Avodyie belum pernah membenci siapa pun. Bahkan benci pada temannya yang lupa mengembalikan krayon atau tidak mau bergantian naik ayunan pun tidak. Avodyie selalu menganggap semua orang tidak layak untuk dibenci. Bunda selalu mengajarkan Avodyie untuk melihat sisi baik seseorang, sekecil apa pun itu.
Namun, tidak hari ini.
Sudah sebulan lebih, Bunda tampak gelisah dan murung. Ketika Avodyie tanya, Bunda selalu memaksakan senyum dan lebih banyak bertanya keseharian Avodyie.
Avodyie sayang Bunda. Tapi, mungkin dengan Avodyie membuat sesuatu, Bunda bisa lebih bahagia, seperti sedia kala.
"Kamu gambar apa?" tanya Ganiva penasaran, melongok ke arah buku gambar Avodyie ketika ruangan untuk tingkat satu sedang dalam pelajaran menggambar dan mewarnai.
Avodyie menoleh, tersenyum, "Gambarin Bunda."
Ganiva mengamati dan mengangguk-angguk. "Di atasnya ada awan biru, ya."
"Iya. Biar Bunda dan aku selalu happy meski kena hujan dan panas, asal kita bersama-sama," balas Avodyie menampilkan deretan gigi putihnya.
Ganita terpesona. "Avodyie puitis banget. Kayak Kak Afgan."
Avodyie hanya bisa nyengir, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Dalam perjalanan pulang, Avodyie sudah mendekap erat buku gambarnya, berniat menunjukkan pada Bunda. Namun, kecelakaan kecil terjadi. Bunda menabrak mobil di depannya ketika lampu merah, Avodyie menangkap dari percakapan antara Bunda dan pengemudi mobil depan, bahwa Bunda tidak fokus dan Bunda akan membayar ganti rugi yang disebabkan olehnya.
Mungkin bukan waktu yang tepat untuk memberikan gambar ini, maka Avodyie diam hingga mereka sampai di rumah. Avodyie mengamati Bunda yang termenung di teras sambil menghela napasnya lewat jendela ruang tamu.
Masih bukan waktu yang tepat.
Saat makan malam, Avodyie melihat Bunda hanya meminum kopi, meski begitu tetap menemani Avodyie untuk makan.
Ketika Avodyie beranjak tidur, dengan Bunda di sampingnya, Avodyie akan memperlihatkan gambar tersebut, hingga Bunda tiba-tiba menggerakkan tangannya, mengatakan sesuatu yang di luar kuasa Avodyie untuk menahan perasaannya.
Avodyie sudah menahan perasaannya selama ini. Avodyie tidak bisa menahannya lagi.
Rasa benci itu merasuk dalam dirinya.
"Ibu Avodyie..., ibu kandung Avodyie, ingin meminta Avodyie kembali," ucap Nagita. "Sebelum Bunda buat keputusan, Bunda ingin Avodyie tahu hal ini. Bunda gak akan kemana-mana, Bunda akan tetap jaga Avodyie. Apa pun keputusan Avodyie, Bunda akan tetap di sini."
Avodyie tanpa sengaja meremukkan buku gambar di tangannya. Bunda yang melihat hal tersebut berusaha untuk menggapai tangan Avodyie, namun Avodyie menepis tangannya. Air mata tahu-tahu bergumul di kelopak mata Avodyie. Jantung Avodyie seperti dihantam berkali-kali, begitu menyakitkan.
Setelah Bunda berusaha menenangkan, Avodyie akhirnya bicara, dengan tangan bergetar.
"Ibu Avodyie itu Bunda. Nagita," ucap Avodyie.
Bibir Bunda bergetar.
"Avodyie benci. Avodyie benci wanita itu."
Bunda memeluk tubuh kurus Avodyie dan mengusap punggungnya. Avodyie sedikit tenang. Ada Bunda di sini. Bunda tidak akan kemana-mana. Avodyie akan baik-baik saja.
"Avodyie boleh membencinya, namun membenci tidak akan menyakiti orang lain, tapi menyakiti diri Avodyie sendiri," air mata Bunda mengalir, dan Avodyie tidak menyukai hal tersebut, Avodyie tidak ingin Bunda menangis, Avodyie ingin Bunda bahagia. "Dulu, Bunda pernah memiliki orang yang Bunda sayang. Kita..., akan menikah, namun pernikahan itu tidak pernah terjadi karena dia lebih memilih sepupu Bunda. Dan Bunda tidak bisa mengubah hal itu. Bunda tidak bisa memaksa orang yang Bunda sayang untuk bisa membalas perasaan Bunda. Bunda tidak bisa membenci sepupu Bunda ataupun orang yang Bunda sayang. Karena membenci hanya akan memakan kita perlahan-lahan, sampai kita tidak sadar ke arah mana kita berjalan."
Avodyie tidak pernah tahu hal tersebut. Avodyie tidak pernah tahu bahwa di balik senyum Bunda, ada cerita yang begitu menyakitkan. Bagaimana bisa Bunda tidak membenci mereka?
"Apakah membenci seseorang sangat buruk?" tanya Avodyie.
"Itu normal, Sayang," Bunda mengelus puncak kepala Avodyie. "Itu artinya kamu memiliki perasaan."
"Bunda tidak memiliki perasaan?" tanya Avodyie.
Bunda terdiam sejenak, matanya menerawang, sampai akhirnya Bunda tersenyum lebar.
"Bunda punya. Setelah bertemu kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
di atas langit biru
General FictionNagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayinya. Nagita memutuskan untuk mengemban tugas itu, tugas terakhir sebelum dirinya benar-benar mengakhi...