19

1K 109 25
                                    

"Ngomong apa kamu, Dean!" bentak ayahnya Ardean lagi-lagi membuat penjuru rumah menjadi bergetar.

Ardean pun tertawa geli, ia bisa jadi satu-satunya yang tidak merasa takut akan suara keras dari bapak Adiromo ini.
"Papa aja bisa nyuruh Dean buat cerai sama Chacha, giliran disuruh balik malah marah-marah"

"Kamu benar-benar tidak ada rasa hormatnya sama orang tua!"

"Percuma" jawab Ardean begitu ayahnya itu mengakhiri teriakannya,
"Dihormatin juga ngelunjak"

"Dean!" bentak ayahnya Ardean lagi.

"Papa-" sambar Ardean sambil menunjuk ayahnya itu dengan jari telunjuknya,
"Papa itu satu-satunya, satu-satunya orang yang menyebabkan seorang Ardean Sutomo itu gagal" jawab Ardean memberi tekanan diucapannya.
"Bukan gagal sebagai pengangguran, iya tau kalau Dean saat ini punya perusahaan diberbagai belahan dunia yang gak diragukan lagi akreditasinya. Dean sukses tapi jiwa dan pola pikir Dean itu udah gagal total gara-gara Papa"

"Seandainya Papa bisa sedikit aja ngomong dengan lembut dan ramah, mungkin Dean gak akan membentak Papa kek tadi, gak mungkin Dean akan jadi pemberontak apalagi sama Papanya sendiri" jelas Ardean,
"Seandainya Papa bisa sejenak aja dengar permainan pianonya Dean, bisa sedikit luangkan waktu buat main basket dengan Dean, bisa sedikit beri waktu buat jalan-jalan sama Dean, buat ngobrol satu-dua kata, bisa dengar keluh-kesahnya Dean. Dean gak mungkin jadi anak geng motor berbahaya diluar sekolah dulu"

"Dan kalau Papa nyuruh Dean cerai sama Chacha, satu-satunya kebahagiaan Dean saat ini. Mending Papa gak usah punya anak aja sekalian" tambah Ardean lagi dengan suara yang serak walau tidak menangis.

Daffa yang mendengar semua hal ini pun meremas tali tas selempangnya yang berisikan bola basket itu, ia pun beranjak pergi daripada mendengar perdebatan lebih lanjut antara ayah dan kakeknya itu.

Ia berjalan menuju mobilnya. Daffa akhirnya menyadari begitu besar rumahnya, begitu luas halamannya, begitu ramah orang tuanya, namun entah mengapa ia masih saja merasa banyak kekurangan.

"Udah beli tiket belum?" tanya seseorang menganggetkan Daffa, ternyata itu Kinan.
"Lo ibarat nonton perdebatan antara Presiden dan anggota kongresnya"

Daffa pun tak menggubris tantenya itu, hubungan dirinya dengan tantenya memang dekat bak kakak dan adik namun tetap saja Daffa memanggil Kinan dengan tante.

"Lusa, lomba?" tanya Kinan dengan terpotong-potong.

Daffa hanya mengiyakan dengan bergumam, ia melihat Kinan dari atas sampai ke bawah. Penampilan tantenya itu benar-benar tak cocok dipanggil wanita, lebih totalitas seperti preman pasar.

"Soal nyokap-bokap lo abaikan ae, itu urusan orang tua kalau lo ikut campur ntar lo makin tua" ejek Kinan berusaha membuat Daffa sedikit lebih baik.

Daffa terdiam sejenak,
"Tapi, yang dibilang kakek itu ada benarnya juga"

Kinan pun menghela nafas panjang, bisa gawat jika Daffa mulai terbawa-bawa sifat kakeknya yang angkuh itu, pikirnya.

"Lo itu udah gede, jangan kek bocah! Lo harusnya ngerti keadaan-"

"-Iya, gue ngerti keadaan kok" sambar Daffa begitu Kinan baru saja mulai menceramahinya lagi,
"Tapi dulu. Gue tau bunda itu artis dan karirnya bagus, tapi ingat juga dong kalau dia wanita yang ngelahirin gue. Gue memaklumi kewajiban dia sebagai artis sibuk dan gak bisa dikurang-kurangi jadwalnya, tapi dia gak bisa juga menjalani kewajiban dia sebagai bundanya gue"

"Orang tuanya Hanip-Reeva yang sama-sama kerja aja bisa dirumah sesuai waktu keluarganya, kenapa keluarga kecil gue gak bisa?" tanya Daffa lagi membuat Kinan terdiam.
"Gue anak tunggal, yang katanya anak manja tapi nyatanya gue mandiri dari kecil. Muak gue kalau ada yang bilang gue anak manja, karena faktanya gue anak tunggal rasa anak angkat"

"Dave" panggil Kinan saat Daffa mulai tak berhenti meluapkan emosi.

"Gue iri sama teman-teman gue yang sederhana kehidupannya tapi kedua orang tuanya selalu support dia, sedangkan gue yang kaya raya, yang gak perlu mikir uang, yang katanya keluarga Sutomo terjamin sampai mati kekayaannya, yang anaknya artis terkenal, gak disupport sama sekali" tambah Daffa lagi-lagi tak bisa dicegat oleh Kinan.
"Gak bangga gue pakai marga Sutomo, gak bangga gue jadi anak artis, gak bangga sama sekali dan gue nyesal"

Daffa pun beranjak pergi dengan mobilnya, meninggalkan Kinan yang tak mampu membalas setiap ucapannya.

---•••---

Vanesya pun menangis sepanjang jalan, bukan karena kejadian Surya namun karena kakinya yang pegal. Sekolah ke rumahnya itu jauh sekali dan dia sok-sok jalan kaki? Haha ia gengsi juga mau balik nyari pesanan ojeknya tadi. Mau pesan lagi juga ponselnya sudah habis batrai sejak tadi.

Matahari mulai surut membuat Vanesya semakin ketakutan, bisa-bisa ia sampai tengah malam, pikirnya.

Disaat ia ingin menyeberangi jalan, sebuah mobil yang melaju hampir saja menabraknya. Sontak Vanesya pun berteriak kemudian mobil itu berhenti tapt didepannya, hampir saja tertabrak.

"WAH SIALAN LO NGAJAK TUBIR!" kesal Vanesya akhirnya mendapat pelampiasan emosi pegalnya.

"MAJU LO, JING! LO KIRA GUE TAKUT, HA?! LO MAJU, GUE LARI!" teriak Vanesya sambil memukul-mukul depan mobil itu.

Kaca mobil itu pun terbuka dan keluarlah sebagian wajah Daffa yang kebingungan.

"Loh? bang Dave?" heran Vanesya.

"Vanesya kan?" tanya Daffa yang tak lama keluar dari mobilnya.

Ia pun menghampiri Vanesya dan membolak-balikkan tubuh mungil gadis cantik itu,
"Ada yang luka?" tanyanya dengan ramah.

Hehe, pantas saja gadis-gadis terpikat pada seorang Daffa turunan keluarga Sutomo ini. Sudah ganteng, baik, ramah, perhatian, kaya, pintar, aktif, berprestasi, dan masih banyak kelebihan lainnya yang bisa jadi bahan candu jika dijabarkan.

"Engga, hati-hati dong jalan lo kira nyawa gue 7 apa?" jawab Vanesya dengan nada pelan, TAK SEPERTI BEBERAPA DETIK YANG LALU. :)

"Iya, maaf ya. Lagi gak konsen tadi" ucap Daffa,
"Sendiri aja? bareng?" ajaknya membuat Vanesya ingin jungkir balik ke angkasa sangking senang.

Senang karena ada yang menawarinya untuk diantar pulang, kakinya sudah luar biasa hilang rasa.

"Ehm, gak usah deh" jawab Vanesya sedikit jual mahal.

"Oh yaudah, hati-hati ya" jawab Daffa beranjak pergi setelah menepuk satu lengan Vanesya.

"PEKA ELAH!" teriak Vanesya membuat langkah kakinya Daffa terhenti, Daffa pun terkekeh sambil berbalik badan.

"Apa?" tanya Daffa masih tertawa.

"PEGEL KAKI GUE TAUUUUUUU!!! GUE JALAN MAU 5 JUTA KILOMETER! LO KIRA GUE PROGRAM DIET SAMBIL JOGGING APA?!" rengek Vanesya sambil menghempas-hempaskan kakinya bak anak kecil.

Daffa pun tertawa geli mendengarnya, ia pun mengajak Vanesya untuk ikut bersamanya.

Tak disangka, seseorang melihat mereka berdua dari kejauhan. Dengan menggunakan motor besar yang mesinnya sengaja dimatikan, orang itu tersenyum melihat Daffa dan Vanesya.

"Bener kan kata gue, Dave itu suka sama Vanesya bukan sama cewe lain. Emang lebih pantes daripada sama om Dio" ucap Surya sambil menyalakan mesin motornya tepat setelah Daffa dan Vanesya pergi.

RUANG GANTI 2 [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang