Felix membuka pintu kamarnya dengan kasar, ia melempar ranselnya asal. Lantas membantingkan tubuhnya diatas kasur empuk miliknya. Rasanya hari itu adalah hari kesialan milik Felix.
Pertama, saat sepatu converse keramatnya hilang sebelah. Felix memang menyebutnya dengan sepatu keramat, bagaimana tidak?
Semenjak sepatu converse yang ia beli dari toko selama hampir satu tahun, Felix tidak pernah sekalipun mencuci sepatunya. Ia justru menempelkan peniti, atau mencoret-coretnya dengan spidol permanent.Yang kedua, ketika Felix gagal untuk mengulik informasi lebih dalam tentang tembok gravity yang akan digunakan sebagai judul tugas mata kuliah reporting yang telah diberikan oleh profesor Han.
Lalu, yang ketiga. Saat ia baru saja melangkahkan kakinya memasuki rumah. Ibunya mengatakan jika ia harus menikah dengan seorang pria yang sudah di siapkan oleh ibunya. Kala itu Felix bertanya, suaranya bahkan meninggi, ketika mengatakan apa alasan ibunya menikahkan Felix dengan pria pilihannya. Ibunya hanya menggeleng dan mengatakan, "agar kau lebih mandiri, Felix."
Detik itu juga, Felix mengepalkan tangan mungilnya, menatap tajam kearah ibunya dan membanting pintu kamar dengan sangat keras. Ia membenamkan wajahnya pada salah satu bantal yang berada di kamarnya, meredam tangisannya dengan keras, meratapi nasibnya yang disuguhi dengan pembukaan pernikahan di semester tiga.
Dan yang lebih parahnya, kedua orang tua Felix bahkan tidak terlihat sedang sibuk menyiapkan persiapan pesta pernikahan untuknya, ketika ibu Felix mengatakan jika dua hari lagi ia akan melaksanakan pernikahannya dengan pria pilihan orang tuanya.
Felix juga tidak tahu, siapa yang menjadi calon suaminya. Memikirkannya saja cukup membuat Felix untuk bergidik geli.
Bagaimana jika calon yang disiapkan oleh ibunya adalah pria yang berusia tiga puluh tahun?
Atau pria mapan yang lebih tua dari itu?
Sungguh, Felix tidak sanggup untuk membayangkannya.
Ketika Felix sedang sibuk dengan dunianya —meratapi kesialannya yang beruntun— ketukan pintu terdengar dari luar kamar Felix, membuat dirinya enggan untuk mengubah posisi nyamannya. Hingga seseorang yang mengetuk pintu kamar Felix masuk dengan sendirinya. Mendekati ranjang putra semata wayangnya. Tangannya halus membelai surai blonde milik Felix.
"Felix," suara lembut milik ibunya menginterupsi. Felix tetap tidak bergeming. Ia masih di posisi awalnya, tengkurap. Hingga usapan lembut menggelitik pinggang Felix. Ia tertawa kencang, mengusir tangan ibunya agar tidak menggelitik pinggangnya.
Felix mau tidak mau harus mendongak. Menatap lekat manik ibunya. "Kau tahu Hwang Hyunjin?" ibunya bertanya, masih mengusap sayang surai Felix.
Felix tampak berpikir.
Hwang Hyunjin?
Siapa?
Yang Felix tahu, Hwang Hyunjin sunbae-nya. Pria misterius dengan fans dari berbagai kalangan itu memang sangat terkenal. Terlebih saat ia menjadi kapten basket di clubnya. Ia mampu membuat para wanita menjerit dengan lantang.Tapi tidak mungkin kan jika Felix menikah dengan pria itu?
Felix menggeleng. Ibunya tersenyum. "Hwang Hyunjin, anak semester lima, jurusan komunikasi, anak kapten basket." ibunya mencoba menjelaskan secara rinci. Otak Felix mendadak tidak merespon.
Benarkan, itu Hwang Hyunjin yang ada di kampusnya?
"Ibu?! Sungguh?! Mengapa kau ——," Felix menjeda kalimatnya. "Menikahkanku dengan Hyunjin?! Ia hanya pria mesum yang diberkati oleh Tuhan dengan sedikit ketampanan miliknya, ibu! Untuk apa aku harus menikah dengannya?!" suara Felix kembali melengking, berteriak tak terima kepada ibunya.
Memang seperti itu adanya. Felix benci ketika Hyunjin mengamatinya saat ia berganti pakaian di ruang latihan. Tatapannya bahkan seakan menelanjangi tubuhnya.
Felix benci ketika Hyunjin diam-diam memperhatikan tingkahnya dengan teman-temannya.
Felix membenci semua yang ada pada diri Hwang Hyunjin.
"Jangan dengan Hyunjin ibu!" rasanya Felix ingin menangis saja. Ibunya bahkan hanya tersenyum lembut. Mengecup keningnya dengan lembut, lalu meninggalkan Felix sendirian.
Felix masih manja, ia bahkan masih menggantungkan hidupnya dengan ibunya. Jika ia sudah menikah nanti, hidupnya akan bergantung kepada siapa?
<Converse>
Felix melepas tuxedonya, matanya sembab. Ia kembali membaringkan tubuhnya pada kasur yang tidak terlalu luas. Orang tuanya baru saja mengantarkan barang-barang pokok dari apartemen Felix, seperti: Sofa, kompor dan televisi. Selebihnya, tidak ada.
"Jangan menangis, Felix." Hyunjin mencoba menenangkan Felix. Namun, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa saat menghadapi Felix yang sedang menangis. Ia hanya mampu mengucapkan kata itu, tanpa afeksi yang ia berikan kepada Felix. Hyunjin hanya menggaruk tengkuknya, kaku.
Felix tak peduli, ia masih tersedu, juga kesal terhadap ibunya yang mengatur takdirnya. Belum lagi, ketika ibunya mengancam tidak akan menerima Felix kembali ke rumah tanpa alasan yang hanya akan menjadi bualan semata. Felix membencinya, sumpah demi apapun.
Selama dua semester, Felix selalu berhadapan dengan kapten basketnya yang menyuruh Felix untuk selalu membersihkan lapangan seusai latihan, padahal itu bukan jadwal piketnya.
Atau sekedar menyuruh Felix untuk mengumpulkan bola-bola bekas latihan yang usai digunakan oleh tim basket mereka. Felix selalu tidak mempedulikan jika Hyunjin harus mati-matian menyiksanya saat berada di tim basket.
Lalu, dunia Felix seakan berbelok jauh dari ekspektasinya, ia justru selalu berhadapan dengan ketua club basket yang sok kecakepan, walaupun Felix selalu menekankan, jika Felix berkali-kali lipat lebih tampan dari pada pria yang sekarang menjadi suaminya. Felix masih belum menerima kenyataan takdir hidupnya.
Hyunjin meninggalkan Felix sendirian di dalam kamar. Ia sibuk mengeluarkan tigas puluh potong baju dari dua koper. Itu peraturan saat menikah dengan Hyunjin. Berniat untuk menata pakaiannya dan Felix ke dalam almari yang sudah tersedia.
Tapi, gerakan Hyunjin justru mengusik ketenangan Felix. Ia mendongak, menatap punggung lebar Hyunjin yang kesulitan membuka koper miliknya, karena menggunakan password. "Biar aku yang menatanya, sunbae." Felix mengusap buliran air mata yang mengalir dari kelopaknya. Beranjak dari tempat tidurnya dan mendekati Hyunjin. "Sunbae, apakah aku tidak boleh membawa pakaian lebih dari ini?" Felix bertanya dengan nada bergetar.
Hyunjin menggeleng. "Aku akan membelikanmu pakaian dan semua kebutuhanmu dengan hasil jerih payahku sendiri, tanpa membebankan orang lain, Felix."
Felix mencebikkan bibirnya. Ia membutuhkan banyak pakaian. Felix membutuhkan baju untuk bermain saat di club basket dan untuk latihan bandnya. Bagaimana bisa Felix hanya berganti pakaian satu kali dalam sehari?
Tangannya sibuk menata baju pada almari yang telah mereka bagi. Hyunjin almari bagian atas, dan Felix bagian bawah. Felix berdecak kala Hyunjin menata dengan sangat berantakan. Ia malas jika harus membantu Hyunjin untuk merapikannya. Tapi jika tidak dirapikan, baju Hyunjin akan semakin berantakan.
Felix mendorong pelan bahu Hyunjin, "biar aku yang menatanya, sunbae. Kau boleh pergi." Felix mengambil alih pakain Hyunjin, menatanya seperti milik Felix yang terlihat lebih rapi.
Hyunjin tersenyum samar, "terima kasih." Felix masih tak merespon. Ia sangat membenci kehidupannya sendiri. Hingga rasanya ia ingin lenyap dari dunianya.
"Felix, aku telah menyiapkan baju piyama untukmu, jika kau lelah, kau bisa mengganti pakaian kemejamu dengan piyama yang sudah aku siapkan diatas kasur." Felix mengerjap, mendengarkan ucapan Hyunjin.
"S-sunbae, juga tidur bersamaku?" Hyunjin masih tersenyum samar, pria itu memang irit ekspresi. Mungkin, takut jika orang-orang akan pingsan saat melihat senyuman lebarnya.
"Tidak, Felix. Aku akan tidur di sofa." untuk yang satu ini, Felix bisa bernapas dengan lega ketika mengetahui sunbae-nya lebih memilih tidur di sofa daripada satu kasur dengannya.
Itu artinya, tidak akan terjadi apa-apa dengan Felix kan?
-RION-

KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Converse {HyunLix}
FanfictieJurnalis blusukan. Fotografer amatiran. Dan sepasang sepatu lusuh yang membawa mereka dalam satu ikatan. Started: 18/01/2019 End: 08/07/2019