8

25.9K 4.7K 344
                                    

Nagita mengetuk pintu rumah dengan Afgan di sampingnya. Tak berapa lama, wajah Ollie–manager Nagita–yang belepotan spidol warna-warni muncul di balik pintu. Nagita menautkan alis sementara Afgan melongo.

"Anak gue mana?" tanya Nagita.

Afgan semakin melongo–kapan Nagita menikah? Kapan punya anak? Bagaimana, kenapa, ada apa? Aku di mana?

Sebelum Afgan bisa memproses semua ini, terdengar derap langkah dari dalam ruangan. Seorang anak perempuan berambut panjang bergelombang dan anak laki-laki berambut ikal mendekat ke arah mereka. Yang perempuan langsung berjongkok memeluk Nagita sementara yang laki-laki bersanding di sebelah Ollie.

"Masuk, Gan," ucap Nagita kembali berdiri, kemudian dia tertawa sendiri. "Panggilannya kok jadi kedengeran lucu, ya?"

Afgan tersipu, sejenak melupakan kebingungannya.

Afgan melihat Nagita dan Ollie yang saling bertatap tanpa bersuara. Tapi, setelah lama berada di bidang jurnalistik, Afgan sedikit bisa memahami ekspresi wajah mereka.

Ollie dengan wajah dan senyum menggoda. Akhirnya, lo bawa cowok!

Kemudian Nagita dengan mata melotot, Apa sih, norak!

Ollie terkeleh, Nagita mendengus.

Afgan berkali lipat lebih senang karena mungkin dirinya laki-laki pertama yang hadir di rumah ini.

Afgan mengamati rumah Nagita. Tidak megah, cukup untuk ditinggali dua orang. Ruang tamu, keluarga, dan dapur dijadikan satu ruangan luas dengan halaman belakang dua kali tiga meter. Di sisi kanan, ada lorong panjang, yang kemungkinan adalah dua kamar dan satu kamar mandi.

Nagita meninggalkan Ollie dan Afgan di ruang keluarga sementara dirinya mulai memasak makan siang sesuai janjinya. Avodyie dan Langit berada di sekitar Nagita, penasaran.

"Saya bisa menebak arti pandangan kamu," ucap Ollie sedikit berbisik.

Afgan mereguk ludah. Dirinya ikut berbisik. "Maksudnya?"

"Kamu suka ya, sama Nagita?" tanya Ollie.

Tanpa keduanya sadari, tiba-tiba, Avodyie menoleh ke arah mereka. Memperhatikan. Langit menepuk pundak Avodyie, berbicara dengan gerak tangan. "Ada apa?"

"Gak ada apa-apa," gerak tangan Avodyie. Avodyie menarik ujung baju Nagita. Nagita menoleh dan Avodyie menggerakkan tangan. "Mau masak apa, Bunda?"

"Pasta. Kesukaan kamu," gerak tangan Nagita.

Sementara itu, Afgan membeku di tempat. Ollie semakin giat menyerang.

"Sejak kapan? Gimana sukanya? Suka atau kagum, nih? Karena dua-duanya itu different stori," paksa Ollie.

Nagita berseru di sela-sela memotong bawang, "LLIE."

Ollie membalas. "APA?"

"JANGAN NGOMONG ANEH-ANEH," kata Nagita. "APALAGI NANYAIN AFGAN SUKA GUE ATAU ENGGAK."

"IYA, IYA. BELUM DIJAWAB KOK, SAMA AFGAN-NYA," balas Ollie, bersungut-sungut. "Dia emang gitu, gak bisa diajak bercanda."

"Oh, yang tadi bercanda?" tanya Afgan.

"Iya," wajah Ollie yang semula bingung kini berubah jail lagi. "Kenapa? Beneran suka Nagita, yaaa?"

"OLLIE," peringat Nagita.

"IYA, ENGGAK, NGEGAS MULU, DEH," decak Ollie sambil melipat tangan di perut.

Setengah jam kemudian, mereka berlima sudah duduk manis di meja makan. Afgan sesekali melirik ke arah Nagita yang sibuk menyuapkan nasi goreng ke mulut anak perempuannya. Di lirikan terakhirnya, Nagita menangkap tatapan itu, dan kemudian wajahnya seolah teringat kalau dia belum menjelaskan apa-apa pada Afgan.

"Oh, iya. Ini anak saya, Avodyie. Avodyie, beri salam pada Kak Afgan, dia teman Bunda," ucap Nagita.

Anak bernama Avodyie itu mengangguk. Mata bulatnya bersinar cerah pada Afgan. Dia mulai menggerakkan tangan, namun Afgan tidak bisa menangkap maksudnya, maka Afgan hanya tersenyum canggung.

Nagita berkata, "Kata Avodyie, senang bertemu kamu."

Afgan mengangguk, hatinya merasa malu karena tidak bisa memahami gerak tangan anak Nagita. "Terima kasih, senang juga bertemu kamu," ucapnya yang kemudian disampaikan Nagita pada Avodyie dengan gerak tangan, Avodyie—yang sama sekali tidak tersinggung karena Afgan tidak bisa memahami bahasanya—melayangkan senyum unjuk gigi, membuat Afgan merasa lega.

Obrolan kemudian larut pada dunia kepenulisan dan film. Mereka membahas film dari adaptasi novel Nagita yang bulan ini akhirnya tayang. Ollie menjelaskan bahwa proses pembuatan film sangat sulit karena Nagita ingin semuanya sempurna, namun akhirnya berhasil diatasi. Afgan juga memberikan cerita tentang pertemuannya dengan penulis genre horror yang mengalami hal serupa seperti yang dia tulis.

Tampaknya Avodyie memahami ucapan Afgan dari gerak bibirnya, karena setelah Afgan selesai bercerita, Avodyie meringkuk di bahu Nagita.

Nagita menyadari ketakutan di mata Avodyie. Dirinya pun memeluk dan mengusap-usap bahunya, menenangkan.

Afgan memang kagum pada Nagita. Tapi saat melihat bagaimana Nagita memperlakukan Avodyie, Afgan bahkan tak tahu apakah ini masih sebatas kagum saja.

Selesai makan siang, Afgan bersiap-siap pulang. Ollie dan Langit sudah pulang lebih dulu karena suami Ollie sebentar lagi akan pulang dari dinas dan Ollie harus membereskan rumahnya yang berantakan.

Nagita sedang menunggu Afgan memakai sepatu di teras ketika ponselnya mendadak berdering. Nagita melihat layar dan menatap Afgan, "Sebentar ya, saya angkat telepon dulu."

Nagita menerima panggilan telepon cukup jauh dari Afgan. Membuat Afgan hanya bisa menunggu diam. Hingga tiba-tiba, Avodyie hadir dari lorong dengan menyembunyikan sesuatu di kedua tangannya. Avodyie berjinjit ke arah Afgan kemudian memberikan secarik kertas pada laki-laki itu.

Tulisan tangan yang rapi tertera di sana.

Bunda bukan ibu kandung Avodi.

Ibu kandung Avodi nitipin Avodi ke Bunda buat dijaga dan dibesarkan.

Bunda selalu bilang ke Avodi kalau dia hanya ingin Avodi bahagia.

Tapi Avodi juga mau Bunda bahagia.

Kak Afgan bisa bikin Bunda bahagia?

Napas Afgan tercekat. Dirinya menatap kesungguhan di mata Avodyie. Tatapan mereka terputus ketika terdengar suara Nagita kembali ke arah mereka. Afgan buru-buru mengantongi kertas itu ke saku celananya.

"Maaf lama," ucap Nagita. Nagita mengamati Afgan dan Avodyie bergantian. Namun, tidak menanyakan apa-apa. "Terima kasih Afgan atas waktunya, ditunggu hasil artikel dari kamu."

"Ya," suara Afgan masih tercekat. Afgan berdeham. "Terima kasih juga, Nagita. Nasi gorengnya enak."

Nagita tertawa. "Ada-ada aja."

Afgan pulang, masih dengan bayang-bayang mata penuh harap Avodyie.

di atas langit biruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang