Angin berhembus sangat pelan, terkalahkan oleh sinar matahari yang terus menusuk kulit. Batu nisan berjejer rapi, mewarnai lapangan kosong tanpa bangunan. Pohon-pohon kamboja tidak mau kalah, mempertunjukkan keindahannya dengan mahkota bunganya. Tanah begitu subur, rumput hijau terurus dengan baik, membuat jalan setapak menuju liang lahat.
Di tengah-tengah tanah lapang itu, berkumpul segerombolan manusia berpakaian serba hitam. Mereka memandang sendu satu batu nisan, di mana tanahnya masih basah dengan air bunga. Seiring waktu berlalu, satu persatu-satu pergi, meninggalkan jasad yang sudah dikebumikan. Tersisa tiga orang, dua diantaranya masih terus mengelus-elus batu nisan tersebut—yaitu Cony dan ibunya.
Ibu Cony masih menyentuh nama sang almarhum dengan tangannya yang sudah tidak mulus lagi. Air matanya tak hentinya keluar meski dia sudah berusaha untuk menutup mulutnya rapat-rapat. Dengan sabar, Cony mengelus punggung ibunya yang sudah mulai bungkuk dimakan usia. Sedangkan Aris hanya bisa melindungi mereka berdua dengan payung hitam, dia hanya menatap kosong ke ibu dan anaknya itu.
--0--
Berjejer rapi puluhan karangan bunga belasungkawa di pagar dan pintu masuk pemakaman. Nama Bambus terukir besar di atasnya. Sedangkan di tempat parkir, penuh sesak dengan berbagai jenis mobil mewah. Menunjukkan bahwa para pelayat adalah orang yang berkelas.
Para wartawan sibuk meminta komentar para pabrik figur yang datang ikut melayat. Tak satupun terlewatkan. Mereka menunjukkan ekspresi kesedihan di depan kamera dan tidak lupa selalu berkata 'Turut berduka cita'. Dan suara kamera bersahut-sahutan ketika ada yang menitikkan air mata.
Dari kejauhan—Aris, Cony serta ibunya mulai berjalan menuju pintu keluar. Cony hanya menghembuskan napas gusar melihat pemandangan itu. Dia tahu bahwa semua orang yang datang hanya ingin terlihat bersimpati kepada keluarganya.
"Mereka hanya mau kelihatan baik di muka umum," gumam Cony.
Aris yang tepat berada di sebelahnya, mendengar dengan jelas, "Maksdumu?"
Cony menatap Aris dengan tatapan nanar, namun ada setitik kesedihan di dalamnya, "Mereka tidak mengenang ayahku. Hanya orang kepo yang ingin terlihat bersimpati."
Mendadak, semua wartawan sudah berlari kesetanan melihat mereka bertiga. Cony dan ibunya spontan menolak untuk berbicara saat kerumunan itu mendekat. Beruntung, Cony memiliki badan yang besar sehingga dia bisa melindungi ibunya. Aris pun tidak mau kalah dan berusaha membelah kepungan wartawan.
Setelah berhasil keluar dari lautan wartawan, Cony dan Aris bisa bernapas lega setelah berdesak-desakan. Mereka beristirahat sejenak di bawah pohon, tepat di sebelah mobil Cony yang terparkir.
Dari balik pohon, ada seorang wanita cantik yang tersenyum melihat kedua pemuda itu. Spontan dia memeluk erat Cony dari belakang. Ternyata wanita yang bersembunyi itu adalah pacar Cony, Tina.
"Baby, kamu tidak apa-apa kan?" ucap Tina sambil memeluk mesra punggung Cony.
"Tina! Sejak kapan kamu di sini? Hei, malu tuh diliat Ibu," kata Cony yang berusaha melepaskan pelukan Tina.
"Ah ... maaf, Tante. Tina enggak sopan," ujar Tina sembari berlari kecil ke arah ibu Cony dan menyalami tangannya.
"Tina sehat? Pekerjaannya lancar?" tanya ibu Cony masih dengan wajah sendu.
"Sejauh ini baik, Tante. Tina turut berduka cita atas kepergian Pak Bambus."
Sementara Tina dan ibu Cony sedikit berbincang-bincang. Dari arah jam 9, datang seorang wanita anggun yang mengenakan kacamata hitam dengan branded Channel. Siapa yang tidak kenal dia, artis yang sudah mendapatkan puluhan penghargaan dengan bakat aktingnya, Zizy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pharma.con ✔
غموض / إثارة[TAMAT - Revisi 1 Done] Di gedung kantor sebuah perusahaan finansial, sekretaris bernama Vini meninggal akibat sesak napas serta tidak ditemukan adanya tanda-tanda perlawanan. Ada lima orang yang dicurigai dalam kasus tersebut. Tifa, seorang mahasis...