SEPERTI biasanya di SLB Global Harapan, sepulang sekolah siswa pasti piket, termasuk Avodyie, Ganiva, dan Nikolas saat ini yang mendapatkan piket tiap hari Senin dan Kamis. Makanya, mereka sedang sibuk membersihkan tiap jengkal kelas dengan baik, karena kata Bu Guru, tempat yang bersih bukanlah hanya baik untuk orang lain, tapi bagi diri kita sendiri juga.
"Aku mager, deh," keluh Ganiva.
Tentu saja ternyata hanya Avodyie yang giat mengerjakan seperti yang disuruh Bu Guru, karena setelah Avodyie menghapus tulisan di papan, ternyata Ganiva duduk di kursi belajar, tangannya berpangku dengan serokan. Sementara Nikolas bermain kartu-kartu koleksinya di pojok.
"Ganiva kenapa?" tanya Avodyie karena wajah Ganiva tidak seperti biasanya, ada kesedihan di sana. Avodyie menghampiri Ganiva dan mengambil serokan di tangan mungilnya. "Sini, Av aja yang kerjain."
Ganiva melihat Avodyie dengan mata berkaca-kaca, hingga tiba-tiba Ganiva mulai mengeluarkan air mata, Avodyie panik.
"Va?" tanya Avodyie seraya mendekap Ganiva dan menepuk-nepuk punggung temannya.
Ganiva hanya diam dengan punggung yang terisak. Nikolas yang menyadari ada yang salah, langsung menghampiri mereka. Wajah Nikolas benar-benar panik. Dia mengguncang-guncang punggung Ganiva, dan berhenti ketika Avodyie memberikan pelototan padanya.
Nikolas kemudian menepuk-nepuk punggung Ganiva seperti yang dilakukan Avodyie, tapi dari belakang Ganiva.
Setelah Ganiva mulai tenang, dia menceritakan bahwa sekarang dia jarang melihat Mama dan Papa, hanya ada asisten rumah tangganya yang dia panggil Mbak, dan sesekali Kak Afgan yang sekarang sering sekali menjemput Ganiva yang dibanding seharusnya. Dulu yang menjemput Ganiva adalah supir pribadi Papa, tapi supirnya pun sekarang sudah dipecat.
Avodyie menyelesaikan pekerjaan piket mereka. Matanya sesekali melirik cemas ke arah Ganiva yang sedang mengobrol bersama Nikolas lebih lanjut tentang keluarganya. Avodyie jadi menyadari kalau semua orang pasti memiliki masalah keluarganya masing-masing, entah dengan keluarga lengkap atau tidak.
"Kok lama?" tanya Kak Afgan ketika mereka bertiga keluar dari kelas dan menuju taman tempat para orangtua atau wali menunggu.
Nikolas melirik Avodyie, dan terpaksa perempuan itu sedikit berbohong untuk menutupi kegelisahan Ganiva, karena memang tadi Ganiva mengulur waktu di kelas agar matanya tidak terlihat sembab di depan Kak Afgan. Kak Afgan sudah melakukan hal banyak untuk Ganiva, Ganiva tidak mau merepotkan lebih dari ini.
"Tadi, di kelas ada tikus mati, jadi lama buat bersih-bersihnya," jawab Avodyie lancar, dia tidak mau kebohongannya terlihat.
Afgan menatap mata penuh arti milik Avodyie. Sebagai orang dewasa yang sudah pernah berbohong (eh?), dia sudah tahu kalau ada yang ditutupi oleh mereka. Namun, melihat Ganiva yang benar-benar berusaha untuk tegar, Afgan tidak mau memperuncing masalah.
Ternyata, Bunda belum datang menjemput, maka mereka termasuk ayah Nikolas, menemani Avodyie menunggu Bunda.
"Padahal gak apa-apa, Avodyie nunggu sendirian," ucap Avodyie, kemudian tangannya saling mengait, gelisah.
"Gak apa-apa, kita kan temen," balas Nikolas sambil nyengir yang dibalas dengan anggukan dan tatapan meyakinkan dari semuanya, kalau mereka tidak apa-apa menunggu Bunda.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit sambil membuat Ganiva kembali tertawa dengan lelucon konyol Nikolas, Bunda datang. Bunda seperti habis lari marathon, tampak lelah, dan panik.
"Maaf Avodyie, maafin Bunda udah dateng telat...."
"Gapapa, Bunda."
Bunda membungkuk cukup dalam seraya meminta maaf karea mereka harus menunggu Avodyie. Tentu saja, Kak Afgan merasa tak enak dan mengatakan bahwa dirinya dan yang lain tidak keberatan menunggu Avodyie. Avodyie diam memperhatikan Bunda yang selalu merasa tak enak merepotkan orang lain, dan semakin ia menyadari hal itu, semakin ia sadar bahwa sikap Bunda seringkali ia terapkan tanpa ia sadari. Hal ini membuat Avodyie jadi berpikir hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.
"Hari ini Avodyie mau makan apa? Pasta? Nasi goreng? Dimsum?" tanya Bunda ceria ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil.
"Avodyie mau dimsum," gerak tangan Avodyie dengan senyum.
"Oke!" balas Bunda sambil nyengir.
Jalanan ibukota tampak ramai dan padat hari ini. Membuat perjalanan setengah jam mereka menjadi satu jam. Bunda sudah tampak lelah ketika mereka sampai di rumah, sampai Avodyie merasa tak enak kalau harus membebankan Bunda lebih dari ini.
"Enak?" tanya Bunda ketika mereka memakan makan siang, dimsum, seperti yang Avodyie inginkan.
Avodyie mengangguk sambil nyengir lebar. Membuat Bunda ikut tersenyum. Makan siang ini terlalu damai. Avodyie akan menunggu hingga malam tiba.
Avodyie sedang mengambil bantal dan selimut ketika Bunda datang dari arah ruang keluarga sambil memeluk laptop. Bunda berhenti berjalan.
"Avodyie takut?" tanya Bunda.
Avodyie sebenarnya tidak takut, bahkan dia baru mengingat La Llorona ketika Bunda menyebut-nyebut tentang takut, tapi Avodyie memilih untuk mengangguk.
Bunda tersenyum simpul kemudian merangkul Avodyie ke kamar Bunda. Mereka sudah dalam posisi nyaman masing-masing, bahkan Bunda sudah memejamkan matanya di samping Avodyie.
Avodyie mengetuk bahu Bunda dengan jari telunjuk. Bunda membuka mata. "Hm?"
Avodyie menggerakkan tangan. "Avodyie ingin ikut Bunda besok."
Mata Bunda sedikit melebar. Bunda terduduk, membuat Avodyie melakukan hal serupa. Bunda melihat keyakinan dalam mata Avodyie.
"Gak apa-apa?" tanya Bunda.
Avodyie diam sesaat sebelum mengangguk.
Selama ini Avodyie tidak pernah mau mengikuti acara Bunda. Avodyie pernah satu kali ikut acara tersebut. Di depan Bunda, mereka selalu bicara yang baik-baik, namun di belakang, omongan tentang Bunda yang memiliki anak padahal belum menikah itu membuat Avodyie tahu, kalau dia tidak seharusnya ada di acara tersebut. Sebelum pertanyaan tentang dirinya mencuat lebih dalam, lebih baik Avodyie menghindar.
Tapi, kali ini Avodyie tidak mau menghindar. Avodyie tahu satu hal, mau bagaimanapun, masalah akan terus terjadi. Dan selama itu juga, Avodyie hanya ingin melakukan yang ia inginkan, asal tidak menganggu orang lain. Dan, pergi bersama Bunda, menghadiri acara-acara Bunda, melihat Bunda bersama kebahagiaannya, Avodyie ingin melihat itu.
"Avodyie ingin ada di samping Bunda," gerak tangan Avodyie. "Avodyie ingin liat Bunda."
Nagita tahu, kalau selama ini Avodyie tidak pernah nyaman dengan banyak pasang mata melihat ke arahnya. Apalagi, omongan orang tidak begitu enak tentang mereka. Maka dari itu ketika Avodyie tidak mau ikut ke acaranya lagi, Nagita pun tidak mau memaksa.
Namun, besok bukanlah waktu yang tepat. Nagita takut kalau..., tidak, Nagita tidak boleh seperti ini.
"Oke," Nagita tersenyum. "Besok kamu boleh ikut."
Mata Avodyie melebar, dia memeluk Nagita begitu erat.
Andai Nagita tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...