Kembali ke masa sekarang, Rumah Sakit Bhayangkara.
Pagi-pagi buta, berita tentang penangkapan pelaku begal Tifa yang sempat kabur telah tersebar ke media. Setelah diselidiki lebih dalam, diketahui bahwa kedua pelaku masih bocah SMA. Alasan melakukan hal keji itu adalah masalah ekonomi. Selain itu, lingkungan juga yang memaksakan mereka untuk mendapatkan uang dengan cara yang instan. Kesimpulannya, mereka juga adalah korban dari tempat mereka tinggal.
Tifa dirawat inap selama satu malam untuk pemulihan. Setelah merasa baikan, dia datang menjenguk pemuda yang sudah dioperasi mata kirinya. Untung saja nyawanya bisa terselamatkan, tapi bayarannya juga besar. Dia harus kehilangan salah satu pengelihatannya.
Ketika Tifa masuk ke dalam kamar, si pelaku yang berbaring di salah satu ranjang pasien bangkit dari posisi tidurnya. Sambil terduduk lesu, dia mulai menangis tersedu-sedu. Tifa yang merasa iba pun mendekat, dan duduk di bangku pembesuk di sebelah kanan ranjang.
"Maafkan saya ... s-saya berjanji tidak akan mengulanginya," ucap pemuda itu masih dalam tangisannya.
Tifa meraih tangan si pemuda. "Iya, aku udah maafkan. Semoga kamu bisa mencari uang dengan cara yang lebih jujur dan halal." Setelah mendengar permintaan maafnya diterima, sang pemuda mulai menangis tersedu-sedu.
Tifa yang sedari tadi menahan perasaan yang menyesak di dadanya, ikut menangis lepas. Dia juga merasa bersalah atas tindakannya yang sembrono. Gadis itu sempat berpikir kalau saja dia lebih berhati-hati atau tidak meremehkan hal-hal yang tidak diduga. Mungkin semua ini tidak akan terjadi.
--0--
Tiga hari berlalu dari kejadiaan naas itu. Kampus mulai memberlakukan jam wajib pulang untuk mahasiswanya, mencegah hal yang sama terulang. Keamanan juga diperketat di sekitar wilayah kampus, terutama lokasi kos-kosan mahasiswa.
Tifa kembali ke rutinitasnya. Tidak ada waktu untuk mengurung diri akibat trauma. Gadis itu memang tipe yang lebih percaya kepada realitas dibanding hal-hal yang tak dapat disentuh, seperti perasaannya. Sesampainya dia di kelas, serangan pertanyaan dari teman-temannya dia jawab dengan bangga. Dalam sehari, Tifa menjadi pahlawan pembela kebenaran. Satu lagi impiannya sejak kecil menjadi kenyataan.
Sesaat istirahat lab tiba—waktu untuk isomah—Tifa yang bosan di dalam lab keluar dan menuju tempat kesukaannya; beranda. Tempat yang sangat tepat untuk mendapatkan pasokan oksigen segar setelah berada dalam lab. Terpapang pula pemandangan sawah dan bukit-bukit yang memanjakan mata. Aroma dedaunan setelah hujan, memberi nuansa menyegarkan di kampusnya.
Ketika Tifa sudah beberapa langkah sampai ke sana, dia melihat sosok Aris menyendiri di balkon lantai empat. Angin lembut membelai rambut kelabu Aris. Tifa yang tidak ingin mengganggu Aris, mengendap-endap, dan mengambil jarak sekitar tiga meter dari pria itu.
Gadis berkacamata itu dengan santai, menyandarkan tangannya diatas trail besi. Rasa sejuk dari besi, salah satu indikator yang baik, meberikan rasa nyaman baginya. Selang satu menit, mereka diam. Lalu tiga menit berikutnya, keduanya masih membisu. Hingga lima menit, Tifa merasa risih dengan nuansa canggung yang membuat lehernya gatal.
"Aku sudah baikan. Yah ... walaupun bengkak dari lukaku belum sampai tahap lembam. Urusanku dengan kepolisian juga sudah selesai," jelas Tifa yang terasa seperti sedang berdialog dengan bayangannya sendiri.
"Oh." Aris hanya membalas singkat.
Jengkel mendengar balasan satu kata untuk pemaparan panjangnya, Tifa langsung mendekat gemas pada Aris. "Aku itu gadis yang kuat, loh! Aku bisa melawan penjahat dengan mudah. Dengan ilmu dari game dan acara bela diri di YouTube, akan menghukummu," ujar Tifa penuh kebanggaan dengan nada ala sailormoon.
"Game apa yang kamu mainkan?"
"Hm? Tekken, Injustice, Soul Calibur, Mortal Combat, Dead or Live, lalu—"
"Mengerikan. Kamu cewek sadis," balas Aris sembari memicingkan matanya.
Belum sempat Tifa mengucapkan sumpah serapahnya, Aris mengganti topic pembicaraan. "Eni sudah menceritakan sesuatu kepadamu, bukan?" Tebakannya tepat sasaran.
Tifa menjadi parno sendiri, bingung harus berkata apa. Aris kembali melanjutkan, "Dulu, aku sempat berpikir orang jahat memang pantas mati. Tapi sekarang, sepanjang perjalanan waktu, jalan pikiran itu mulai kulupakan. Karena itu sama saja dengan main hakim sendiri. Kita bukan hanya sekadar penegak hukum, kita juga adalah penengah antara korban dan pelaku. Belum tentu alasan pelaku melakukan hal itu sepenuhnya buruk. Mungkin saja mereka butuh sesuap nasi untuk keluarganya. Tapi, tentu saja, kita tetap harus memberi pelajaran untuk pelaku atas perbuatannya."
Tifa menghela napas sembari tersenyum, akhirnya Aris yang dia kenal benar-benar sudah kembali. "Ya, kamu ada benarnya juga."
"Hampir lupa. Kalau cuman lihat tanpa praktek, ilmu bela dirimu sama saja dengan pukulan bayi."
"Hah? Aku juga tau, keles! Makanya aku minta Cony untuk mengajarkanku gerakan dasar untuk membela diri. Cony juga rela mengantarkanku sampai ke kos kalau udah mulai maghrib. Rumahnya kan juga dekat-dekat kampus."
"Jangan bilang ... kamu tidak membayarnya sepeserpun?"
"Iya, dong. Teman juga harus dimanfaatkan!"
"Siapa yang ajarin kamu begitu?"
"Loh? Kok malah tanya? Aris, kan?" Tifa tertawa terbahak-bahak karena berhasil membuat Aris sadar dengan salah satu sifatnya yang dia sendiri tidak menyadarinya.
Tiba-tiba dari arah bawah, terdengar siulan panjang. Cony dan Eni ternyata berada tepat di bawah mereka berdua. Sambil melambaikan tangan ke atas, Cony dan Eni memperlihatkan isi kantong kresek yang dipenuh makanan dan beberapa minuman kaleng. Tampaknya mereka baru saja pergi berbelanja di koperasi kampus. Tifa pun ikut melambaikan tangannya ke bawah.
Aris memandang ketiga sahabatnya, yang satu persatu datang ke dalam kehidupannya. Mereka berbeda dengan orang lain. Mereka tidak lari ataupun takut pada dirinya. Bahkan mereka sangat peduli kepada Aris.
Aris kembali memandang lahan hijau yang berkilauan setelah dibasahi oleh hujan. Dia pun berbisik pelan sambil mendongak ke atas langit biru.
"Ibu ... tenang saja. Sekarang Aris tidak sendirian lagi. Aris sudah memiliki satu keluarga, yang bisa membantu dan menemani—malaikat kecilmu."
Kasus Iris [Ditutup]
Play the music. Rasakan perasaan terdalam Aris kepada ibunya.
Zwei - Last Game
(Nyalakan subtitel Inggris untuk melihat liriknya)
<><><><><>
Yesss! Akhirnya ... kasus terakhir telah selesai! //lompat girang sambil salto.
Memang ini bukan kasus sih, lebih ke pengembangan sikap Aris. Gimana menurut kalian dengan Aris? Semoga kalian suka, eh, maksudku tersentuh dengan masa lalu Aris.
Ok, selanjutnya adalah final chapter. Apakah kasus, atau .... Tunggu, ya, Wkwkwkwk. Jangan lupa komeng dan votenya. Terima kasih sudah setia membaca karyaku. Sedikit lagi akan sampai di akhir kisah Pharma.con. Bye-bye 🙌.
[1/3/2019]
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con ✔
Mystery / Thriller[TAMAT - Revisi 1 Done] Di gedung kantor sebuah perusahaan finansial, sekretaris bernama Vini meninggal akibat sesak napas serta tidak ditemukan adanya tanda-tanda perlawanan. Ada lima orang yang dicurigai dalam kasus tersebut. Tifa, seorang mahasis...