#Play the music for better reading#
🎧🎼🎤
Tommee Profitt - I'm not Afraid.--0--
Dinginnya malam mulai merasuk ke dalam tubuh Tifa. Gadis itu mengendarai motornya dengan kecepatan 20 km/jam. Sinar dari lampu depan motor adalah satu-satunya sumber cahaya baginya. Tifa bersenandung lagu yang akhir-akhir ini dia putar di pemutar musiknya. Tanpa menyadari bahwa beberapa detik lagi dia akan mengalami kejadian yang tidak akan pernah dilupakan seumur hidupnya.
Tepat di belakang, ada motor hitam yang dinaiki dua laki-laki. Cowok yang memakai jaket tebal yang membawa motor dan cowok yang dibonceng memakai kupluk abu-abu. Mereka berdua terlihat tidak mencurigakan sesaat Tifa mengintip dari kaca spionnya. Padahal mereka sudah tersenyum penuh nafsu untuk melaksanakan niat jahat.
Si cowok berjaket menaikan kecepatan motornya, berhasil menyamai laju motor Tifa. Ketika motor mereka bersanding, cowok yang memakai kupluk langsung menyambar tas Tifa yang jaraknya hanya sekitar sepuluh centimeter dari dirinya. Akibatnya, gadis itu terpelanting ke arah kanan jalanan, terseret sepanjang satu meter di semen yang keras dan kasar. Untungnya, tembok pembatas jalan berhasil menghentikan laju motor Tifa yang tetap melaju walau sudah berada di posisi terbaring.
Kejadiannya terjadi sangat cepat. Tifa hanya bisa merintih kesakitan sebab pinggangnya yang mendarat terlebih dahulu di aspal. Kedua tangannya berusaha menahan beban tubuh dan menghasilkan luka memar setelah terseret beberapa meter. Kunci motor Tifa disematkan pada gantungan leher panjang—yang biasanya dia kaitkan di kaca spion. Namun, entah mengapa dia lupa melakukan kebiasaannya dan malah menyebabkan kaki kanannya tersangkut di dashboard motor bersama dengan untaian kain dari gantungan itu.
Beruntung kacamata Tifa tidak terlepas dari hidungnya. Bila hal itu terjadi, dia tidak akan bisa melihat saat malam, apalagi dalam keadan gelap. Menyebabkan Amel—kakaknya—selalu mengolok Tifa dengan sebutan mata ayam, saking tinggi minus mata yang diderita Tifa.
Masih syok, dia berusaha mengerjapkan matanya berkali-kali hingga pandangannya yang samar kembali normal. Bintik-bintik hitam melayang-layang di pengelihatannya, seperti semut-semut yang bergerak di siaran televisi yang kehilangan sinyal.
Tifa berusaha untuk melepaskan kakinya dari lilitan gantungan kunci. Ditarik kunci motor hingga lepas dari tempatnya. Setelah itu berusaha mencerna kembali musibah macam apa yang menimpa dirinya.
Motor kedua cowok itu dihentikan, pas di sebelah Tifa yang terbaring dalam posisi terlentang. Lelaki yang memakai kupluk turun dan mulai berusaha merampas tas ransel Tifa dari punggungnya secara kasar.
"Lepaskan! Atau kamu mau kupukul, hah!" ancam cowok kupluk sambil mengepalkan tangannya, bersiap untuk melayangkannya ke Tifa yang tidak berdaya.
"Cepat! Langsung rampas saja tasnya. Kelamaan, bakalan ada orang yang lewat," ucap pria yang berjaket yang terus berada di atas motornya yang menyala, untuk bersiap kabur bila mereka berdua berhasil melaksanakan aksinya.
Bukannya memikirkan cara untuk melarikan diri dari situasi genting, terpintas di kepala Tifa salah satu acara yang dia suka tonton di salah satu channel kesayangannya. Fight Science—acara edukasi tentang ilmu bela diri. Salah satu episodenya, Human Weapon, memperkenalkan salah satu teknik dalam membela diri dengan menggunakan barang yang ada di sekitar, menjadi senjata yang mematikan.
Di tangan kiri Tifa, ada kunci motor yang digenggamnya. Tanpa berpikir panjang, dengan rasa kesal dan marah karena telah menjatuhkannya seperti sebuah domino juga merusak motor biru kesayangannya dia membiarkan tangan kanannya melepas selepang tasnya, sehingga si pembenggal akan sedikit terdorong ke belakang akibat energi tarikannya. Mendapat kesempatan, dengan secepat kilat, Tifa memindahkan kunci motor tersebut ke tangan kanannya, diselipkan di antara jari tengah dan telunjuknya.
Tifa sudah memprediksi bahwa si pembenggal otomatis akan berusaha melepas selempang tasnya yang sebelah kiri. Maka saat dia berada di sisi kirinya, Tifa menggenggam kunci motor sangat erat dan beberapa detik kemudian, melayangkan tinju tepat di mata pemuda itu. Ujung dari kunci motor—bagian yang bergerigi—melayang tepat terkena pada iris mata sebelah kirinya. Suara teriakan bergema keras di seluruh gang.
"Arghhhh!" Lelaki itu berteriak kesakitan, spontan Tifa mencabut kunci motor.
Cipratan darah menyembur dan mengenai tangan dan wajah Tifa. Pemuda malang itu segera menutup mata kirinya yang sudah menumpahkan air mata kemerahan. Cowok yang memakai jaket yang sedari tadi menunggu di motor, langsung membanting stirnya, melaju meninggalkan temannya yang merintih kesakitan.
Melihat kepergian salah satu pembenggal, Tifa kembali melirik ke tubuh yang meringkuk di sebelahnya, menatap ngeri lelaki itu. Dia berusaha menekan matanya yang sudah mengeluarkan banyak cairan merah segar. Bau anyir darah tercium di antara aroma rumput liar yang basah di pinggir jalan. Tifa memandang kedua tangannya yang di penuhi noda darah. Dia gelisah dan kebingungan, apakah yang dia lakukan sudah benar?
Samar-samar dari kejauhan, dari balik dinding terdengar kegaduhan. Tifa ingat tepat di balik dinding tingga yang menjulang itu terletak sebuah mushola. Semua jamaah yang telah selesai melaksanakan sholat maghrib dikagetkan dengan suara teriakan. Mereka berbondong-bondong menuju asal suara.
"Ada orang di sana?" Terdengar suara teriakan bapak-bapak di balik dinding.
Tifa sontak berdiri dan menjawab, "Iya! Tolong! Tolong saya!"
"Tunggu di sana, Dek! Jangan pergi ke mana-mana. Kami akan segera ke tempat Adek!"
Setelah bapak itu memberikan secercah harapan kepada Tifa. Suara mesin motor dan mobil yang dinyalakan satu persatu berhasil membuat keributan di malam yang awalnya sunyi itu. Begitu banyak suara laki-laki di balik sana, berusaha menenangkan Tifa yang masih terkurung di dalam gang.
Cowok yang akhirnya menjadi korban dari aksi heroik Tifa, mulai menangis kesakitan dan meringkuk di dekat motor Tifa. Tifa kelelahan, bagaikan dirinya baru saja berhasil lolos dari maut. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya keras ke aspal. Entah rasa lega atau kesal, Tifa hanya tertawa ke arah pembenggal yang gagal melaksanakan aksinya.
"Rasakan! Kalau mau, sini, kutusuk matamu yang satunya!" Walau Tifa berkata demikian, air matanya sudah mengalir deras dari pelupuk mata. Dia menangis terisak-isak, melepaskan rasa sakit dan ketakutannya yang sedari tadi dia tahan.
Tidak cukup satu menit, bala bantuan datang. Mereka segera membawa Tifa dengan motor ke luar dari gang dan menggiringnya ke dalam mobil salah satu jemaah yang terparkir di bahu jalan. Sedangkan sang pelaku di bawa di mobil yang terpisah. Tifa yang sudah merasa lebih tenang, memandang jendela di sampingnya. Motornya diungsikan oleh para warga. Body part-nya sudah rusak di sana-sini. Dia hanya bisa menyesal karena terlalu meremehkan bahaya yang bisa terjadi secara tiba-tiba.
Tuhan ... maafkan Tifa, kalau Tifa punya banyak salah hingga detik ini. Dan terima kasih telah melindungi hamba-Mu ini dari musibah tadi.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Tifa tidak henti-hentinya bersyukur atas keselamatan dirinya dari pembegalan, salah satu kejahatan yang terus menghantui kota besar seperti Makassar.
<><><><><>
Kisah ini kuambil dari cerita teman-temanku maupun seniorku yang pernah dibegal (alhamdulillah aku belum pernah, dan semoga tidak pernah 😥). Mirip memang dengan penjambretan, tapi begal lebih sadis. Biasanya pelaku berani sekali untuk memukul korban, sampai-sampai bawa pisau atau celurit dan engga segan-segan membunuh loh! 😱
Semoga kita terus berada dalam perlindungan-Nya, ya, amin ....
[24/2/2019]
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con ✔
Mystery / Thriller[TAMAT - Revisi 1 Done] Di gedung kantor sebuah perusahaan finansial, sekretaris bernama Vini meninggal akibat sesak napas serta tidak ditemukan adanya tanda-tanda perlawanan. Ada lima orang yang dicurigai dalam kasus tersebut. Tifa, seorang mahasis...