Ignis - Part 6

782 176 18
                                    

Sudah dua hari setelah kematian almarhum Bambus. Namun layar kaca masih setia membahas misteri dibalik kejadian naas tersebut. Pihak berwajib belum mengumumkan hasil investigasinya. Dugaan sementara adalah korban terjebak dalam kebakaran hebat di kediamannya. Di dunia maya pun para netizen mulai berlomba-lomba menunjukkan spekulasi atas kejadian itu, tetapi tidak ada yang bisa menjelaskannya secara masuk akal.

Sang pembawa berita terus melaporkan perkembangan kasus, sedangkan Aris sibuk sarapan dengan mie instan kuah kari yang ditemani dengan buras*, pemberian tetangganya yang baik hati, membuatnya lebih fokus untuk mengunyah dibandingkan menonton televisi. Handphone Aris berdering, pertanda bahwa ada pesan masuk. Tertulis di layar, pesan singkat dari Cony.

Cony: Yo, Aris. Sibuk nanti sore? Boleh minta tolong? Temani aku ke stasiun tv, ada beberapa barang ayahku yang ingin kuambil di sana. Thanks.

Sesaat membaca pesan itu, Aris sudah merasa itu bukanlah sebuah permintaan tolong. Belum selesai dia tulis balasannya, Cony sudah offline. Kalaupun Aris mencoba mengirim pesan, dia yakin hanya tanda centang satu yang tertera hingga esok hari. Pemuda itu pun langsung menghembuskan napas dengan malas. Setelah selesai menyantap sarapan paginya, Aris segera mematikan televisi dan bersiap untuk pergi ke kampus.

--0--

Kedua pemuda itu sudah sampai di stasiun TV lokal, Makassar Vision. Tempat inilah yang telah menaikkan pamor Bambus hingga terkenal sampai saat ini. Gedung pencakar langit ini memperkerjakan ribuan staf dan kru. Setiap kali Cony lewat, semua orang memandangnya dengan tatapan penuh selidik. Mereka seperti ingin berbicara kepadanya tapi terhentikan oleh sebuah dinding kasat mata di sekeliling pria tinggi dengan wajah keras tersebut.

Aris yang terus mengikuti langkahnya, berhasil menguping bisikan beberapa orang.

"Kasian, dia kehilangan lagi ayahnya."

"Benar. Tapi aku sih tidak terlalu bersimpati kepada Pak Bambus. Itu karmanya."

"Iya, ya. Beliau suka sekali membuat keributan di sini. Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang suka dengan dia."

"Hush! Jangan bilang gitu. Orang yang sudah mati jangan digosipin lagi."

Aris langsung mempercepat langkah kakinya hingga dapat menyamai kecepatan Cony. Dia bisa melihat mata pria di sebelahnya berkaca-kaca—walaupun tidak ada air mata yang jatuh ke wajah tirusnya.

Sesampainya mereka di ruangan pribadi Bambus, Cony segera mengambil beberapa kardus dan koper. Dia masukkan satu persatu barang almarhum tanpa mengatakan satu kata pun. Aris yang memahami keadaan, juga ikut membantu.

Tiba-tiba pintu terbuka, masuklah seorang pria berisi dengan pipi yang chuby. Dia memakai topi hitam bertuliskan 'Belu-Belai' dan terpasang headphone besar di lehernya.

"Bro! Akhirnya kamu datang juga," pria itu spontan pergi ke arah Cony dan langsung memeluk hangat tubuhnya.

"Iya, Kak Lucas. Aku sudah tidak apa-apa. Terima kasih atas support-nya selama ini," ucap Cony sambil melepas pelukan Lucas dan menyalami tangan Lucas seperti sahabat dekat.

Lucas yang sadar ada seseorang yang tak dikenalnya, segera menyodorkan tangannya ke Aris, "Namaku Lucas, produser acara Belu-Belai."

"Aris, teman satu angkatan Cony," ujar Aris sambil menerima jabatan tangan dari Lucas.

"Mungkin sudah banyak orang mengucapkannya, tapi aku turut belangsungkawa atas kepergian Pak Bambus. Semoga beliau bisa tenang di alam sana," kata Lucas dengan senyum sedih tergambar di wajahnya.

"Almarhum seorang pekerja keras. Dia ingin seluruh acaranya berjalan lancar dan sempurna demi para penonton. Berbeda dengan diriku yang masih belajar menjadi produser. Aku masih belum bisa diandalkan dibandingkan beliau."

Pharma.con ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang