Ignis - Part 1

1.1K 220 82
                                    

"Kematian yang didasari dendam tidak akan memberikanmu apa-apa." Robert Ladd. Melakukan pembunuhan di tahun 1996. Disuntik mati pada tahun 2015.

Ignis dalam bahasa Latin adalah api.

--0--

Aroma etil asetat* menyebar cepat di dalam laboratorium bersuhu 20 derajat. Aroma penuh nostalgia. Mirip sekali dengan balon tiup dengan sedotan kuning, khas pas jaman SD dulu. Tifa teringat masa kecilnya dulu. Selalu diadakan kompetisi balon terbesar. Bila ukurannya sudah lumayan besar, dilepaslah sedotannya, lalu ditiup pakai mulut dengan bunyi plok! Kalau sudah bosan, dipecahin di muka atau kepala teman dan bilang 'Ihhh, banyak kutunya'.

Semua lampu menyala, menerangi ruangan tanpa membiarkan bayangan bersembunyi di sudut, walau sekarang masih jam 1 siang. Terdengar samar-samar exhaust fan* yang tidak pernah berhenti dari pagi hari. Serta bunyi vakum pada lemari asam*, menggema di seluruh ruangan bercat putih bersih itu.

Sedari tadi Tifa mengintip ruangan dari balik pintu masuk lab. Sebelum masuk, dia periksa kembali perlengkapan labnya. Baju lab, papan nama, masker, lap halus dan kasar serta kotak alat yang diisi dengan berbagai macam perkakas untuk seorang praktikan.

Oke, kayaknya udah aman untuk masuk.

Pelan-pelan gadis berkacamata dengan lensa setebal kaca botol itu mendorong pintu lab. Takut ada orang yang berlalu lalang dan kaget kalau saja dia langsung nyelonong masuk. Tidak lupa Tifa ucapkan salam agar siapa pun yang berada di dalam bisa tahu akan kehadirannya.

"Permisi ...," ucap Tifa pelan.

"Ya, siapa?" sahut seorang pria yang duduk tepat di depan lemari asam.

"Saya Tifa, kordinator bahan* Lab Kimia Analisis kelas C. Maaf Kak, saya mau mengecek bahan praktikum untuk lusa."

"Tifa?" pria itu langsung menyipitkan matanya ke arah Tifa. Terasa sekali dia sedang fokus dengan sosok gadis itu. Setelah memandang keseluruahan ruangan, Tifa baru sadar bahwa hanya mereka berdua yang ada di dalam Lab Kimia.

"Anu ... boleh kak?" tanya Tifa lagi, tapi respon yang dia dapat justru pria itu mulai mendekatinya.

Pria itu tinggi menjulang dengan kaki yang panjang, prediksi Tifa mungkin lewat 170 cm. Dia bisa berada di depan Tifa dalam waktu singkat. Padahal luas lab lima kali lebih besar daripada kamarnya.

Mata sipit serta bulu mata yang tipis. Berbanding terbalik dengan alisnya yang tebal. Dengan bentuk wajah reverse triangel yang keras dan tegas. Semakin dekat, terlihat dia semakin seram. Rambut disemir pirang—kentara seperti anggota geng motor yang suka racing pas tengah malam. Coba saja kacamata tipe club master-nya di ubah dengan kacamata hitam tipe aviator. Bakalan dinobatkan jadi 'Anak Jalanan' versi nyata.

Manik hitamnya masih terfokus ke Tifa. Dia mulai selidiki dari bawah kaki hingga ke ubun-ubun. Penampilan gadis itu untungnya tidak senorak yang dulu. Sudah seperti mahasiswi pada umumnya.

Memakai kemeja kotak-kotak berwarna merah. Rok hitam di bawah lutut dan kaus kaki putih yang di telapak kakinya berwarna hitam. Sebelumnya, Tifa menaruh sepatunya di rak sepatu dan diganti dengan selop warna biru yang sudah tersedia di dalam lab. Tubuhnya dibungkus dengan baju lab putih berlengan panjang, tak lupa ke-6 kancing disematkan rapi ditiap lubangnya. Terakhir, kacamata tipe Wayfarer berbingkai hitam senada dengan rambut hitamnya yang diikat ekor kuda.

"Ah!" pria itu spontan meninggikan suaranya. Membuat Tifa tersentak di hadapannya. "Kamu Si Kecil dari kasus kematian tunangannya Foe, kan?"

Kecil .... Tifa menangis dalam batinnya.

Pharma.con ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang