21

15.5K 2.9K 30
                                    

Afgan memarkirkan motornya di garasi rumah Geo, ayah Ganiva, yang berlantai dua di sekitaran Kemang. Rumah bergaya town house itu terlihat sepi dari luar, membuat Afgan melihat ke arah Ganiva dengan cemas. Sesuai dugaannya. Ganiva tampak tertekan karena kondisi yang berubah total antara dia, Geo, dan ibunya, Lilian.

"Yuk," Afgan merangkul bahu Ganiva seiring mereka memasuki rumah yang saat ini hanya dihuni oleh asisten rumah tangga.

"Ganiva mau makan apa?" tanya Afgan setelah berjongkok di hadapan Ganiva.

Ganiva berusaha tersenyum, meski jadinya hanya senyum canggung yang bisa ia tampilkan. Persis seperti Afgan, beberapa tahun lalu, mengatakan baik-baik saja, padahal hati ingin sekali menangis. Jangankan ingat makan, untuk berfungsi layaknya manusia normal saja, Afgan lupa.

Yang Afgan tunggu hanyalah kondisi keluarganya kembali seperti serupa, meski rasionalitasnya dipertaruhkan.

"Hmm, gimana kalo hari ini Kak Afgan ajak Ganiva jalan-jalan. Ganiva mau ke mana?" gerak tangan Afgan.

Ganiva masih diam.

Afgan menghela napas berat, posisi jongkoknya kini berubah jadi bersila. Afgan menatap dalam-dalam manik mata Ganiva.

"Ganiva bakal baik-baik saja. Kak Afgan janji," tutur Afgan pelan. "Ketika kebahagiaan yang Ganiva inginkan ternyata ditutupi, kebahagiaan lain akan terbuka. Ganiva fokus sama kebahagiaan lain, ya?"

Ganiva masih diam, tapi kini dirinya mengangguk.

Afgan mengulurkan tangan. "Sekarang, kita main, yuk?"

Ganiva tersenyum, dan kini, senyum itu terlihat lebih tulus. Dan, Afgan merasa bersyukur, bahwa di saat-saat seperti ini, Ganiva bisa melaluinya dengan baik. Afgan rasa, kehadiran Avodyie dan Nikolas juga membantu.

Dulu, ketika Afgan ada di posisi Ganiva, hanya di antara tulisan Nagita, Afgan merasa tidak sendirian.

di atas langit biruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang