Intermezzo - Part 3

828 180 43
                                    

Kompleks perumahan Eni, posisinya hanya sekitar 500 meter dari perumahan di mana Aris tinggal. Berbeda dengan lingkungan Aris yang padat dan ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Wilayah tempat tinggal Eni termasuk perumahan menengah atas dengan suasana sepi.

Ada pembagian wilayah blok, disesuaikan dengan tipe rumah yang ada. Untuk blok A-C ditempati rumah tipe 54 yang memiliki halaman yang lumayan luas. Blok D-G lebih diperuntukkan untuk rumah tipe 45 yang biasa dihuni keluarga kecil. Dan blok H-K dipenuhi rumah tipe 36 yang biasanya disewa oleh mahasiswa atau pekerja yang belum berkeluarga.

Eni tinggal di blok E-15. Aris dan Cony sudah biasa bertamu di rumahnya sehingga kedua pemuda itu sudah terbiasa membawa kendaaran mereka hingga ke tempat tujuan. Tifa yang pertama kalinya datang, meninggalkan motor biru kesayangannya di bagasi rumah Aris. Dia memilihi untuk dibonceng dengan Cony yang baik hati dan tidak sombong, daripada satu motor dengan cowok yang selalu memarahinya bila dia bergerak-gerak di atas motor.

Setibanya mereka di blok E, sudah banyak warga yang berkumpul di salah satu rumah dengan cat dinding abu-abu. Aris yang berhasil mendeteksi Eni di dalam kerumunan, memarkir motornya di bahu jalan. Cony pun melakukan hal yang sama. Wanita berambut coklat itu menyadari keberadaan ketiga juniornya, dan segera berusaha keluar dari keramaian.

Eni biasanya berpenampilan elegan dengan baju formal dan make up yang glamor. Sekarang terlihat seperti ibu rumah tangga biasa yang memakai kacamata, daster panjang, dan sandal jepit. Rambut sebahunya agak bergelombang, wajah ovalnya mulus tanpa pelapis bedak apapun, dan bibirnya yang seksi masih terlihat menawan walau tidak diwarnai dengan lipstik. Eni berlari kecil menuju Aris, air mukanya pucat pasi. Tangannya tidak berhenti bergetar, air matanya pun mengalir ketika dia berusaha berbicara.

"Aris, Theo ... keluarganya dibantai dengan orang tak dikenal," Eni terisak-isak.

Aris memeluk lembut tubuh Eni, terlihat dia berusaha menenangkan wanita berambut coklat itu. Tifa yang melihat kedekatan Aris dengan Eni merasa sedikit iri. Hatinya terasa diremas-remas. Padahal dia tidak pernah suka dengan pria berambut kelabu itu. Selama ini Aris tidak pernah memperlakukan perempuan seperti itu, apalagi dirinya.

Dari arah kerumunan, datang seorang pria paruh baya bersama lelaki tinggi berewok. Lelaki itu mendekati Aris dan tersenyum iba. Eni melepas pelukan Aris dan berpindah dengan lelaki berewok itu. Tentu saja, Tifa yang tadinya sakit hati malah merasa hatinya sekarang copot melihat penampakan itu.

"Kamu tadi cemburu, ya?" goda Cony.

"Hah? Jangan bercanda! Siapa juga yang mau cemburuin cowok muka semen kaya dia!"

"Eni itu sudah menikah, sudah punya dua anak. Itu suaminya ... sekian info dari saya." Cony tertawa geli dan mencubit gemes pipi tembem Tifa. Gadis itu merasa diperolok Cony, langsung menggit jempol yang tertempel di pipinya hingga Cony merintih kesakitan.

"Jadi ini orangnya, Bu Eni," kata pria paruh baya itu berhasil membuyarkan perkelahian antar Tifa dan Cony. Tergambar keraguan dari raut wajahnya.

Eni berusaha menghapus air matanya dan mulai berbicara walau suaranya masih serak, "Iya, Pak RT. Ini Aris, dia detektif yang tadi saya ceritakan," ucap Eni sambil menunjuk Aris kepada Pak RT.

Pria paruh baya yang dipanggil sebagai kepala RT mengamati Aris dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Tifa dan Cony pun tidak luput dari amatannya. Seperti sudah menerima bahwa mereka bertiga bisa dipercayai, dia pun angkat bicara, "Baik. Kalau Bu Eni yang memberikan saran, saya pasti mempercayainya. Jadi, kalian mau lihat korban selamat dulu atau tempat pembunuhannya?"

--0--

Baru saja mereka masuk ke dalam, bau anyir darah tercium. Ruang tamu porak-poranda—bagaikan rumah itu baru saja kemasukan angin topan. Ada beberapa benda yang hilang. Terlihat dari garis debu yang terbentuk di atas meja. Semakin mereka melangkah masuk, bau itu semakin pekat. Mereka sampai di dapur. Dapur kecil itu dipisahkan dengan counter yang memanjang. Sesaat mereka melihat apa yang ada dibalik counter, terlihat tiga mayat yang terbujur kaku bergelimpangan darah.

Pharma.con ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang