☁8 - First Meet

22 3 0
                                    

- "Who would have thought that a brief meeting with someone would bring you something new" -

Hari senin telah tiba di mana ritual pagi yang sudah menjadi rutinitas bagi para siswa dan siswi seluruh Indonesia akan segera dilaksanakan melalui suatu kegiatan yakni upacara bendera. Di samping itu, sudah ke sekian kalinya aku menutup telinga saat duduk di kursi dan mencoba untuk tidak mengindahkan kicauan absolut yang melebihi suara burung kuak.

"Kenapa lo nggak minta formulir PMR buat gue, hah? Kenapa? Sekejam itu lo sama sahabat sendiri, Sal!"

"Formulirnya terbatas."

"Setidaknya lo berjuang dapatin formulir itu buat gue."

"Yang suruh lo sakit siapa?"

"Nggak ada hubungannya!"

Lamat-lamat aku melihat Dzaki yang terus-terusan mengomel karena tidak meminta formulir PMR. Sebenarnya itu salah dirinya sendiri karena tidak masuk sekolah. Kenapa harus aku yang menjadi sasaran propagandanya? Sangat tidak etis.

"Ya sudah sih, terima apa yang ada dan nikmatin aja." ujarku tanpa menatap Dzaki.

"Gue maunya ikut PMR."

"PMR atau karena ada kakak gue?" selidikku memicingkan mata.

"Karena ada kakak lo sih." engir Dzaki lebar sambil terus terkekeh pelan.

"Setidaknya lo juga hargain gue karena sudah ambilin formulir rohis buat lo." tambahku dengan nada tegas.

"Iya, iya."

Dzaki mengekspos wajah masygul yang dibuat-buat. Kadang aku ngeri sendiri membayangkan keanehan pada dirinya.

"Semuanya ayo turun ke lapangan." Ajak Zerina selaku ketua kelas.

Setelah berdebat cukup singkat, akhirnya kami segera pergi ke lapangan utama untuk memulai upacara. Jika diteliti ternyata jumlah kami kurang ketika dihitung saat berbaris.

"Lah, ini kenapa kurang orangnya. Yang lain kemana?" tanya sang wakil ketua kelas. Namanya Khayri.

Semuanya saling menoleh satu sama lain, mencari siapa yang kira-kira berani tidak datang ketika upacara sebentar lagi dimulai.

"Palingan juga buhan Yeva tuh yang belum datang." Sahut Samra memberikan tanggapan.

"Ah, kemana lagi sih mereka itu?" Khayri mengusap kasar wajahnya bukti bahwa dia tengah emosi.

Sisanya cuma mengangkat bahu tanda kalau kami juga tidak tahu di mana keberadaan gerombolan gadis-gadis itu. Bahkan sampai protokol siap membacakan pembuka, tidak ada tanda-tanda kelima sejawat itu.

"Buruan baris." Panggil Khayri dan mendapat semburan ganas dari Ayudia, salah satu dari temannya Yeva. Kemudian tanpa mau mengambil masalah dengan mereka, kami semua langsung mengalihkan pandangan dari tontonan tak etis tersebut.

Pukul tujuh tiga puluh sudah terpatri di pergelangan tangan, upacara pun berlangsung. Namun, belum selesai dibacakannya Pancasila oleh Kepala Sekolah, terdengar kegaduhan dari barisan belakang.

Kami yang penasaran langsung melirik ke sumber huru-hara, rupanya ada yang pingsan. Ya, walaupun aku tidak tahu siapa orangnya yang jelas dari kelasku.

"Siapa yang pingsan, Sal?" tanya Dzaki berbisik padaku.

Aku cuma menggeleng kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Dzaki.

"Raina." sambut Samra tepat di belakangku.

Dzaki langsung menengok. "Ah, elo mah suka nguping pembicaraan gue." tuduhnya.

"Lo nya aja yang ngomong terlalu nyaring." lanjut Samra bernada mengejek.

CHANGED [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang