Interaction - Part 4

1.2K 250 89
                                    

Di lorong lantai dua, Amel menyudut pada pojokkan yang gelap dan sempit. Dia merunduk sangat dalam, sambil memeluk kedua kakinya yang mulus. Dinginnya lantai tidak dia hiraukan.

Dari arah ruang rapat, Foe keluar. Sejenak dia ingin melepas ketegangan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia melempar pandangannya ke penjuru koridor, dan melihat Amel berada di sudut koridor, dekat dengan tangga utama. Pria itu pun menghampiri wanita yang terduduk lesu itu.

Amel mendengar suara langkah lembut yang direndam oleh karpet merah maron yang menutupi sebagian besar lantai, dia tahu ada seseorang yang mendekatinya. Masih tidak mengubah posisinya, manik hitam Amel mengintip dari sela-sela poninya. Setelah mengetahui siapa yang datang, Amel malah mendecakkan lidahnya, merasa kesal. Orang yang menghampirinya adalah orang yang paling dia hindari.

"Camellia ... ayo, masuk ke dalam," bujuk Foe.

Bukannya menjawab, Amel kembali merendukan kepalanya. Dia berpura-pura tidak mendengar ucapan Foe.

"Aku—minta maaf. Aku tahu itu terjadi sangat mendadak dan membuatmu syok. Tapi percayalah, ini terbaik untuk kita berdua."

Selang beberapa detik, mereka berdua tidak berbicara satu sama lain. Foe ingin kembali mendekati Amel, namun Amel langsung mendongak dan membuang wajahnya ke tembok.

"Jadi, menurutmu hubungan kita selama dua tahun hanyalah main-main saja?" kata Amel tanpa menatap lawan bicaranya.

"Tidak, itu tidak benar. Aku rasa kamu adalah wanita yang hebat. Malah kurasa, aku tidak pantas untukmu." balas Foe dengan ragu-ragu.

Mendengar jawaban itu, Amel berdiri dan memperlihatkan wajah merahnya yang telah tersulut emosi. "Dasar pembohong! Egois! Aku benci padamu!"

Amel berlari menuju ruang rapat tanpa menoleh sedikit pun. Dipenuhi rasa bersalah, Foe hanya melihat punggung Amel—wanita yang pernah dia cintai—semakin menjauh. Tanpa mereka sadari, di balik salah satu pintu ruang rapat. Kana menguping seluruh pembicaraan mereka berdua.

--0--

Toilet wanita, hukumnya wajib ada di tiap tempat umum. Bagi kaum Hawa, ruangan itu adalah checkpoint, persinggahan dari waktu ke waktu. Selain buang air kecil maupun besar, hanya untuk sekadar bercermin dan memperbaiki penampilan juga mereka lakukan di sana. Maka kaca besar yang muat sampai lima kepala untuk bercermin merupakan salah satu benda yang harus ada.

Terutama, bila mereka datang dalam bentuk kelompok. Bukannya serius buang hajat, malah sibuk gosip tentang hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan mereka. Memang tepat disebut sebagai tempat pembuangan karena gosip pun di buang juga di sana. Namun, untuk malam ini, tempat tersebut menjadi TKP. Ditemukan seorang sekretaris bernama Vini, meninggal dalam keadaan yang tidak wajar.

Toilet itu tidak terlalu besar; terdiri dari tiga bilik dengan kloset duduk, tiga wastafel yang dilengkapi dua tempat sabun cair, satu tempat tisu toilet, tempat sampah dan kaca besar dengan ukuran sekitar 3 x 1 meter. Di sana juga di percantik beberapa bunga imitasi di antara tiap wastafel. Sekilas, di ruangan tersebut tidak ada barang yang rusak atau memperlihatkan adanya keganjilan.

Aris dan Tifa setuju untuk berbagi tugas, Aris menelusuri seluruh ruangan, sedangkan Tifa menyelidiki tubuh korban. Aris memperingatkan Tifa agar tidak mengubah posisi mayat, dan melarangnya untuk menyentuh korban kecuali menggunakan kain atau sarung tangan.

Alasannya? Aris hanya berkata, "Aku tidak mau berurusan dengan polisi karena merusak barang bukti atau mengganggu prosedur penyelidikan mereka."

"Lalu, kenapa kamu mau masuk ke dalam TKP yang seharusnya steril dari orang yang tidak berkempentingan?" tanya Tifa bingung.

Pharma.con ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang