Aroma seduhan kopi yang menguar dari pantry sebuah cafe menyerbak keluar. Menusuk indra penciuman para pelanggan yang baru saja memasuki cafe tersebut.
Gemerincing hiasan yang berada di depan pintu cafe berdenting setiap detiknya. Membuat Hyunjin semakin mengembangkan senyumnya. Hyunjin berlari kecil mendekati meja pelanggan barunya. Menyodorkan sebuah buku menu di depannya, sembari tersenyum sopan. Terkadang, Hyunjin juga mendengarkan pujian yang terlontar dari para pelanggan gadis.
"Annyeonghaseyo," Hyunjin menyodorkan buku menu itu, tangannya lihai mencatat setiap pesanan para pelanggan. Dan kata manis yang sempat terlontar dari seorang gadis menengah atas, dengan baju yang tidak terkancing pada dua bagian paling atas, juga lipstik merah merekah yang di bubuhkan pada bibir tipisnya. Make up tebalnya dan rambut yang dibiarkan tergerai itu tersenyum jahil. Lantas, memberikan kedipan nakal pada Hyunjin.
"Ingin tidur denganku, tampan?" Hyunjin hanya tersenyum hangat, dalam hati ia bergidik ngeri. Bagaimana bisa, penampilan gadis menengah atas itu seperti jalang yang sering ia temui di club malam langganannya dulu?
Setelah mencatat pesanan pelanggan tersebut, Hyunjin menundukkan dirinya, lantas berlalu dari sana. Menyerahkan kembali menu pada Jungkook. Rekannya yang juga menjadi barista disana."Hyung, apakah ada yang bisa aku bantu?" Hyunjin mendekati Taehyung. Ia menelisik pemilik cafe itu dengan seksama, parasnya memang tampan tak tertolong, Hyunjin selalu mengagumi kerja keras Taehyung.
"Bisa kau antarkan pesanan meja dua puluh, Hyunjin-ie?" Hyunjin mengangguk. Dengan senang hati ia akan mengantarkan pesanan tersebut. Sebuah nampan yang berisi vanilla late juga dua buah cup cake diatasnya membuat Hyunjin menuruti ucapan atasannya. Ia menuju pada meja nomor dua puluh.
"Pesanan anda, vanilla late dan dua buah cup cake." Hyunjin meletakkannya disana. Menatanya dengan apik. "Silakan dinikmati," Hyunjin membungkukkan badannya kecil. Iris kelamnya bertatapan dengan wajah lembut milik hobae-nya itu.
Ia mengenal pria di depannya. Kim Seungmin. Salah satu teman Felix. Seorang pria yang selalu mengiriminya cokelat dan surat untuk Hyunjin.
"H-hyung?" Hyunjin tersentak. Suara lembut dan gemetar milik Seungmin berhasil membuat Hyunjin untuk menghela napas. Ia mendudukkan tubuhnya di depan kursi kosong meja dua puluh.
"Ada apa Seungmin-ssi?" Seungmin bahkan nampak lebih kecewa saat Hyunjin memanggilnya dengan sangat formal.
"A-aku, merindukanmu." Hyunjin tersenyum tipis.
"Aku tidak bisa, maaf." Seungmin paham. Ini pasti karena Hyunjin telah menikah dengan Felix.
"Kau, sungguh tidak ingin berhubungan lagi denganku, hyung? Aku benar-benar mengagumimu. Tapi mengapa kau tidak pernah melihatku sama sekali?" Seungmin mengeratkan genggaman tangannya. Menahan diri agar tidak meluapkan rasa kesalnya pada Hyunjin.
"Karena kau tahu jika aku normal, Seungmin." kali ini Seungmin terkekeh.
"Kau normal? Tetapi menikah dengan Felix?" nadanya bahkan terdengar sangat sinis, membuat Hyunjin kembali tersentak. Ah, pasti Felix yang memberi tahunya. "Hyung, aku merindukanmu, sungguh!" Seungmin berdiri mendekati Hyunjin. Tangannya merambat mengusap pipi Hyunjin dengan lembut.
"Apa yang kau lakukan, Seungmin?" Hyunjin mengernyit tak mengerti, tetapi ia juga tak mengelak saat tangan halus Seungmin merambat menekan belakang telinga Hyunjin. Menimbulkan rasa menggelitik disana. "Hentikan!" Hyunjin yang tersadar menghempaskan kasar tangan Seungmin. Ia bangkit dari sana, lantas menatap tajam kearah Seungmin yang membalas tatapannya dengan sendu.
"Sudah kukatakan! Jangan dekati aku lagi, aku sudah mempunyai istri jika kau ingat!" setelah mengatakan itu Hyunjin berlalu dari hadapan Seungmin. Meninggalkan pemuda cantik itu yang mulai mengeluarkan air matanya.
Seungmin merutuki kebodohannya sendiri. Andai, saat itu ia tidak di dahului oleh Felix, pasti Seungmin akan mendapatkan Hyunjin terlebih dahulu. Bukan seperti ini.
Mengapa ia harus mencintai Hyunjin secara sepihak?
Seungmin memukul-mukul dadanya kencang, menggigit bibir bawahnya agar tidak mengeluarkan isakannya.
<Converse>
Satu box pizza juga dua botol cola big size bergelayut pada dua tangannya. Hyunjin mengembangkan senyumnya. Oleh-oleh untuk Felix. Ia pasti sangat menginginkan makanan seperti itu setelah menikah dengannya. Hyunjin tahu, jika Felix belum terbiasa hidup susah, mengingat jika Felix adalah anak dari keluarga kaya.
Tangan kanan Hyunjin cekatan memasukkan beberapa digit nomor password apartement-nya. Lantas mendorong pintunya.
"Felix?" Hyunjin memanggil nama istrinya. Apartement-nya bahkan terlihat sangat gelap. Hyunjin menjatuhkan begitu saja plastik makanan yang baru saja ia bawa.
Merasa ada yang tidak beres, Hyunjin berlari mengecek setiap sudut ruangan apartement-nya.
"Felix!" Hyunjin menerobos masuk ke dalam kamarnya, ia mendapati Felix yang sedang meringkuk di pojok kamarnya. Menggigiti kukunya, menangis tersedu sembari bergumam.
"Felix, hei! Ini aku, Hyunjin!" tangan besarnya membawa tubuh mungil Hyunjin ke ranjang. Membaringkannya disana.
"Aku jahat.. Aku jahat.. Aku jahat.. Aku jahat.. Aku jahat.. Aku jahat.. Aku jahat.. Aku jahat.." Felix mengulangi kalimat itu. Mengabaikan Hyunjin yang menatapnya dengan khawatir.
"Boy, ada apa, hum?" Hyunjin mengusap pelan punggung sempit Felix. Kali ini suara rendah Hyunjin berhasil membuat Felix menghentikan kalimatnya.
"S-sunbae.. Aku jahat?" Hyunjin mengernyit.
"Siapa yang mengatakannya?"
"S-sunbae, mengapa kau menikah denganku?" Hyunjin menghembuskan napasnya.
"Kau butuh istirahat, boy. Kau sudah makan?" Hyunjin yakin, jika istrinya itu belum makan sama sekali. Kaos yang dikenakan masih sama saat ia pergi ke kampus. Bedanya, kaos kali ini lebih basah karena air matanya. Felix bahkan terlihat pucat dengan air mata yang mengering di sudut pelupuknya.
"S-sunbae.." suara Felix semakin bergetar. "K-kau, mencintai orang lain.." Felix meracau, ia teringat ucapan Seungmin. Saat sahabatnya itu menyatakan perasaannya tentang Hyunjin di hadapannya. "M-mengapa kau menikah denganku? A-aku jahat!" suara Felix semakin pecah, ia menangis lagi.
"Tidak, kau tidak jahat. Aku akan berusaha untuk mencintaimu. Bukankah saat kita telah menikah, itu artinya orang tuamu telah menitipkan dirimu kepadaku?" Felix tak bergeming. Ia mengabaikan ucapan Hyunjin. "Kau harus makan, boy. Jangan pedulikan mereka yang mengatakan tentangmu seperti itu." Felix menggeleng.
"Aku jahat.. Aku jahat.. Aku jahat.." Felix masih mengulangi kalimat itu. Hyunjin menghela napas berat. Tangan besarnya memeluk tubuh mungil Felix, kaku. Hanya saja Hyunjin ingin menyalurkan kehangatan seperti yang dilakukan oleh pasangan lainnya. Namun, Hyunjin harus membiasakan diri untuk memeluk prianya.
"J-jangan lakukan ini, s-sunbae." Felix sadar, ia melepaskan pelukan Hyunjin.
"Ada apa? Kau istriku, boy." Felix menundukkan wajahnya dalam. Ingatan wajah tentang Seungmin kembali memenuhi isi kepalanya.
"S-Seungmin akan membenciku nanti." Felix kembali terisak, ia tidak ingin kehilangan Seungmin sebagai sahabatnya. Ia tahu, jika dirinya telah merebut kekasih hatinya. Andai Hyunjin tidak akan menikah dengannya, Seungmin pasti akan tersenyum setiap hari.
Hyunjin tersenyum kecil. Tangannya mengusap sayang pucuk kepala Felix. "Kau tidak ingin kehilangan Seungmin, lalu kau rela jika kehilanganku?" Felix kali ini menatap dalam Hyunjin. Ia juga ragu, apakah Felix sudah memiliki rasa kepadanya. "Kau baik jika kau mengesampingkan rasa cintamu demi sahabatmu, tapi bukan seperti ini posisinya, boy. Kita telah menikah, terikat di depan semua orang beberapa hari yang lalu. Aku telah mengucap janji suci di depan para hadirin. Aku tidak mau mengingkarinya. Karena aku akan berusaha mencintaimu dan menjagamu, sungguh."
Hati Felix menghangat, ia tersenyum samar. Hyunjin yang di hadapannya tidak seperti yang di bayangkan saat di club basket.
Kalo nyari Hyunjin yg brengsek, bukan di lapak ini wkwk. :)
-RION-
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Converse {HyunLix}
FanfictionJurnalis blusukan. Fotografer amatiran. Dan sepasang sepatu lusuh yang membawa mereka dalam satu ikatan. Started: 18/01/2019 End: 08/07/2019