Intermezzo - Part 2

808 177 42
                                    

Waktu perkuliahan dalam satu minggu, yaitu dari hari senin sampai jumat. Sesuai dengan hari kerja untuk para pegawai negeri. Sedangkan hari sabtu dan minggu digunakan sebagai family time atau me time bagi yang belum berkeluarga. Salah satu cara untuk melepaskan penat selama satu minggu adalah berlibur. Pergi ke objek wisata, pusat perbelanjaan, piknik di taman kota. Atau yang paling mudah, tidak ribet, dan tetap damai sentosa, yaitu bermalas-malasan di rumah—sudah sebuah anugerah yang kadang manusia lupa untuk disyukuri.

Benar, manusia selalu lupa berterima kasih kepada sang Pencipta. Kalau mereka baru merasa ada hal yang telah direbut, baru teringatlah kenimatan yang mereka lupakan begitu saja.

Karena Tifa adalah homo sapiens yang masih lupa akan bersyukur, hanya bisa mengeluh melihat tumpukan kertas yang harus dia sulap menjadi sebuah buku penuntun untuk lab Analisis Farmasi. Satu lagi lab yang harus Tifa hadapi di semester depan. Dan tentunya, kembali bertemu Aris, si asisten killer. Sebagai master-nya kimia, Aris pasti tidak akan pernah absen dalam menjabat sebagai pengawas lab, yang memiliki ciri khas di mana tiap praktikumnya tidak lepas dari alat-alat yang harganya lebih mahal dibanding uang panaik* untuk mempersunting kaum hawa di Makassar dan wilayah sekitarnya.

Sabtu ini, Tifa dan Cony pergi ke rumah Aris untuk menjilid buku. Memang mereka dibayar, namun rasa malas pasti menghinggap di diri mereka. Cony sempat berpikir untuk menyerahkannya ke tempat penjilid langganannya. Tetapi Aris yang tidak mau merusak reputasinya di hadapan para dosen, tetap bersikukuh untuk mengerjakannya agar lebih hemat. Mereka berdua yang sudah kalah argument dengan sifat keras kepalanya, hanya bisa angkat tangan dan mulai mengerjakan tugas tersebut.

"Nanti uangnya kita bagi tiga," ujar Aris sambil merapikan tiap lembar dan menstaples kertas itu menjadi satu.

Tifa hanya mendengkus kasar, dia tidak peduli dengan uang. Dia lebih memikirkan masa mudanya yang sia-sia berhadapan dengan tumpukan kertas dan bau lem di weekend yang cerah ini.

Mereka bertiga sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Aris bagian menggabungkan kertas. Tifa bagian merapikan potongan kertas yang berlebih dan memasang sampul depan dan belakang. Sedangkan Cony pada bagian finishing, merekat semuanya dengan lem panas dan lakban hitam serta mengecek satu persatu halaman yang ada.

Mereka berkerja tanpa suara, hanya meongan manja kucing peliharaan Aris, Kopiko, yang terus memainkan potongan kertas yang berserakan di lantai. Tifa yang notabennya adalah cewek yang cerewet, tidak suka dengan nuansa senyap. Dia akhirnya mengungkit pengalamannya yang baru-baru saja dia alami.

"Kemarin pas aku ke tempat ATK, depan kampus. Aku kan mau fotokopi jurnalku, lalu mas-mas yang jaga lihat tulisan Fakultas Farmasi di atasnya. Eh, langsung dia sok bertanya. Kalian tau apa yang dia tanya? Dia malah tanya 'Apa obat manjur buat sakit hati, habis aku baru aja diputusin sama pacarku' risih aku dengernya," Tifa tertawa getir mengingat kejadian yang lalu.

"Jadi ... kamu jawab apa?" tanya Aris.

"Aku cuman ketawa aja. Masnya tenyata kode mau minta nomor telepon."

"Seharusnya kamu kasih tau dia, cek kondisi hatinya dengan tes SGPT*, SGOT*, albumin* sama bilirubin*. Baru bisa kita saranin obatnya," jelas Aris. Cony spontan meledak dalam tawanya mendengar jawaban Aris. Sedangkan Aris sendiri kebingungan, dia merasa tidak ada yang salah dengan ucapannya.

"Aris ... itu maksudnya hati dalam artian rasa cinta. Bukannya organ hati," Tifa hanya bisa menepuk jidatnya, melihat seniornya yang tidak peka.

"Cinta, ya. Seperti atom hidrogen menarik atom klorin ke arahnya untuk membentuk molekul asam hidroklorida yang telah disempurnakan bilangan oktetnya*."

Tifa yang menyadari perkataan Aris mirip dengan novel yang dia punya, gadis berkuncir kuda itu pun bertanya, "Itu, bukannya ... dari novelku?"

"Memang. The Man from Archangel and Other Tales of Adventure, karya Sir Arthur Conan Doyle. Cerita ke tujuh, 'Istri Ahli Fisiologi," jelas Aris yang masih saja sibuk mengurus ratusan lembar kertas putih di hadapannya, "Itu buku ketinggalan di sini, sudah lima hari. Daripada berdebu di bawah meja, lebih baik kubaca."

Tifa kembali terpukau dengan ingatan Aris yang kuat. Aris adalah detektif muda yang bakatnya sudah diakui oleh kepolisian maupun pihak berwajib lainnya. Coba saja pemuda berambut kelabu itu mau mengekspos keahliannya di depan umum, pasti dia akan kebanjiran kasus dan pekerjaan.

Tifa memperbaiki posisi kacamatanya yang mulai melorot dari hidungnya. Dia teringat dengan klien yang beberapa hari lalu datang ke rumah Aris untuk mengusut suaminya yang diduga berselingkuh.

"Aris, kenapa kamu tidak ambil kasus perselingkuhan yang lalu? Bukannya kamu sekarang senggang. Apalagi bayarannya gede banget, bisa tuh buat beli mobil."

Aris yang mendengar pertanyaan Tifa sedikit tersontak, namun seakan tidak peduli, dia kembali memasang poker face-nya, "Aku tidak ingin seenaknya mengambil lapaknya orang."

"Memang ada detektif yang ngurus hal seperti itu?"

"Ada, dan jumlah mereka sudah cukup banyak. Aku juga tidak suka kasus yang membosankan."

"Eh ... tapikan sayang banget. Rezeki loh! Enggak boleh pilih-pilih."

"Terserah aku! Toh aku yang sibuk mikir, bukan kamu," sergah Aris yang berhasil membuat Tifa terdiam dan tidak bisa lagi berkata-kata.

Cony bisa melihat arah pembicaraan itu mulai tidak baik. Dia pun berusaha mengalihkan topik, "Wah, sudah sisa sedikit. Kalau sudah selesai semuanya, ayo kita pergi cari makan. Tidak terasa sudah kerjakan ini dari pagi. Kita juga enggak sadar belum makan siang, padahal sudah sore gini," ucap Cony sembari memandang jam dinding di atas rak buku yang berisi puluhan buku ilmiah tentang kesehatan, koleksi Aris.

"Aris yang traktir. Dia kan sudah nyuruh kita kerja rodi," kata Tifa yang sepertinya mulai lupa dengan rasa salting-nya tadi.

"Artinya, gajimu dipotong sesuai dengan uang makanmu," ujar Aris santai.

"Loh? Enggak ada uang konsumsi, gitu?"

"Kamu kira ini proker kemahasiswaan? Kalau kamu masih ngotot juga, pergi sana minta langsung sama yang nyuruh."

Tifa yang jengkel, mendecakan lidahnya dan memasang tampang merajuk. Aris yang melihat respon Tifa, mengambil potongan kertas yang berserakan dan membentuknya hingga menjadi bola sebesar kepalan tangan. Dengan gaya ala pitcher handal, dia lempar bola tersebut hingga mendarat tepat di pipi tembam Tifa. Spontan Tifa berteriak dan langsung berusaha melempar gunting yang ada di tangannya. Untung saja Cony segera menghentikan gadis itu, atau gunting itu akan melayang dan melukai wajah tampan Aris.

Suara dering ponsel Aris berhasil menghentikan perkelahian antara dua anak muda itu. Terpampang nama Eni dengan pas fotonya di layar. Wanita itu terlihat berwibawa dengan mengenakan jas apoteker. Pemuda itu menggeser lambang berwarna hijau dan mulai berbicara dengan Eni.

Mimik muka Aris yang awalnya datar, dalam beberapa detik berubah menjadi serius. Satu menit kemudian matanya berbinar-binar dan mulai tersenyum. Tifa dan Cony paham arti dari ekspresi pria berambut kelabu itu, dia baru saja mendapatkan kasus yang menarik.

"Cony, Tifa, kita tunda dulu makannya. Ada kasus di kompleks perumahan Eni."

<><><><><>

Uang panaik: uang mahar.

SGPT: (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) adalah enzim yang paling banyak terdapat di dalam hati.

SGOT: (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) adalah enzim yang biasanya ditemukan pada hati (liver), jantung, otot, ginjal, hingga otak.

Albumin: merupakan protein yang disintesis oleh hati.

Bilirubin: pigmen berwarna kuning kecokelatan yang ditemukan di dalam empedu, darah dan tinja semua orang.

Bilangan oktet: suatu kaidah sederhana dalam kimia yang menyatakan bahwa atom-atom cenderung bergabung bersama sedemikiannya tiap-tiap atom memiliki delapan elektron dalam kelopak valensinya, membuat konfigurasi elektron atom tersebut sama dengan konfigurasi elektron pada gas mulia.

[16/2/2019]

Pharma.con ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang