Multimedia: Avodyie (Pict by. @caminouflet in unsplash.com)
Hari pertama Avodyie belajar diisi dengan perkenalan. Meski keempat teman lain termasuk dirinya sangat gugup, namun mereka berhasil.
Avodyie satu bangku dengan anak bermata belo dan rambut cokelat sepunggung, namanya Ganiva. Biasa dipanggil Iva, tapi Avodyie lebih senang memanggilnya tanpa singkatan.
Saat istirahat tiba, mereka berlima berkumpul menjadi satu lingkaran untuk makan bersama. Avodyie membawa bekal roti isi yang sudah disiapkan Bunda tadi pagi, Ganiva membawa nasi uduk, sementara tiga teman lain membawa siomay, mie goreng, dan lontong sayur.
Temannya yang bernama Nikolas tiba-tiba bertepuk tangan, meminta semua orang melihat ke arahnya–dia yang membawa lontong sayur.
"Kalian mau cerita-cerita serem gak?" gerak tangan Nikolas.
Ganiva langsung bergidik ngeri. "Enggak! Aku takut."
Teman mereka yang membawa siomay, kalau tidak salah, namanya..., Rassifa, mengatakan, "Penakut!"
Ganiva cemberut. "Aku gak penakut!"
"Udah, udah. Jangan berantem," gerak tangan Avodyie melerai mereka. "Ganiva kalo gak mau, tutup mata aja."
Ganiva awalnya masih cemberut, namun akhirnya dia mengangguk dan menutup mata. Alhasil, sendok berisi nasi uduk yang ia arahkan ke mulut jadi nyasar ke pipinya.
Avodyie mengetuk bahu Ganiva membuat perempuan berumur 8 itu membuka mata. "Liat makan aja, kalo gitu," gerak tangan Avodyie.
Ganiva mengambil nasi uduk yang jatuh mengenai kemeja putihnya dan memakannya. Setelah itu, Ganiva menutup mata serapat mungkin. Kali ini gak menyuapkan nasi uduk lagi--agak berbeda dari yang disarankan Avodyie. Avodyie nyengir bersalah, takut kalau Ganiva akan kelaparan siang nanti.
"Oke, aku mulai cerita," gerak tangan Nikolas. "Kakakku menceritakan sebuah legenda di Meksiko. Oh, Meksiko itu sebuah negara yang jauuuh sekali dari sini."
Rassifa mengangguk lega. "Bagus. Kalau jauh, dia gak akan bisa mampir ke sini! Huh, hantu nakal."
"Ada seorang perempuan, bernama La Llorona. Karena dia bertengkar dengan suaminya, dia..., gak sengaja membunuh anaknya sendiri," gerak tangan Nikolas. Avodyie meneguk ludah. "Dan setelah membunuh anaknya, dia bunuh diri. Jiwanya tidak diterima dan akhirnya dia gentayangan mencari anaknya. Tapi, karena anaknya memang sudah tidak ada, dia malah mengganggu anak orang lain untuk dibawa bersamanya. Sampai saat ini, dia masih gentayangan mencari anak-anak untuk dibawa..., kalau kamu mendengar suaranya dari dekat, maka sebenarnya dia jauh. Tapi, kalau kamu mendengarnya dari jauh, sebenarnya..., dia dekat."
Avodyie meneguk ludah. Lebih dari tiga kali sekarang.
"Sudah selesai belum, ceritanya?" gerak tangan Ganiva dengan wajah pucat pasi. Ganiva menepuk pundak Avodyie.
Avodyie terkejut dan menepuk pundak Ganiva dua kali, membuat Ganiva membuka mata dan menghela napas lega.
Seharusnya, Avodyie menutup mata juga, karena 8 jam sejak kejadian itu, Avodyie tidak bisa tertidur. Dia membayangkan La Llorona sedang menunggunya dalam keadaan lengah dan bersiap untuk membawanya pergi jauh dari Bunda. Avodyie merasa ada yang bersembunyi di belakang pintu kamarnya, membuatnya merapatkan selimut dan bergelung di atas tempat tidur. Kakinya gemetar. Bulir keringat timbul dari balik punggungnya.
Dengan sisa kekuatan, Avodyie mencari Bunda. Bunda ternyata masih ada di ruang tv, dengan kacamata baca dan laptop di hadapannya. Avodyie memeluk Bunda dari belakang dan terisak. Bunda terkejut dan langsung menaruh laptopnya ke meja kopi. Bunda memutar sehingga memeluk Avodyie seutuhnya.
"Ada apa, Sayang?" tanya Bunda.
"A..., Ada La Llorona," jawab Avodyie, tangannya bergetar kuat.
Bunda mengerutkan alis. Avodyie menjelaskan dengan terbata-bata. Kemudian, Bunda tersenyum. "Jadi, dia semacam monster yang ada di bawah tempat tidur?"
"Bukan! Lebih menakutkan."
Bunda mengusap wajah Avodyie dan menyingkap anak rambut yang menutupi mata birunya. Setelah itu, Bunda menggerakan tangan, "Gak apa-apa. La Llorona gak akan bisa mendekati kamu kalau kamu gak mendekatinya. Dia gak akan bisa menyakiti kamu kalau kamu tidak memperbolehkannya hadir. Dia akan semakin memudar kalau kamu jarang memikirkannya lagi."
Isakan Avodyie berkurang. "Begitu?"
Bunda terdiam sebentar, tersenyum, lalu mengangguk.
"Apa dia akan hilang?" tanya Avodyie.
Butuh waktu beberapa detik bagi Bunda untuk menggeleng.
"Kenapa dia tidak hilang saja?" tanya Avodyie.
"Bukan hilang, Sayang," Bunda mendekatkan ibu jari dan telunjuknya, mereka tidak saling bersentuhan, namun jarak mereka sangat tipis dan dekat, "Tapi, mereka mengecil. Hingga kamu melupakannya dan mengerjakan hal lain yang lebih besar."
"Tapi, dia tetap ada, kan?" desak Avodyie. "Kenapa tidak hilang saja?"
"Dia tetap ada, tapi dia tidak akan menyakitimu kalau kamu tidak memperbolehkannya."
Avodyie belum mengerti maksud ucapan Bunda saat itu. Yang ia tahu, La Llorona masih mengintai di kamarnya.
Malam itu, Avodyie berusaha memikirkan hal lain seperti yang Bunda katakan. Avodyie memikirkan tentang sekolahnya, dia senang belajar, senang bertemu teman-teman baru. Avodyie suka pelajaran matematika dan bahasa. Oh, minggu depan, Avodyie akan jalan-jalan bersama teman-teman di TK-nya! Avodyie sangat amat tidak sabar.
Avodyie terus memikirkan tentang hal-hal lain, hingga legenda menyeramkan La Llorona tersimpan di kubik kecil memorinya, terlupakan, namun tidak hilang.
Aku ingin membuat karakter Avodyie memiliki pikiran yang luas dan tidak terbatas. Kita, sebagai remaja/dewasa, kadang terbersit pikiran bahwa anak kecil/sd/smp memiliki pikiran yang jauh lebih sempit dan cenderung tidak tahu apa-apa dan hanya memikirkan bermain. Ini aku dapati dari beberapa cerita sebelumnya yang mengatakan kalau anak tk/sd/smp tidak mungkin berkata sebijak/sedewasa itu. Awalnya, aku berpikir, iya juga, ya. Dan setelah itu aku cenderung membuat cerita dengan tokoh anak kecil yang lucu, tanpa memberi jiwa di dalamnya. Tapi sebenernya, pikiran itu tuh bener-bener salah. Kita gak seharusnya memandang sebelah mata anak-anak seolah mereka gak tahu apa-apa. Nyatanya, mereka sedang dalam fase menyerap semua informasi untuk akhirnya terbentuk menjadi sosok individu dengan latar belakang berbeda-beda. Fase seperti yang Avodyie lalui adalah fase menyerap informasi, lalu membentuk karakternya, dan semua hal terasa baru baginya.
Jadi, berhenti mengatakan, "Ah, anak bau kencur, tau apa sih?" / "Anak kemarin sore aja belagu." / "Kamu belum cukup makan asam garam kehidupan." / "Anak kecil diem aja deh, biar kita yang ambil keputusan." / "Dasar anak bawang." dan bila kalian menemukan masih ada yang mengatakan hal semacam ini, tolong tegur baik-baik.
The Legend of La Llorona:
https://www.mexico.mx/en/articles/horror-stories-the-legend-of-la-llorona
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...