Nagita tidak suka mengungkit masa lalu, tapi orang-orang di sekitarnya selalu berbuat hal itu. Mengungkit masa lalu seperti membuka luka lama, luka yang tidak, ah, belum, mengering. Sengatan rasa sakit yang tak berkesudahan. Kenapa tak berkesudahan? Karena itu masa lalu, tidak ada yang bisa mengubahnya. Yang bisa menyembuhkan rasa sakit tak berkesudahan itu adalah dengan menerimanya. Apa adanya. Sebagaimana mestinya.
Karena, hanya itu yang bisa kita lakukan. Menerima. Sesulit apa pun itu. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diri kita sendiri.
"Gila apa?" suara Ollie meninggi di halaman belakang rumah Nagita pada pukul sembilan malam. Dirinya dan Nagita duduk bersebelahan di kursi taman. Cangkir hangat milik Ollie di nakas sama sekali tidak tersentuh.
Nagita menyugar rambutnya, menghela napas. Dia tidak bisa menahan reaksi keras Ollie setelah Nagita memperlihatkan foto tersebut. Nagita tidak tahu harus bagiamana, maka dari itu, dia menginginkan pandangan baru dari Ollie. Meskipun sebenarnya dia pun tahu kalau reaksi Ollie akan sekeras ini, tapi, Nagita tidak punya pilihan lain selain memberitahunya.
"Dia gak bisa gitu, dong!" Ollie menggebrak foto tersebut ke meja. "Gak mikir, apa?"
"Avodyie berhak tau siapa ibunya, Llie," balas Nagita lirih. "Avodyie berhak."
"Tapi lo mau anak lo dibawa sama orang yang sama, yang dulu buang anak lo? Gak bisa gini, Git, gak gini caranya."
"I know, I know," Nagita mengusap wajahnya. "Pelanin suara lo, Llie. Gue gak kuat dengernya."
Ollie menyadari kalau ini lebih memberatkan Nagita. Ollie pun menarik napas panjang, kemudian memeluk lengan sahabatnya dan mengusapnya perlahan.
"Kalo gak ada Avodyie, lo sama siapa, Git?" suara Ollie berubah sama lirihnya. "Cuma Avodyie yang berhasil bikin lo jadi Nagita yang dulu."
Nagita menatap kosong kolam ikan yang ia buat atas permintaan Avodyie. Avodyie suka menggambar, dan melihat kolam ikan katanya membuat inspirasinya sangat lancar. Maka, Nagita buatkan kolam tersebut.
Ucapan Ollie membuat Nagita juga mengingat masa lalu. Membuat Nagita terpaksa ingat. Betapa hancurnya Nagita saat itu. Betapa terpuruknya. Tanpa bahu untuk bersandar.
"Gi," panggilan Ollie membuat Nagita menoleh ke arahnya. "Gue gak akan ngelarang tiap pilihan yang lo ambil, tapi gue minta, tolong pikirin semua ini baik-baik, ya?"
Nagita mengangguk.
"Gue cuma mau lo bahagia," ujar Ollie.
Selepas Ollie pamit pulang, Nagita merasa sangat lelah dan butuh istirahat. Avodyie juga sudah tertidur lelap di kamarnya, membuat Nagita langsung ke arah kamarnya dan menghempaskan badan ke arah kasur.
Malam itu, Nagita gelisah dalam tidurnya. Masa lalu terus merongrong Nagita, membuat badannya berbalik ke kanan atau pun kiri, rasanya semua sama saja.
"Git, aku selingkuh bukan salah aku, tapi salah kamu yang gak pernah ada waktu buat aku."
"Gue cuma merebut cowok lo, tapi lo udah ngerebut perhatian Nyokap selama ini. Ini yang lo sebut gak adil?"
"Bulan depan aku bakal menikah dengannya. Aku harap kamu gak hadir."
"Gue nikah sama dia, dia yang milih gue, bukan milih lo. Gak semua hal bisa lo dapatkan gitu aja."
Nagita membuka matanya ketika pipinya ditepuk berkali-kali. Pakaiannya sudah basah kuyup. Nagita menyalakan lampu tidur untuk melihat Avodyie sudah berdiri di samping tempat tidurnya dengan wajah gelisah.
"Avodyie gak bisa tidur," beritahu Avodyie. "Pengen dipeluk Bunda."
Hati Nagita terenyuh. Nagita mengangguk, tenggorokannya kering. Kemudian Avodyie berjingkat ke tempat tidur dan meringkuk di sebelah Nagita. Persis seperti ketika pertama kali Avodyie hadir di rumah ini, memberikan rasa hangat yang tidak pernah Nagita tahu akan ada di sana.
Ollie meminta Nagita memikirkan hal ini matang-matang, dan jawaban Nagita tidak berubah.
Avodyie, seseorang yang telah membuatnya sangat bahagia, berhak tahu.
Tapi sebelum itu, Nagita harus lebih dulu mengetahuinya.
Mengetahui siapa dan kenapa orang itu meninggalkan keranjang merah di depan rumah Nagita, enam tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...