Ini sudah kedua kalinya Afgan masuk ke dalam kamar kecil untuk membetulkan kemejanya yang ia gosok tadi subuh hingga benar-benar rapi–namun masih terlihat kusut di mata Afgan. Rambut hitam legamnya yang sudah sangat rapi, ia coba sisir lagi dengan jemari panjang tangannya. Afgan berdeham, berbicara di depan cermin, "Halo, Mbak Nagita, saya Afgan, yang akan melakukan sesi wawancara bersama Anda. Salam kenal," dengan suara yang sengaja diberat-beratkan.
Sudah oke, belum?
Hari Minggu ini di salah satu kafe sekitar Kemang, Afgan berkesempatan untuk mewawancarai Nagita–penulis novel dengan 30 karya yang 15-nya sudah diadaptasi dalam berbagai bentuk, novel terjemahan, film, bahkan musik. Afgan merupakan penggemar Nagita sejak novel pertama–Sunyi. Karena saat itu banyak sekali masalah mendera Afgan, dirinya merasa terkoneksi dengan novel itu, seolah hanya novel itu yang mengerti dirinya. Cengeng memang, tapi begitu adanya.
Afgan bekerja di perusahaan media berita sebagai jurnalis. Dirinya memusatkan profesinya membahas di bidang sastra dan seni yang ada di tiap jengkal dunia–uhm, masih mimpi, tapi itu yang ia impikan.
Afgan kembali duduk menunggu di mejanya. Sengaja, Afgan belum memesan minum karena takut esnya akan mencair dan dirinya ketahuan telah datang satu jam lebih cepat dari yang mereka janjikan.
Tepat pukul 11, Nagita datang. Afgan sontak berdiri canggung dan bersalaman dengan perempuan itu.
"Halo," sapa Nagita, senyumnya magis.
Afgan sudah pernah berkencan dengan beberapa wanita, namun di hadapan Nagita, kakinya malah lemas seperti jeli. Afgan berdeham. "Ha-Halo. Saya Afgan, penggemar berat Mbak Nagita."
Shit. Shit. Shit.
Mata Nagita melebar. "Oh, ya? Terima kasih."
Afgan mempersilakan Nagita duduk sambil merutuk sendiri dalam hati. Tak ayal, pipinya sedikit bersemu mendengar Nagita berterima kasih pada dirinya yang butiran debu ini.
"Saya juga yang akan melakukan sesi wawancara bersama Mbak," ucap Afgan mengalihkan pembicaraan, membuat Nagita tersenyum tipis.
"Panggil Nagita saja," ucapnya.
Afgan mengangguk canggung dan salah tingkah. Matanya melirik ke arah wajah Nagita yang garis-garisnya halus, tapi ada ketegasan. Hidungnya tidak mancung, cenderung kecil. Bibirnya penuh dan memiliki lekukan yang menandakan seringnya ia tersenyum. Matanya teduh dan hangat, seolah berapa lama pun kita menceritakan keluh kesah, dia akan tetap jadi pendengar yang baik. Rambutnya di atas bahu, tanpa poni, dan rapi. Ah, ada jepit bunga-bunga yang sepertinya buatan tangan, tersampir di dekat telinga kanan.
"Kita mulai aja?" tanya Nagita.
Kali ini wajah Afgan seperti kepiting rebus. Afgan mengangguk lagi.
Sesi wawancara berlangsung lancar karena Afgan menekan semua sikap salah tingkahnya dengan menulis jawaban Nagita. Ya, Afgan masih percaya bahwa menulis manual lebih terasa sensasinya dibanding dengan menggunakan tape recorder–meskipun Afgan jaga-jaga menggunakannya agar tak ada yang salah dari berita yang ia tulis–tapi, sensasi menulis dengan cepat dan berkonsentrasi dengan ucapan narasumber, selalu membuat Afgan terhanyut.
Dan, oh iya, suara Nagita benar-benar lembut, tapi tegas, dan ada kehangatan di dalamnya.
Setelah sesi wawancara selesai, Afgan mengantar Nagita sampai di pekarangan parkir.
"Hari-hati di jalan," ucap Afgan sambil menganggukan kepala pelan.
"Hati-hati di jalan juga, Afgan, Senang bertemu kamu," ucap Nagita sambil menganggukkan kepala dengan sopan kemudian masuk ke dalam mobil volvo putihnya.
Mungkin, Tuhan sedang bermain perannya di sini, menyatukan dua insan dengan cara tidak terduga-duga, karena setelah lima menit Nagita menyalakan mesin mobilnya, mobil itu tetap bergeming, untuk pertama kalinya setelah mogok di tengah banjir dua tahun lalu.
"Ada apa?" tanya Afgan di depan kaca mobil bangku pengemudi.
Nagita membuka pintu. "Mobil saya mogok. Saya sudah telepon montir, tapi hari ini montir saya sedang libur," Nagita menggigit bibirnya, tampak cemas.
"Mba–," Afgan teringat dirinya bisa menyebut nama Nagita, "Kamu sedang buru-buru, Nagita?"
Nagita yang melirik jam ponselnya kini menatap Afgan dan mengangguk.
Entah keberanian dari mana, Afgan menawarkan mengantar Nagita ke rumahnya dengan motor tua milik almarhum Ayah. Di sepanjang perjalanan, motor itu mengeluarkan asap hitam–yang serius, sudah Afgan perbaiki kemarin malam!–tapi hal itu ternyata tidak menganggu Nagita sama sekali, Nagita bahkan tidak berkomentar, dia hanya melirik jam di ponselnya dengan raut cemas.
Sesampainya di rumah, wajah Nagita berubah lega, tampak seperti Nagita yang dua jam lalu mengobrol dengannya.
"Makasih, oh iya, Afgan mau mampir? Sekalian makan siang," tawar Nagita.
"Ah, enggak enak, Mb–Nagita..."
"Gak apa-apa, saya sudah berhutang budi sama kamu."
Berhutang budi? Karena Afgan hanya mengantarnya ke rumah?
"Jangan sungkan," tawar Nagita, kali ini dengan senyumnya yang magis itu. "Saya jago masak lho."
Shit, mana bisa nolak kalau disenyumim begini.
Afgan mengangguk dan mengikuti langkah Nagita yang anggun.
Takdir di atas langit biru sedang tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...