodyie berbeda, tapi tetap Avodyie sama seperti anak kecil lainnya. Suka sekali bermain, khususnya kuda poni dan semua hal yang berkaitan dengan air dan hujan. Nagita mendekorasi pekarangan belakang untuk Avodyie bermain air dengan jas hujan kuning dan sepatu bot berwarna senadanya.
Sekarang, Avodyie kelas satu SD. Nagita memasukkannya ke sekolah luar biasa dekat dengan rumah.
Jam tujuh pagi, barulah Nagita dan Avodyie berangkat ke sekolah. Ketika mereka berjalan menuju pekarangan rumah di mana mobil volvo putih Nagita terparkir. Bertepatan dengan itu, keluarga muda di sebelah rumah Nagita juga bersiap memulai hari.
Rita dan Setyo saling mencium pipi kanan kiri, sementara anak mereka, Masseva, berdiri di sebelah Setyo.
"Hati-hati, ya, Pah," ucap Rita. Wajah Rita berubah kaget. "Oiya, bekal makan Papah sama Masseva ketinggalan. Sebentar."
Sementara Nagita sedang mengajarkan Avodyie cara membuka kunci pintu mobil. Pelan-pelan diajari, supaya mandiri.
"Ini, Pah," ucap Rita, napasnya agak tersengal karena berlari kecil menuju dapur untuk mengambil kotak makan. Untuk Setyo dan Masseva.
"Makasih, Mah," lalu, Setyo merangkul Masseva. "Ayo, Nak."
Setyo dan Masseva pergi dengan motor bebeknya, tertinggal Rita yang melihat mereka dari kejauhan dengan senyum penuh harap. Kemudian, Rita menoleh ke arah Nagita yang baru saja selesai mengajarkan Avodyie dan hendak memutar untuk ke bangku pengemudi.
"Eh, pagi, Ibu Penulis!" sapa Rita hangat. "Pagi juga, Avodyie."
Avodyie yang sudah mulai terbiasa dengan gerakan bibir, membalas dengan senyum. Nagita tak jauh beda, dia hanya tersenyum tipis.
"Ini hari pertama Avodyie ke sekolah, ya?" tanya Rita riang, "Semoga lancar ya, Sayang."
Avodyie menunjukkan cengiran, bangga.
"Kami pergi dulu," ucap Nagita sambil mengangguk.
"Eh, tunggu, Git," sela Rita seraya turun dari undakan rumahnya menuju hadapan Nagita. "Obrolan kita yang kemaren, temen gue ada yang mau kenal sama lo itu. Lo bisa, gak?"
"Kapan?" tanya Nagita.
"Hmm..., besok, gimana?"
"Besok Avodyie medical check up."
"Lusa, deh."
"Lusanya Avodyie les piano."
"Kalo gitu hari Kamis?"
"Kamis Avodyie ada bimbingan dokter."
"Oooh, Jum'at aja Jum'at! Gimana?"
"Jum'at jadwalnya Avodyie les renang."
"Sabtu? Minggu?"
"Sabtu sama Minggu waktunya Avodyie istirahat atau jalan-jalan ke mall."
"Hmm..., minggu depan. Minggu depan pasti lo kosong, kan?"
"Minggu depan Avodyie study tour bareng temen-temen TK-nya."
Rita menyerah. "Kok, isi jadwal lo Avodyie semua deh, Git?"
Nagita melirik jam tangannya, dia tersenyum bersalah ke arah Rita. "Avodyie bakal telat nih, Rit. Gue duluan, ya."
Melihat Rita ditinggal oleh Nagita dan Avodyie, membuat Rita geleng-geleng kepala. Dirinya mendumal sesiang itu, "Gue aja sama anak kandung kagak begitu-begitu amat, deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...