Nagita menutup layar laptopnya ketika jam menunjukkan pukul 12 di kafe sekitaran Kemang. Sambil menunggu Avodyie menyelesaikan pembelajaran di sekolahnya hari ini, Nagita memang menghabiskan waktu dengan menulis cerita baru. Kali ini, cerita garapannya adalah genre horror yang bernuansa gore. Sebenarnya alasan Nagita menulisnya di pagi hari dengan banyaknya seliweran aktifitas orang lain adalah, karena Nagita merasa ngeri kalau menulis di kamarnya sendirian. Jadilah, waktunya sangat pas dengan jam sekolah Avodyie.
Nagita melayangkan senyum ke arah Lilac, salah satu staff di kafe tersebut yang cukup akrab dengannya. Lilac juga yang mencatatkan pesanan Nagita di hari pertama Nagita memutuskan untuk menulis di sini karena tempatnya yang nyaman dan teduh.
"Jemput Av, Mbak?" tanya Lilac.
Nagita mengangguk. "Seperti biasa. Aku pergi dulu, ya."
Selama perjalanan menuju Global Harapan, Nagita lebih banyak melamun. Sudah sebulan sejak kejadian itu. Kejadian Avodyie mengetahui segalanya lebih cepat dibanding yang Nagita inginkan.
Selama sebulan pula, ada perubahan besar yang terjadi di antara mereka berdua. Seperti hilangnya sebuah sekat tak kasat mata yang ternyata menjauhkan yang dekat. Nagita bisa dengan bebas menceritakan tentang momen ketika mereka pertama bertemu. Saat Nagita menceritakannya, Avodyie terdiam, tampak terpukau dengan tiap kata yang Nagita ucapkan. Avodyie juga tampak lebih bebas dan lepas ketika bersama Nagita.
Sebenarnya perubahan itu terjadi karena dari dulu, Nagita takut Avodyie bertanya siapa ayahnya. Nagita takut ketika Avodyie melihat anak-anak lain dijemput oleh figur ayah, Avodyie bahkan tidak pernah memilikinya. Namun sejak dulu sampai sekarang, Avodyie tidak pernah bertanya siapa ayahnya, dan tiap waktu, Nagita merasa cemas, seolah ada bom waktu yang akan datang tak lama lagi.
Tapi, bom waktu itu, ternyata berhenti tepat di detik ke-satu. Avodyie sendiri yang mematikannya. Tidak ingin bom itu merusak segala hal yang sudah mereka bangun bersama.
Bagi Nagita, Avodyie sangat amat berharga. Dan, sespesial itu.
Sesampainya di sekolah, para orangtua murid sudah berseliweran menjemput anak mereka. Nagita menuju kelas Avodyie dengan langkah panjang. Senyumnya mengembang melihat figur Avodyie dari belakang, namun senyum itu terhapus melihat tangan Avodyie digenggam oleh seorang laki-laki.
Langkah panjang Nagita berubah menjadi lari-lari kecil. Dadanya bergemuruh dengan berbagai kemungkinan buruk yang tumpang tindih di otaknya. Nagita menarik bahu laki-laki itu dan ingin membentaknya, namun bentakan itu tertelan lagi ke dalam kerongkongan ketika melihat wajah Afgan yang terkejut dengan serangan tiba-tiba itu.
"Afgan?" tanya Nagita.
Nagita melihat ke bawah. Bukan hanya Avodyie yang digenggam, namun ada satu anak lain. Nagita mengingat anak itu. Ganiva. Teman sekelas Avodyie.
"Oh, hei," Afgan terlihat kikuk. "Ini ponakan saya. Ganiva. Saya yang jemput hari ini karena kakak saya ada urusan mendadak. Karena tadi kelas sudah sepi, jadi saya sekalian jaga Avodyie sambil nunggu kamu."
Afgan menjelaskan seperti itu, berarti tahu maksud serangan Nagita tadi. Nagita menyesal sudah bersikap sangat protektif pada Avodyie tanpa lihat-lihat dulu. Kalau ada orang ingin menculik anak kecil, pasti dia langsung lari mencari tempat aman. Bukan berdiam diri di keramaian seperti ini.
"Maaf," ucap Nagita pelan.
"Gak apa-apa, saya ngerti."
Ada kecanggungan yang menelusup. Avodyie melepas pegangan tangan Afgan dan berdiri di sisi Nagita, lalu menyelipkan tangannya ke tangan Nagita. Nagita menunduk ke bawah, dan Avodyie mendongak, sambil mengembangkan senyum.
Avodyie melepaskan genggaman tangan mereka untuk mengatakan sesuatu. "Bun, kita makan siang bareng Kak Afgan sama Ganiva, yuk?"
Nagita tidak pernah seterkejut ini sebelumnya. Afgan yang tampak mengerti dengan ajakan Avodyie, warna wajahnya berubah merah.
"Uh, kalo gak mau, gak apa-apa," Afgan melonggarkan tali yang seolah mengekang Nagita. Dan, Nagita berterimakasih akan hal itu.
Nagita menoleh ke arah Avodyie. Wajah anak itu berubah kecewa setelah melihat gerakan bibir Afgan.
Memang, pikiran yang tumpang tindih di otaknya sulit sekali dihempas. Ketakutan membuat kesalahan dalam berhubungan sosial dengan orang lain, membuat Nagita tidak ingin melakukannya lagi. Nagita sudah menuduh Afgan yang bukan-bukan tadi. Nagita tidak ingin membuat kesalahan lagi ketika mereka makan siang. Sudah cukup Nagita memberanikan diri mengajak Afgan makan bersama saat itu. Meski sebenarnya keberanian Nagita karena adanya Ollie dan Langit, membuat Nagita merasa nyaman.
Orang-orang tidak mengerti. Betapa sulitnya Nagita bersosialisasi. Betapa sulitnya.
Tapi, bila Avodyie yang menginginkannya, Nagita akan berusaha.
Nagita berjongkok. Dirinya menatap mata biru Avodyie dengan yakin. Kemudian, Nagita mengangguk perlahan sambil mengulas senyum menenangkan.
Mata biru Avodyie tersenyum setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...