16

17.7K 3.3K 103
                                    

Suara ketikan jari di atas papan ketik laptop terdengar menggema di ruangan hening itu. Di kos-kosan tempat Afgan bernaung ini, memang sudah biasa dengan suasana damai dari keributan. Maka dari itu, Afgan lebih memilih untuk menyelesaikan jurnalnya di rumah ketimbang di kantor yang super berisik dan banyak sekali gangguan dari berbagai arah. Afgan juga sudah meminta izin pada atasannya agar bisa hidup tenang menyelesaikan pekerjaannya.

Namun, sehening dan sedamai apa pun suasana yang Afgan hadapi sekarang, tidak bisa menampik bahwa pikirannya tertuju pada Nagita.

Afgan tidak tahu cara memetakan perasaannya. Afgan tahu ia kagum pada Nagita, namun dia tidak tahu pasti apakah yang ia rasakan saat ini lebih dari kagum. Hanya karena Afgan melihat wajah Nagita murung selama dua hari ini, Afgan menjadi ikut uring-uringan. Afgan ingin tahu apakah Nagita baik-baik saja, menanyakan kabarnya, tapi Afgan tahu hal itu melanggar batas tak tertulis di antara mereka. Afgan tidak mau Nagita merasa tidak nyaman.

Ketikan Afgan di papan ketik terhenti. Kepalanya mendadak pening. Dirinya menutup laptop, lalu mengurut pangkal hidungnya.

"Kenapa lo?" pertanyaan tak terduga itu membuat Afgan hampir terjungkal dari kursinya. Afgan menoleh dan melihat Geo berada di ambang pintu dengan tangan terlipat di dadanya.

"Bisa ngetok pintu dulu gak?" tanya Afgan jengkel.

Geo tersenyum miring dan melangkah ke arah kasur, duduk di tepinya.

"Kok lo tau gue di sini?" tanya Afgan lagi sembari mengambil minum untuk Geo di kulkas mininya.

"Gue ke kantor lo, kata bos lo, lo balik ke kosan," balas Geo singkat.

"Oh, terus ada apa lo nyariin gue? Tumben amat, padahal bisa lewat telepon," Afgan melempar botol minum yang ditangkap tangkas oleh Geo.

Geo membuka tutup botol dan menegak isinya. Dia pun menjawab setelah selesai minum. "Jadi lo gak rindu sama kakak lo yang ganteng ini?"

"Najis."

Geo tertawa hambar, dan di saat itu, Afgan tahu ada yang salah dengannya. "Kenapa lo?"

"Lilian," jawab Geo pendek.

"Oh."

Suasana menjadi canggung untuk sesaat sampai Geo memecah keheningan.

"Oh, kata bos lo, artikel lo tentang penulis itu jadi populer di internet, ya?" tanya Geo. "Selamat, ya."

Afgan mengerjapkan matanya. Tumben sekali Geo tertarik dengan dunianya. Apakah ini karena Geo merasa bersalah karena selama ini mereka selalu berjarak hingga tidak pernah sekalipun mereka membicarakan hal-hal terkait hobi mereka? Mungkin. Afgan juga merasa bersalah karena tidak pernah hadir di acara pertemuan bisnis Geo.

"Lo mau liat artikelnya?" tawar Afgan harap-harap cemas, sebenarnya, dia juga ingin Geo membacanya.

Geo terdiam sebentar, lalu mengangguk.

Artikel tentang Nagita tersimpan rapi di rak lemarinya, di rak ke dua dari atas, dan di pojok paling kanan. Afgan menyerahkan artikel itu pada Geo. Geo menerima, matanya lantas terpaku pada deretan tulisan di sana.

Afgan tahu ada yang salah dari cara Geo melihat artikel tersebut, tapi sore itu dengan langit jingga, Afgan tidak mengetahui apa-apa.

"Wow," ucap Geo. Menaruh artikel itu di sisi meja.

"Gimana?" tanya Afgan.

"Lo harus buat novel, atau paling enggak, kumpulan puisi."

Afgan terbahak sembari melempar bantal ke arah Geo. "Bisa aja lo!"

"Oiya, ngomong-ngomong, minggu depan gue ada acara pertemuan bisnis di Jakarta Pusat. Bentuknya talkshow. Bisa undang penulis itu, gak?"

Penulis itu? Maksudnya Nagita?

"Kenapa gak lo aja yang undang?" tanya Afgan.

"Hmm," jari Geo memutari tutup botol. "Lo aja, deh. Lebih enak kalo satu pintu aja."

Afgan menaikkan satu alisnya. "Oke."

Andai Afgan tahu kenyataannya, jangankan mengajak Nagita ke acara tersebut, memberi lihat artikel Nagita pada Geo saja tidak akan Afgan lakukan.

Andai Afgan tahu.

di atas langit biruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang