Afgan ingin mengenal Nagita. Bukan Nagita yang penulis, tapi Nagita.
Kalau wawancara kemarin adalah kesempatan pertama dan makan siang di rumah Nagita adalah kesempatan kedua, berarti saat ini adalah kesempatan ketiga Afgan untuk mengenalnya. Meski ajakan itu harus diwakilkan oleh Avodyie, tetap saja ini bisa dikatakan kesempatan.
Afgan melirik Nagita yang makan dalam diam di sebelah Avodyie. Seolah ada yang mengganggu pikirannya. Sejak mereka sampai di restoran keluarga ini, Nagita memang tampak gelisah.
Mata Afgan kini tertuju pada Avodyie. Tampaknya anak itu juga menyadari suasana hati Bunda-nya.
"Bun," gerak tangan Avodyie. Makanan di piringnya sudah habis bersih. Nagita menoleh. "Avodyie sama Ganiva main di taman dulu, ya."
Nagita mengangguk. Avodyie turun dari kursi dan mengajak Ganiva ke arah taman. Mata Afgan dan Nagita mengikuti dua anak perempuan itu pergi. Mereka naik ayunan, bersebelahan.
"Maaf," ucap Nagita setelah hening yang lama terjadi di antara mereka.
"Kenapa, Git?" tanya Afgan.
"Avodyie ngerepotin."
"Enggak, kok!" suara Afgan yang terburu-buru membuat Nagita mendongak. Telinga Afgan memerah. "Enggak sama sekali, Git. Kamu jangan ada pikiran kayak gitu."
"Aku gak biasa ngerepotin orang, Gan," jelas Nagita. "Kecuali, yah, Ollie. Dia editor pertamaku."
"Kenapa?"
Nagita menatap Afgan dan baru kali ini Afgan melihat tatapan sesedih itu selama ia hidup.
"Dari kecil memang gak ada yang bisa direpotin," jawab Nagita. "Mama meninggal waktu aku umur satu tahun. Papa ninggalin aku di rumah Nenek, sekarang aku gak tau kabar Papa gimana. Nenek meninggal pas aku SMP, Gan."
Afgan terdiam. Nagita tidak pernah menceritakan tentang kehidupannya di media. Afgan tidak tahu kalau masa kecil Nagita seperti ini.
"Aku tinggal sama Bibi pas SMA. Itu juga harus bantu-bantu di rumah, karena gak enak juga, numpang," Nagita menyendokkan makanan lalu menyuapkan ke mulutnya. Emtah kenapa, tenggorokan Nagita terasa kering. Ini pertama kalinya ia menceritakan masa lalunya. Bahkan pada Ollie, Nagita tidak bercerita detail. Nagita juga tidak tahu kenapa, tapi pandangan Afgan yang benar-benar peduli membuat semua cerita itu tumpah ruah. "Lulus SMA, aku gak enak minta kuliah, aku juga gak pinter-pinter banget. Jadi..., yah, aku kembangin hobi nulis sambil cari kerja yang bisa nerima lulusan SMA."
"Aku jadi paling segan minta bantuan, dari kecil selalu berusaha selesaiin semua sendiri," suara Nagita berubah mengecil.
"Pasti berat ya," suara Afgan pelan ketika mengatakannya. "Berjuang sendirian?"
Tiba-tiba saja Nagita meneteskan satu air mata. Nagita langsung menghapusnya dengan tawa canggung.
"Aku boleh nanya, gak?" ucap Nagita.
Afgan mengangguk.
"Aku gak bermaksud nyinggung, tapi, aku penasaran kenapa kamu kurang paham bahasa isyarat?"
Afgan menoleh pada keponakannya, kemudian menatap Nagita lagi. "Aku gak sedeket itu sama kakakku dulu, bapaknya Ganiva, maksudku."
Nagita menelungkupkan tangan di meja. Mendengarkan.
"Dulu, aku sempet berantem sama kakakku. Kita beda tiga tahun. Waktu itu aku baru masuk SMA, dia baru lulus. Kita berantem gara-gara aku belain Papa, kakakku belain Mama. Kemudian sejak itu aku jarang ngobrol sama Kakak, karena Kakak juga kuliah di luar kota. Setelah lulus kuliah, Kakak langsung kerja di luar kota juga. Kayaknya, Kakak juga menghindar dari aku.
"Tahun ini akhirnya aku sadar kalo aku salah. Papa yang ternyata mengkhianati Mama selama ini. Sebenarnya, aku juga ngerasa kalo Papa yang salah, tapi aku dekat sekali dengan beliau, sampai mengabaikan semua tanda yang janggal," Afgan menundukkan kepala. "Sepertinya memang rasa sayang membuat kita tidak berpikir secara logika. Hal-hal lain terasa kabur karena rasa sayang itu.
"Aku bahkan gak tahu kalau keponakanku berkebutuhan khusus karena selama ini memang kami tidak pernah bertemu. Aku gak tau kalau Mama sudah terkena diabetes sejak tiga tahun lalu. Bahkan, aku jarang ngobrol sama kakak iparku sendiri. Semua karena aku melindungi seseorang yang tidak berhak menerima itu."
Nagita meraih tangan Afgan. "Kamu gak salah sayang sama Papa kamu. Kadang, kamu gak bisa mengatur bagaimana perasaan itu bekerja. Jangan hukum diri kamu lebih dari ini."
"Makasih. Kayaknya aku butuh denger ini," Afgan tersenyum.
Pulang dari restoran, hati Afgan terasa lebih ringan. Afgan tidak tahu bagaimana perasaan Nagita, tapi Afgan berharap Nagita merasa hal serupa.
Memang, Nagita merasa yang sama. Setelah bertahun-tahun memendam semua seorang diri, Nagita bisa menceritakan kisah yang jarang diketahui. Kisah di balik nama besar yang menempel di tiap cetakan halaman depan novel yang dimiliki ratusan ribu orang.
"Bunda keliatan seneng banget," ungkap Avodyie dengan gerak tangannya.
Nagita hanya tersenyum.
Mereka sampai di rumah jam dua siang. Entah kenapa, jalanan terasa lengang. Seolah memang dari siang tidak ada yang berlalu lalang.
Selain itu, ada satu hal lagi yang ganjal. Dan ini terutama. Di depan pintu rumah Nagita, tersimpan manis kotak kado berwarna biru langit. Nagita berjongkok untuk mengambilnya. Dilihatnya tiap sisi, namun tidak tertulis apa pun, tidak nama pengirim, apalagi nomor telepon.
"Kenapa, Bun?" gerak tangan Avodyie.
Nagita menggeleng, alis tertaut. "Kamu masuk rumah duluan, ya," gerak tangannya.
Nagita kemudian duduk di kursi teras. Mengamati kotak itu dalam-dalam. Nagita seperti menemukan kotak pandora. Keinginan untuk membukanya sangat kuat, namun sebagian kecil dirinya merasa tak sanggup untuk melihat ke dalamnya.
Nagita menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Perlahan, Nagita membuka kotak tersebut.
Jantung Nagita seperti jatuh ke dasar bumi.
Foto Avodyie dengan seragam sekolahnya ada di sana.
Nagita terdiam untuk beberapa saat. Menahan napas.
Nagita menarik foto itu dan melihat bagian belakangnya.
Tertulis di sana;
'Aku ingin anakku kembali.'
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...