Saat pemberitahuan itu menyesakkan dadanya, Nagita sedang menemani Avodyie tidur di kamar. Mata Avodyie sudah terpejam saat ponsel Nagita berdering. Nagita menautkan alis, merasa heran karena semua teman, rekan kerja, dan saudara, pasti tahu dari jam 8 malam sampai 10, Nagita tidak mau diganggu, karena memegang ponsel pada saat itu hanya akan membuat Avodyie juga ingin memainkan ponsel.
Tapi, Nagita tetap tidak mengganti opsinya menjadi diam karena siapa tahu, ada berita penting.
Tapi, lagi, Nagita tidak menyangka berita pentingnya harus ini.
"Nagita? Kita harus bicara. Penting," suara Ollie sangat serius di ujung telepon. Sesaat menakutkan Nagita karena suaranya bukan seperti Ollie yang biasanya.
Nagita sedang duduk di kursi teras. Perlahan, tapi pasti, sekujur tubuhnya seperti menyerap dinginnya udara sehabis hujan. Bulir keringat dingin bermunculan seiring kata demi kata dijabarkan oleh Ollie dengan hati-hati. Tapi, tidak, mau sehati-hati apa pun Ollie menyampaikannya, isi pesannya tetap sama, dan itu menghancurkan separuh hati Nagita.
Lebih hancur dibanding enam tahun yang lalu.
Nagita mencoba membuang dan menarik napas berkali-kali, tapi hal itu percuma. Air mata yang berusaha dibendungnya meleleh tiba-tiba, disertai isakan yang mungkin membuat tetangga cemas, namun Nagita terlalu sibuk untuk mencemaskan itu sekarang. Nagita mengepalkan tangannya sangat kuat hingga kuku-kuku jemarinya menancap ke daging tangannya, membuat Nagita kesakitan, tapi Nagita terlalu sibuk untuk melepaskan kepalan tangannya sekarang.
Ketika Nagita merasa telah kehilangan kemudi dan kontrol dirinya, suara pintu yang terbuka, terdengar di telinga Nagita.
Avodyie berdiri di sana. Dengan mata birunya yang setengah terpejam. Tanda dirinya terbangun dari tidur.
Nagita berjongkok di hadapan Avodyie dan memeluk tubuh rapuh itu erat-erat. Sangat erat hingga Avodyie merasa ada yang salah.
Avodyie mendorong Nagita, menggerakan tangan. "Bunda kenapa?"
Air mata Nagita meleleh saat itu juga. Tangannya bergetar ketika bergerak. "Bunda sayang sama Avodyie."
Avodyie melengkungkan senyum manis. "Sama, dong. Avodyie juga sayaaang banget, sama Bunda."
"Avodyie tahu sejak kapan?" tanya Nagita, Nagita ingin segera menggerakan tangannya, namun hal itu ternyata sulit daripada yang ia pikirkan. "Kalau Avodyie bukan anak kandung Bunda?"
Avodyie terdiam lama, namun tidak ada keterkejutan dalam wajah bulatnya. Avodyie mendekat, memeluk leher Bunda sangat erat, lalu menjauh untuk menggerakkan tangan.
"Bunda, Avodyie gak apa-apa. Avodyie malah bersyukur bisa bertemu Bunda. Dibesarkan sama Bunda," Avodyie mengulas senyum tipis. "Bunda pernah bilang ke Avodyie. Kalau ada takdir yang gak bisa diubah. Kalau ada cerita yang tertulis apa adanya. Avodyie ketemu Bunda, itu memang ditulis seperti itu, apa adanya."
Ombak yang menghanyutkan Nagita ke arah yang tak menentu itu perlahan mereda, Nagita kembali ke pesisir, kembali melihat betapa bersyukurnya dia berada di sini, bersama Avodyie. Nagita mengusap air mata yang tersisa, dia mengangguk, kemudian Avodyie menggodanya.
"Ternyata, Bunda bisa nangis juga, ya," gerak tangan Avodyie.
Tawa Nagita pecah. Dirinya merapal berkali-kali, betapa sangat sangat sangat bersyukurnya dia dipertemukan dengan Avodyie.
a.n
sejauh ini, karakter mana yang kamu suka, dan apa alasannya?
apa hal yang membuat kamu membaca cerita ini? apa yang kamu harapkan dan ekspetasikan ke depannya?
love, wulan
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...