⏪⏯⏩: 🎵Photograph – Ed Sheeran🎵
***
Napas Nagita memburu. Kepanikan menjalar di sekujur tubuhnya begitu deras. Yang ia tahu saat ini adalah dirinya harus pergi dengan menggenggam tangan mungil Avodyie. Sekarang juga. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dirinya meninggalkan acara secara sepihak, entah berapa kerugian yang akan ia dapatkan, Nagita tidak peduli.
Nagita tidak ingin bertemu masa lalunya. Masa lalu yang mencabik-cabik dirinya kemudian pergi begitu saja. Masa lalu yang membuat Nagita sering terdiam dengan kumpulan pertanyaan 'Mengapa?' yang tidak pernah terjawab. Masa lalu yang membuat indra Nagita seakan mati rasa.
Masa lalu yang membuat Nagita ingin mengakhiri segalanya.
"Nagita, kita harus bicara," suara desakan dari masa lalunya membuat Nagita mempercepat langkah menuju area parkir.
Nagita mencari-cari kunci mobilnya dari tas, tapi tangannya bergetar hebat, hingga isi tasnya berserakan di tanah. Nagita berjongkok, mencari kunci tersebut dengan kasar.
Ekspresi Avodyie tampak pias melihat kepanikan Nagita. Berkali-kali Avodyie berusaha menenangkan Nagita, tapi percuma, suaranya tidak keluar, suara yang sangat ia butuhkan untuk menenangkan Bunda, tidak akan pernah ada untuknya.
"B...B...B...Nda...," suara itu tak lebih dari lirih yang abstrak.
Avodyie tidak pernah berguna bagi Bunda. Bahkan di saat Bunda butuh pertolongannya.
Avodyie merasa sesak yang begitu dalam menghambat dadanya, membuat dirinya kesulitan mengambil napas. Di detik-detik sebelum matanya tertutup rapat, Avodyie masih melihat kepanikan Bunda. Tangan Avodyie berusaha menggapai bahu Bunda, namun terlambat, semuanya menjadi gelap.
Ketika Avodyie terjatuh ke pangkuannya, seolah kepanikan surut dari diri Nagita. Tangan Nagita berhenti bergetar, kini merangkum pipi Avodyie.
"Avodyie?" tanya Nagita. Kepanikan yang tadi surut, kini berubah menjadi gelombang yang lebih besar. Avodyie tampak megap-megap di pangkuannya, seperti kehabisan oksigen. "AVODYIE!"
"Git, tunggu!" suara Ollie yang menyusul bersama dengan Afgan dan Geo tidak Nagita hiraukan.
Nagita menepuk-nepuk pipi Avodyie. Suaranya parau memanggil anaknya. "Avodyie! Sayang, Anak Bunda. Bangun...."
Ollie menekap mulutnya melihat kondisi Avodyie. Dengan cemas, dirinya menoleh pada Afgan. "Telepon ambulans sekarang, Gan."
Afgan yang berusaha tegar melihat Avodyie sekarat, langsung menelepon ambulans. Afgan merasa dipukul palu godam, karena semua masalah ini bermula dari dirinya. Dia yang patut disalahkan. Dia yang berdosa. Hukum saja Afgan, Tuhan, jangan Avodyie.
"Minggir!"
Sebuah suara yang mengheningkan segalanya. Di area parkir, di atas langit biru, mimpi buruk Nagita datang dengan wujud nyata.
Lilian.
Sepupunya.
Istri sah masa lalunya.
Lilian berderap ke arah Avodyie, kemudian berjongkok di sisinya, mengeluarkan sesuatu dari tas yang Nagita tahu adalah inhaler. "Sayang, bertahan ya, Sayang...." Lilian mengaplikasikan inhaler tersebut pada Avodyie. "Maafin Mama, Sayang...."
Nagita mati rasa.
Lilian.
Ibu kandung Avodyie.
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...