Keempat anggota Pharma.con telah menyusun rencana untuk penyelidikan hari ini dan membaginya menjadi dua grup. Grup pertama, Aris dengan Tifa mencari tahu seluk beluk keluarga Theo dari pintu ke pintu di sekitar blok E. Grup kedua, Cony dan Eni berusaha membuat Theo mengingat tentang kejadian yang telah menimpa keluarganya. Mereka harus mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sebelum adzan sholat ashar berkumandang.
Dimulai dengan grup Aris dan Tifa. Mereka meminta izin terlebih dahulu dengan Pak RT untuk mendatangi rumah tiap warga di blok E. Dengan senang hati disetujui langsung oleh beliau. Satu, dua rumah mengatakan bahwa mereka tidak mengenal keluarga Theo. Tiga, empat rumah hanya mengenal Theo yang bermain bersama anak mereka. Dan lima, enam rumah hanya kenal ibu Theo, Ningrum dari acara arisan mingguan kompleks serta menyatakan bahwa ayah Theo, Musa adalah seorang pegawai negeri yang suka dinas keluar kota. Merasa informasi yang didapat hanya sedikit, mereka berdua memilih untuk menanyakan selengkapnya dengan Amar.
Untung saja, hari ini adalah hari minggu, sehingga Amar bisa ditemui sedang bermalas-malasan di kamarnya. Theo yang tadi malam tidur bersamanya, sekarang pergi keluar bermain di lapangan kompleks. Tifa mengetuk pelan pintu kamar Amar yang sedikit terbuka. Pemuda itu pun mempersilakan kedua sejoli itu masuk.
"Kak Aris, Kak Tifa, ada apa, ya?" Amar duduk bersila di atas tempat tidur, dia terlihat sedang santai bermain dengan laptopnya.
Kamar Amar bersih walau pencahayaan di sana sangat buruk. Dia mengenakan kaos merah dengan celana pendek selutut, sejenak memberbaiki rambutnya yang dipotong rapi, tahi lalat di atas alisnya mempermanis wajahnya.
Amar, pemuda berumur 21 tahun, bersekolah di STT PLN, terkenal sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan disukai anak-anak dikompleksnya karena sering mengajari mereka trik-trik bermain sepak bola. Dia juga mudah bergaul dengan orang yang lebih dewasa dan tidak sungkan membantu mereka bila kesusahan, membuat siapapun bisa mempercayai pemuda ini.
"Kamu kenal baik dengan keluarga Theo, bukan?" Aris mengambil tongkat penyelidikan, memulai introgasinya.
"Lumayan ... tapi kurasa tidak terlalu baik."
"Maksudnya dengan 'tidak terlalu baik'?"
"Ayah dan ibu Theo bukan tipe orang yang suka bersosialisasi. Ibuku saja susah payah untuk mendekatinya. Sampai sekarang mereka seperti menjaga jarak dengan para tetangga."
Aris yang mulai mendapatkan temponya, mulai melayangkan pertanyaan lebih mendalam, "Apa pernah kamu mendengar pertengkaran dari sebelah?"
"Iya. Tapi yang sering bertengkar itu Theo dengan kakaknya, Eugne. Gimana ya—umur Eugne hanya beda satu tahun dari Theo. Ditambah dengan keterbelakangan mental adiknya, dia biasanya malah mem-bully Theo. Makanya aku tidak suka dengan sikapnya dan lebih memilih bermain dengan adiknya."
"Kamu benci dengan Eugne?"
"Benci? Tentu aku benci dengannya! Dia sudah berandalan, tidak tahu berterima kasih dengan orang tuanya, suka keluyuran malam-malam. Eugne sering dimarahi Pak RT karena tingkah lakunya. Dan anehnya, kedua orang tuanya tidak ambil pusing. Mereka biarkan anaknya begitu saja," Amar yang kesal langsung menggeser laptop yang dari tadi dia pangku di pahanya.
Beberapa detik mereka terdiam, Amar kembali berbicara, "Kalau kamu tanya aku siapa yang bisa menjadi pelakunya, aku yakin teman satu gengnya Eugne atau orang-orang yang sakit hati sama keluarganya."
"Bisa jadi .... Terima kasih atas informasinya. Pendapatmu akan aku pikirkan lagi."
"Ya, tolong segera tangkap pelakunya. Membuat orang di sini enggak bisa tidur nyenyak!" Amar yang malah keluar terlebih dahulu dari kamar dan menuju dapur untuk meminum air.
--0--
Eni dan Cony sedang bersama dengan Theo di taman kompleks. Taman itu bernuansa asri dengan ditumbuhi pohon-pohon mangga dan jambu. Membuat anak-anak di sana berlomba-lomba untuk memetik buah yang sudah ranum. Tanah hijau tampak sepanjang mata memandang. Beberapa anak remaja sibuk pemanasan sebelum lahitan sepak bola. Semua orang terlihat bergembira, gelak tawa memenuhi penjuru taman. Menikmati cuaca cerah yang hangat, saat siang menuju sore.
Dengan lingkungan itu, Theo sudah lupa dengan tangisannya semalaman. Dia merindukan ibunya. Sekarang dia sedang asyik bermain dengan pasir dan dedaunan yang jatuh dari dahannya. Eni menemani Theo bermain dan berusaha menanyakan tentang ibu dan ayahnya. Sayangnya, Theo seperti tidak mendengar perkataan Eni dan lebih memilih bermain dengan mainannya.
"Kalau begini terus, kita hanya buang-buang waktu di sini," ujar Cony yang mulai bosan duduk selama 2 jam lebih melihat pemuda berumur 20 tahun bermain-main dengan tanah.
"Sabar, Cony. Badannya saja yang besar, hatinya masih seperti anak berumur lima tahun. Memang perlu tenaga ekstra untuk mendapatkan responnya," kata Eni sambil mengelus lembut kepala Theo.
"Tante Eni cantik hari ini!" teriak Theo bahagia. Eni memeluk gemas Theo yang terkekeh-kekeh.
"Anu ... Tante Eni. Tante Eni pelihara beruang, ya? Aku kok baru liat," Theo menunjuk Cony yang duduk di bangku taman.
Seperti ada sebuah dahan besar yang memukul keras ke dadanya—Cony sakit hati dengan kata-kata jujur Theo, "Ternyata ... aku memang besar kayak beruang." Terdengar suara tangisan dari kata-katanya.
Eni hanya bisa tertawa geli melihat Cony yang mulai sadar dengan penampilannya yang besar bagaikan beruang. Tiba-tiba, terlintas sebuah ide di kepala Eni, "Theo, Sayang, tahu tidak ada tiga ogre yang kemarin datang ke rumah Theo?"
Theo mengangguk dalam, "Hemh, ada tiga ogre di rumah. Mereka besarrr sekaliii." Kedua tangan Theo dilambungkan sangat tinggi.
"Kalau gitu, mau tidak dengar dongeng dari Tante Eni?"
"Mauuu! Theo suka dongeng!" Theo meloncat-loncat kegirangan. Cony yang melihatnya merasa iba. Dia seumuran dengan Tifa, namun tingkah lakunya sangat kekanak-kanakan.
Eni pun dengan sabarnya menceritakan kisah tiga kesatria hebat, The Three Musketeers. Eni mendongeng seperti seorang ibu yang sangat sayang kepada anaknya. Theo duduk manis di hadapannya dan berusaha memahami cerita tersebut. Sedangkan Cony yang mulai terlena dengan angin sepoi-sepoi, terlelap dalam tidurnya.
Eni yang sudah menyelesaikan kisahnya, membuat mimik Theo cerah benderang. Dia tersenyum sangat lebar. "Tante Eni! Kemarin aku menjadi kesatria, loh!"
"Masa? Keren dong!"
"T, Theo jadi kesatria! Lalu, lalu ... ada tiga ogre raksasa di istana. Theo keluarkan pedang bersinar, dan berhasil mengalahkan tiga ogre. Mereka tidak akan pernah kembali ke istana. Semuanya hidup bahagia selamanya ...."
Mendengar kisah Theo, tanpa Eni sadari, air mata mengalir di pelupuk matanya. Theo yang tadi riang, seketika berhenti ketika melihat Eni menangis. Theo menggunjang-gunjangkan tubuh Eni lumayan keras dan menanyakan alasan wanita berambut coklat itu bersedih.
Eni merasa sangat terpukul. Faktanya, ketiga ogre itu telah membunuh keluarga Theo dan hanya Theo sendiri yang tertinggal di rumah—di istananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con ✔
Mystery / Thriller[TAMAT - Revisi 1 Done] Di gedung kantor sebuah perusahaan finansial, sekretaris bernama Vini meninggal akibat sesak napas serta tidak ditemukan adanya tanda-tanda perlawanan. Ada lima orang yang dicurigai dalam kasus tersebut. Tifa, seorang mahasis...