Profesional

67 7 0
                                    

Baiklah setelah puas menangis sejadi-jadinya, akhirnya aku kembali ke tempat dimana seharusnya aku mempersiapkan diri untuk kembali ke Jakarta.

Lupakan yang tadi, anggap tidak pernah terjadi. Aku memadang wajahku di cermin, memoles make-up yang kubuat sedikit lebih tebal agar tidak terlihat bengkak karena menangis. Aku tersenyum lega ketika melihat wajahku tercover sempurna.

Argo parahyangan, Bandung to Jakarta
19.30

Back to reality, just say that it just a bad dream.

Penumpang sangat sepi bahkan bisa dihitung dengan jari, ini pertama kalinya kereta dengan 8 gerbong eksekutif tidak seperti biasanya, aku mengecek manifest dan hanya ada 30 penumpang sampai di Jakarta.

Artinya lebih banyak waktu untuk menganggur. Padahal aku lebih berharap ketika tidak ada sedetikpun waktu untuk menganggur. Dengan begitu aku tidak akan teringat hal-hal yan tidak penting.

Aku bersemangat menata trolley untuk serving makanan kepada penumpang, sudah ku bilang aku ini pandai sekali menyembunyikan perasaan, meskipun hatiku hancur berkeping-keping tadi siang, buktinya malam ini aku memantapkan hati ku untuk bekerja dengan semangat.

Bekerja di dunia pelayanan, bertatap muka setiap harinya dengan banyak orang, jadi mau tidak mau aku harus profesional memisahkan masalah pribadi dengan urusan pekerjaan. Terlebih ini menyangkut salah satu nama perusahaan terbesar di Indonesia.

"Rini, ini saatnya serving makanan, minuman, dan snack kalau sudah selesai dandannya ayo sekarang juga kita berangkat."
Aku mengajak Rini untuk serving ke gerbong penumpang, dia baru menjalani dinas pertama kali dan seperti yang aku lihat kali ini dia sangat lelet, terlebih ketika telah berada di kereta harusnya sudah 100% siap untuk semua hal termasuk berdandan.

Tentu saja aku tidak seperti senior-senior yang lain, jahat, kejam, dan dingin. Aku bahkan memberinya waktu dan membiarkannya membenahi makeupnya. Jika senior lain yang berada di posisiku saat ini pasti mereka emosi dan langsung menggebrak meja yang ditempati Rini.

Di kalangan kami aku termasuk senior yang sabar karena memang dulu aku di didik oleh senior yang sabar dan baik juga, seperi kak Yane.

Aku belajar banyak dari kak Yane bahwa kita tidak harus bersikap senioritas dan sok berkuasa demi mengajari junior kami menjadi train attendant yang baik dan disiplin. Tentu ada cara yang lebih terkesan tidak norak dan bahkan terlihat berwibawa, kata kak Yane.

"Kak, ini kita dorong trolleynya gimana, dan ini cara pembagian makanannya gimana?" Aku menghela nafas panjang ketika pertanyaan Rini sangat menunjukkan bahwa dia ini sedikit kurang pintar menurutku.

"Jadi posisi kita berhadapan, kamu yang narik trollenya, dan aku yang dorong. Lalu kita serving makanan dan minuman ini ke penumpang dari Gerbong 1-8, dan ingat ini tidak gratis, karena semua ini dijual. Nanti aku ajarkan bagaimana caranya. Kamu cukup mendengarkan dan menghafal secara perlahan." Aku menjelaskan semua dengan detail kepada Rini, akhirnya dia mengangguk entah faham atau tidak.

"Gerbong 1-8? Kok banyak banget kak? Terus crew yang lain gimana? Kok nggak gantian? Kan capek kalau harus narik trolley 8 gerbong."

Dalam hati aku mengumpat kasar dengan pertanyaan Junior yang kelewat batas. Bukannya dia sebelumnya sudah training selama 2 minggu? Kenapa perusahaan memilih pegawai yang sama sekali jauh dari kata layak seperti ini.

Aku memasang topeng wajah tersenyum kembali bak malaikat yang sabar tanpa amarah dengan santai aku menjawab "lalu apa kamu mau bertukar dengan Pak Romy, menggantikannya menjadi Pimpinan Crew hari ini?"

"Atau kamu mau menggantikan tugas Fariz untuk membagikan selimut-selimut berat itu sebanyak 8 gerbong sendirian. Tadi kan sudah briefing dan juga pembagian tugas oleh pak Romy selaku captain crew."

"Oh begitu ya." Sepertinya dia type wanita manja yang belum pernah bekerja keras sebelumnya. Dengan malas dia meng-iyakan perkataanku.

"Yang harus kamu tau, Yang kamu kenal, dan yang orang lain kenal sebagai PRAMUGARI disini tugasnya bukan seperti yang kamu dan orang lain pikirkan, gaji banyak dan duduk santai sambil minum kopi di atas kereta." Rini melotot kaget dengan perkataanku yang terdengar tegas barusan.

Aku bukan seseorang yang senioritas, tapi aku dengan caraku sendiri bisa lunak, baik, dan juga tegas disituasi yang berbeda.

Rini melirikku dengan takut, mungkin dia pikir dari awal bisa meremehkan aku sebagai senior yang dia anggap baik bahkan mungkin akan mengabaikan semua yang aku katakan terlebih dari awal aku bersikap baik dengan semua orang.

Memang dia sebagai Junior kurang sopan, mengingat dulu waktu aku masih baru saat aku menemui crew dinas pertamaku di kereta, aku mengucapkan salam dan perkenalan bahkan mohon bimbingan, namun Rini yang dengan angkuhnya tidak melakukan itu sama sekali kepada kami selaku crew senior yang akan membimbingnya.

Aku, Fariz, dan pak Romy bukan tipe Senior yang langsung marah-marah dan bersikap jahat. Setiap orang mempunyai sikap dan watak yang berbeda jadi kami tidak langsung menyimpulkan di awal.

Trust me, it's WORK.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang